Waktu kecil, kalau cuaca sedang cerah, aku dan teman-teman sering menggelar tikar di halaman rumah di desa. Kemudian kami berjejer dengan posisi terlentang. Yang kami lakukan pada saat-saat seperti itu ialah berlomba-lomba untuk menghitung bintang yang seolah-olah berada di depan mata kami.
Tentu saja semua bintang yang bertebaran bagaikan berada di depan mata, karena di desa tempatku lahir tidak ada polusi cahaya dan polisi udara seperti di Jakarta. Dengan begitu kami bisa sangat jelas menyaksikan bintang di luar angkasa sana. Tiap kali berhitung, kami selalu menyaksikan ada bintang yang berkerlap-kerlip, ada yang warnanya kemerahan, ada juga sekali-sekali yang melesat.
Bintang sangat familiar dengan kehidupan kami. Orang tua sering menceritakan pengalaman mereka kepada kami tentang betapa bermanfaatnya keberadaan bintang. Misalnya bintang selalu dijadikan alat penunjuk arah mata angin.
Selain menghitung, kami juga punya kebiasaan menghafal rasi bintang. Macam-macam rasi atau konstelasi bintang kami hafal betul.
Yang paling mengesankan sampai sekarang ialah rasi bintang layang-layang. Bentuknya mudah sekali diiingat. Seperti gubuk penceng. Kalau di Planetarium Jakarta bintang ini familiar disebut sebagai Rasi Bintang Salib Selatan.
Iya, para buyutku di kampung menggunakan bintang itu sebagai penunjuk arah. Ketika mereka pergi berjalan kaki di malam hari melewati hutan dan gunung, mereka pasti akan melihat bintang itu, untuk memastikan bahwa arah Selatan di sebelah sana.
Masa-masa kecil itu memang pengalaman sangat indah. Kami dibiarkan berimajinasi. Kami selalu membayangkan bagaimana kalau kelak setelah dewasa kami bisa pergi ke salah satu bintang di sana. Seperti tiga astronot Amerika yang berhasil menapak bulan.
Orang yang berkesempatan pergi ke bintang di sana, pastilah akan bijaksana hidupnya. Karena mereka pernah dalam hidupnya menjadi orang yang dalam posisi tertentu melihat betapa luas alam semesta.
Melihat betapa bumi di kejauhan sana. Melihat sangat banyak bintang yang tinggal di Galaksi Bima Sakti ini.
*****
Guruku SD ku bercerita, bumi ini tidak diam seperti patung. Bumi akan berotasi dan mengelilingi anggota tata surya, matahari. Bumi tempat tinggal manusia selalu berputar dengan kecepatan 1.500 kilometer per jam.
Karena kecepatan perputaran bumi stagnan atau tidak berhenti-berhenti, maka manusia tidak akan terlempar ke mana-mana, bahkan tidak merasakan sama sekali kalau sedang diajak ngebut oleh bumi.
Manusia hanya dapat mengidentifikasi adanya pergerakan bumi ini melalui pergantian waktu. Dari pagi ke siang, sore ke malam, lalu ke pagi dan kembali ke siang lagi.
Ada juga cerita ilmiah guruku yang bikin degdegan. Matahari itu bukan benda padat, melainkan terdiri dari kumpulan gas hydrogen. Bagian terluar matahari panasnya mencapai 3 ribu derajat celcius. Sedangkan di pusat matahari, panasnya mencapai 15 juta derajat celcius.
Posisi bumi dengan matahari ini sangat pas. Jaraknya sekitar 150 juta kilometer. Tidak terlalu panas, tidak pula terlalu dingin. Manusia sangat membutuhkan energi matahari, begitu juga tumbuh-tumbuhan dan segala yang hidup di permukaan bumi ini.
Tapi, gas yang dikandung matahari itu suatu hari nanti akan habis. Kalau sampai habis, maka kehidupan di bumi ini akan selesai. Habisnya energi hydrogen matahari itu kira-kira 5 miliar tahun lagi.
Itulah cerita-cerita tentang alam semesta yang sangat mengesankan bagi kami pada waktu itu.
Setelah tua seperti sekarang. Rasanya ingin mengulang masa seperti itu lagi. Masa di mana masih dapat berimajinasi dengan bebas. Walau sekarang ini juga masih bisa berimajinasi, tapi suasananya tentu tidak seperti waktu itu.
Maka, untuk kembali membangkitkan dan menciptakan imajinasi-imajinasi seperti itu, aku rutin datang ke Planetarium yang terletak di kompleks Taman Ismail Marzuki, Jakarta Pusat. Menonton simulasi luar angkasa sambil mengingat-ingat pelajaran ketika masih jadi anak kecil.
Planetarium bagiku adalah untuk mendapatkan penjelasan tentang bagaimana manusia harus menyadari posisinya. Tentang bagaimana merefleksikan kehidupannya, mengagumi bumi, dan memeliharanya agar tetap aman dan damai. Ya, tentu saja.
Karena sampai sekarang ini, kecerdasan manusia yang dijelaskan melalui teknologi wahana luar angkasa, belumlah mampu menemukan benda yang memiliki ciri-ciri seperti bumi. Ada atmosir, ada air, ada tanah, ada kehidupan.
Bicara-bicara soal refleksi, aku ingat nasihat guruku yang sederhana. Mulailah menjaga lingkungan alam sekitar dengan baik. Sebab, bumi bisa kehilangan eksistensinya karena menipisnya atmosfir. Kelihangan atmosfir berarti kehilangan pelindung yang berfungsi membakar meteorid yang setiap waktu bisa menumbuk.
Bumi bisa senasib dengan Venus. Benda langit yang tidak punya atmosfir. Suhu udara menjadi panas karena efek rumah kaca.
****
Di Planetarium orang akan di bawa mengenal lebih jauh tentang tata surya.
Masing-masing anggota tata surya dibahas, misalnya tentang komet, asteroid, materi antarplanet dan benda-benda lain yang sering disebut sebagai penjelajah kecil di tata surya.
Kemudian tentang pembentukan tata surya. Di sana menjelaskan tentang tentang berbagai teori percobaan yang dilakukan untuk menyingkap tabir pembentukan tata surya.
Singkat cerita, kita juga akan dibawa untuk melihat fakta bahwa bumi ini hanya satu titik bintang di Galaksi Bima Sakti. Bumi hanyalah satu dari 400 milyar bintang yang berada dalam galaksi itu.
Di alam semesta yang tidak ada satupun manusia yang mengetahui batas pinggirnya, ada jutaan galaksi. Dan masing-masing galaksi memiliki antara 400 dan 800 milyar bintang.
2 comments:
Woi, cah ndeso masuk kutho. ojo lali kampung yo le. tenan yo. Pulango, nanti kita ngawang-awang langit meneh... hahahaha (Budi)
Iyo Bud, kangen kampung e.... Jakarta yang dulu kita bilang pusat peradaban, kadang kadang jebule ora beradab Bud.
Bud, hehehhe.... cepetlah dirampungke kuliahe. Dosenmu neng Gajah Mada wes bosen karo rupamu iku lo Bud... GBU
Post a Comment