Saturday, July 18, 2009

Kutaklukan Jakarta

Jangan pernah dikalahkan Jakarta. Tapi, taklukkanlah Jakarta dan segala macam konsumerisme yang ditawarkannya.

Aku berkata kepada diriku bahwa peradaban itu adanya di Ibukota Jakarta. Rampok, dan rampok ilmu pengetahuan dari pusat peradaban itu, tapi jangan menjadi budaknya. Lalu pulanglah ke kampung dengan langkah tegap.

Itulah nasihatku kepada diriku sendiri ketika meninggalkan kampung halaman untuk memutuskan kuliah di Ibukota waktu itu. Nasihat itu kuolah sebaik-baiknya.

Aku menerapkan filsafat itu pada bidang kesukaanku. Menonton film. Menurutku, pertunjukan film merupakan media pembelajaran yang baik untuk membuka cakrawala berpikir, di luar jadwal kuliah. Bagiku, film merupakan refleksi atas kehidupan manusia di berbagai belahan dunia.

Yang kuyakini pada waktu masih kuliah dulu, dengan menonton film maka diriku akan terangkut ke dimensi di luar diriku. Bisa melihat bagaimana orang lain bertahan hidup, bisa mengetahui bagaimana pandangan orang lain, bisa mengetahui cara hidup orang-orang hebat.

Atau yang paling sederhana ialah aku bisa melihat kebudayaan di berbagai belahan dunia, gadis-gadis bule cantik nakal tapi pintar, dan semua-semuanya yang menarik-menarik, hanya lewat visual film. Betapa luar biasanya bukan.

Hanya saja waktu itu, aku tergolong mahasiswa pendatang yang tidak tidak bisa begitu saja mengeluarkan uang di luar kebutuhan membeli buku. Dalam konteks ini, rasanya Jakarta ini hanya dikondisikan untuk orang-orang yang punya banyak uang.

Sedangkan untuk mahasiswa semacam diriku, sepertinya harus berpikir dua kali untuk bisa mengikuti gaya hidup Jakarta. Kurang ajar tenan, pikirku waktu itu.

Sebagai orang yang tengah terjepit, tapi punya ambisi besar, aku tidak panik dan berkecil hati. Aku yakin ada cara untuk bisa puas nonton film. Cuma mungkin aku harus mempelajari peta kehidupan Ibukota terlebih dahulu untuk mengetahui jalan keluarnya.

Bukankah di Jakarta ini banyak sekali pusat-pusat kebudayaan negara asing. Tentu saja di sana banyak program pengenalan kebudayaan mereka kepada Indonesia.

Pertama kali yang kulihat di bulan-bulan pertama kuliah di Jakarta adalah Pusat Kebudayaan Perancis, Salemba. Tempatnya di pusat Jakarta. Pastinya di sana sering ada acara. Aha.. Perkiraanku betul. Di tempat itu, pas aku datang, sedang diputar film-film tentang kebudayaan.

Seneng betul waktu itu. Yang membuat seneng lagi ialah aku diberi jadwal pertunjukan oleh pengurus pusat kebudayaan negeri tempat hidup filsuf sohor dengan eksistensialis-nya, Jean Paul Sartre, itu.

Pekan depan dan pekan depan dan seterusnya, tiap kali tidak ada kuliha, aku pasti datang ke sana.

Dari sana aku sering berkeliling ke pusat-pusat kebudayaan. Akhirnya, satu persoalanku selesai. Akhirnya aku sudah punya jalan keluar untuk menonton film yang mutunya tak kalah bagus dengan film-film yang diputar di gedung-gedung bioskop itu.

****

Taman Ismail Marzuki. Aku mengenalnya lewat majalah langganan guru SMEA-ku di Wonogiri. Sekarang, aku sudah di depannya, begitu pikirku ketika pertama kali masuk kompleks TIM. Belum tentu pak guruku itu sudah pernah datang ke sini.

Aku sangat senang waktu itu. Ternyata aku menemukan lagi studio film gratisan, lewat informasi petugas keamanan di sana. Adanya di studio 1 bioskop 21.

Program filmnya diselenggarakan Dewan Kesenian Jakarta. Namanya Program Kineforum. Sebulan penuh, di tiap bulan, selalu diputar film-film bermutu.

Aku merasa seperti ditawari untuk jalan-jalan ke luar negeri lewat film-film yang diputar. Sebagai mahasiswa kampung yang menyukai film, bagaimana tidak senang dengan itu semua. Tak perlu pusing-pusing beli tiket. Itu yang paling utama.

Betul-betul menawarkan jalan pengetahuan lintas benua. Karena yang diputar umumnya film-film asing. Film-film pendek festival internasional dan biasanya yang pernah meraih penghargaan.

Tapi, sebenarnya bukan film asing saja yang diputar. Film-film nasional independen dan peraih penghargaan juga banyak yang masuk program Kineforum.

Prinsip Program Dewan Kesenian Jakarta sepertinya memang ingin menjelaskan bahwa di Jakarta ini tidak melulu semuanya harus komersil. Film-film berkualitas juga dapat dinikmati tanpa selalu harus berbiaya mahal.

Mungkin juga motivasinya untuk memberikan keseimbangan antara kapitalisme dengan kerakyatan. Sangat menarik dan mengesankan.

*****

Tentu saja kuceritakan semua pengalamanku itu kepada teman-teman kuliah yang senasib dan sehobi denganku. Lalu, terbentuklah club. Semacam club penonton atau pemburu film. Setelah punya kelompok, ternyata cita-citaku untuk menaklukkan Jakarta makin berkembang. Makin maju dan cenderung liar.

Pada perkembangannya, bukan lagi mencari tontonan film murah semata. Tapi bagaimana caranya agar penyerapan ilmu pengetahuan melalui konsumsi film tetap terpenuhi, tapi juga badan juga bisa gemuk dan sehat.

Caranya begini. Di pusat-pusat kebudayaan, biasanya ada pameran atau diskusi-diskusi kebudayaan. Nah, pastinya ada makan siang di sana. Kami pasti ikut terlibat. Maksudnya, terlibat untuk menghabiskan makanan yang disediakan panitia.

Yang paling sering itu di TIM. Di TIM pada jamanku kuliah dulu, sering sekali ada pameran. Makin sering ada pameran, kami makin senang datang.

Tiap kali selesai nonton film Dewan Kesenian Jakarta, kami akan mengunjungi pameran yang ada makan siangnya.

Pernah suatu kali, saking nakalnya, kami pernah berani malu masuk ke acara pesta di TIM. Kami bertingkah seperti tamu undangan untuk bisa bebas makan siang. Wah wis, ora mutu tenan…

Rasanya, kelakuan kami waktu itu sama sekali tidak didasari kepelitan, tapi merupakan strategi halal demi menyiasati keterbatasan finansial di tengah industrialisasi.

Pokoknya, jangan pernah dikalahkan Jakarta. Tapi, tundukkan Jakarta dan segala macam konsumerisme yang ditawarkannya. ;-)

5 comments:

Anonymous said...

Maria Ann:

Kalau yang cara terakhir itu, pastinya aku tidak ikut, kan, Sis. hwahwahwa...

Thanks postingannya, seperti bernostalgia...

Anonymous said...

Maria Ann:

Kalau aksi yang terakhir-terakhir kamu tulis itu, tentunya aku tidak ikut, kan, Sis. hwahwahwa....

Thanks, postingan nostalgianya...

Anonymous said...

Siahaan:

Ceritain juga dong, teknik masuk bioskop gak bayar. Itu temuan orisinil kau sis. hahahahha. Bos, aku masih Roma. Tar kalau balik kuundang kau ke rumah...

Siswanto said...

Maria, hallo. Aii, setelah kuliah di Prancis, susah betul datang untuk menengok kami yang masih berperang di Jakarta. Cepat selesaikan kuliah, lalu segera beranak-pinaklah. kekekek.. Pokoknya, sukses buatmulah ya...

Apa perlu kutulis cerita tentang strategi meminjam buku di toko buku, temuanmu itu.... hahahaha...

Siswanto said...

Hei lae Siahaan. Malulah aku kalau cerita temuan-temuan di masa perjuangan di kampus itu. wakakakaka...

Lae, ngomong-ngomong, apa kamu juga menerapkan strategi seperti yang pernah kita lakukan itu di tempat kuliahmu sekarang ini.. Janganlah lae. sadar lae. hahahahahha. Bawa nama bangsa soalnya....