AKU lahir di sebuah dusun bernama Kambengan. Letak kampungku tepat di kaki gunung Kambengan. Kampungku dibelah sungai besar yang menyimpan air jernih. Sehingga sebagian penduduk yang tidak punya sumur, lantas mengambil air dari belik atau cerukan-cerukan yang dibuat di tepi sungai.
Kehidupan penduduk di kampung ini berjalan lambat. Umumnya, mereka hidup dari mata pencaharian berladang, baik di pinggir sungai maupun di punggung-punggung gunung.
Ada juga warga yang berprofesi sebagai pedagang, seperti ibuku. Tidak sedikit pula yang merantau ke kota-kota besar yang jauh letaknya dari kampung, seperti paman-pamanku.
Kerja keras yang dijalani warga kampung membikin anak-anak cepat belajar bertahan hidup. Ketika terang belum datang, orang-orang dewasa yang bertani sudah pergi ke ladang. Yang berdagang pun demikian. Pergi subuh dan baru pulang di waktu posisi matahari tepat di atas kepala. Tapi, ibuku tidak demikian, dia cuma pulang sebulan sekali dari kota besar. Sedangkan mereka yang merantau, biasanya baru pulang setahun sekali.
Melihat keadaan seperti itu, anak-anak otomatis belajar mandiri. Dan kesederhanaan serta kesahajaan mewarnai kehidupan mereka. Gocing. Itu namaku. Entah bagaimana nama ini bisa disematkan padaku. Mungkin, sebutan ini muncul karena perpaduan antara sifat pemalu dan nakal yang kumiliki.
Sudah jadi sifat dasarku kalau aku paling tidak menyukai anak sebaya yang terlampau tergantung pada orang tua mereka. Sedikit-sedikit mengadu, sedikit-sedikit merengek.
Sifat macam itulah yang sering membuatku berurusan dengan orang tua mereka. Biasanya, aku sering jadi korban. Kalau mereka bertengkar denganku karena tidak cocok pada waktu bermain, lantas hal itu diadukan kepada orang tua. Lalu orang tua yang tidak tahu menahu duduk perkaranya, tiba-tiba mencariku. Aku ditegur terkadang sampai dimarahi.
“Kamu menjengkelkan sekali,” kataku kepada si Peci suatu hari. “Begitu saja kamu melaporkanku ke orang tuamu.”
Si Peci. Begitu aku biasa memanggilnya. Kupanggil demikian karena hidupnya seperti kurang lengkap kalau tak bawa peci. Usianya lebih tua dari umurku. Di sekolah dasar, dia duduk dua tingkat di atasku. Walau lebih dulu lahir di muka bumi, dia tidak pernah berani berkelahi denganku. Dia inilah yang dulu kupaksa ikut mencuri sesajen.
“Habis, kamu suka egois. Kalau aku tidak mau ikut kamu, ya, jangan mengancam akan memukuliku di sekolah,” kata Peci kemudian.
Karena gemes, terkadang aku mengerjai anak yang suka mengadukanku ini. Kalau tidak di sekolah, masjid jadi tempat yang tepat untuk melakukannya. Suatu malam setelah aku dimarahi orang tua Peci, aku sengaja duduk di baris paling belakang. Tepatnya di belakang Peci.
Pada waktu salat Isya dimulai, kusruduk pantat dia. Karena lagi keadaan shalat, tentu saja si Peci tidak berani teriak. Dia cuma menoleh sebentar ke belakang. Ketika kembali ke posisi semula, kusruduk lagi.
Maksudku melakukan itu biar dia tahu rasa. Aku akan ketawa cekikikan kalau dia merasa terganggu, tapi tidak berani berbuat apa-apa. Sampai acara shalat selesai, dia tidak berani marah denganku. Yang pasti dia sadar, kalau berani-berani marah, aku ajak dia berkelahi.
Imam masjid tahu pada waktu aku ada suara gaduh di baris belakang. Selesai shalat pemimpin shalat tanya, siapa yang gaduh. Aku diam saja. Takut ketahuan. Kuharap, si Peci juga diam. Ternyata benar, Peci juga tidak berani bicara. Mungkin takut bicara di depan orang banyak. Selamat. Aku selamat, kataku dalam hati.
***
Ketidaksukaanku pada anak-anak sebaya bukan cuma karena mereka suka mengadu. Ketaatan pada aturan orang tua juga bikin aku tidak puas. Sifat macam itu yang selalu diinginkan para orang tua. Itu sebabnya, mereka jadi suka terlalu dominan. Dan parahnya, tidak lagi mampu menghargai kebebasan pribadi anak.
Kan, anak-anak bermain di jam yang tepat. Sepulang sekolah atau pas hari libur sekolah. Hanya saja karena para orang tua memang suka mematikan kreatifitas anak, jadilah mereka suka menggunakan cara-cara paksaan untuk mengendalikan anak.
Di lain hari, aku bersama Peci bermain layang-layang di atas kebun singkong yang baru selesai panen. Masih asyik-asyiknya kami bermain, tiba-tiba orang tua Peci datang dari jauh.
“Cing, aku pulang dulu ya. Itu bapak datang, aku mau disuruh pulang,” kata Peci sambil menggulung senar layang-layang.
“Rasakan, makanya kamu jangan terlalu nurut ,” kataku. “Sini, senarmu pinjamkan ke aku saja.”
Belum sempat si Peci memutuskan apakah akan meminjamkan senar atau tidak, bapaknya keburu sampai di tempat kami bermain. Begitu sampai, orang tua itu mengomel sambil melirik kearahku dengan tatapan tajam. Tangan si Peci langsung ditarik untuk menjauhiku.
“Aneh,” kataku dalam hati.
Lagi senang main layang-layang, eh, dipaksa pulang. Kalau aku yang diperlakukan seperti itu oleh nenekku, Saijah, dan ibuku, Sani, aku pasti melawan. Jalan terakhir untuk menghindari perlakuan macam yang diterima Peci ialah lari kencang. Pasti mereka tidak mampu mengejar. Nanti kalau mereka puyeng dan menghilang, aku kembali bermain.
Ugh, apa-apa dilarang. Mencari ikan di sungai. Berenang di sungai tidak boleh. Menyebalkan sekali. Yang bikin sebal lagi yaitu rata-rata temanku tidak berani lari untuk menghindari paksaan orang tua.
Mereka pasrah dan membiarkan kuping dijewer pulang. Seperti yang sering kulihat pada si Peci. Sepanjang jalan menangis. Pengalaman seperti itu bertolak belakang dengan gambaranku tentang dunia anak yang seharusnya.
Kesadaran macam itu kudapat dari renungan-renungan dikala aku juga dimarahi nenek dan ibuku di rumah. Aku tidak terlalu peduli dengan berbagai aturan dari mereka.
Sampai di dasar hati, aku protes kalau kebebasan yang kupunyai dibatasi. Aku pikir, mereka pakai kacamata kuda. Tidak bisa pakai kacamata anak. Menindas. Segalanya harus dari sudut pandang orang tua.
Aku sering cerita tentang pandanganku itu pada teman-teman yang punya kecocokan denganku. Kuajak mereka untuk membandel. Kalau diperintah-perintah pulang pada waktu jam bermain, tidak perlu nurut. Bahasa yang paling tepat untuk menyimpulkan pikiranku ialah ikuti kata hati.
Tapi, tidak ada teman yang mau mengikutiku. Malah aku jadi kesal dengan mereka. Terkesan pemberani kalau di sekolah. Tapi kalau di rumah, seperti kerbau piaraan nenekku. Diperlakukan seperti apapun, nurut.
Pikirku, biar sajalah. Hiduplah jadi anak kampung. Jadilah anak rumahan yang sok alim. Itu sama saja menipu diri.
“Kamu anaknya sok-sokan, Ci. Kamu seringnya mau diajak teman-teman mencuri jambu kepunyaan si pelit di dekat sekolah itu,” kataku kepada Peci di lain kesempatan.
“Kamu juga mau lari kalau ketahuan si pelit itu.” Aku ancam si Peci suatu hari akan kuadukan perilakunya ke orang tuanya. Karena takut aku betulan melaporkannya, air mata nyaris tumpah dari matanya.
“Kamu itu bukan anak alim, Kamu suka membohongi orang tua. Mendingan seperti aku, jujur. Nakal ya nakal.”
Kalau aku meniru gaya bicara imam masjid bicara, Peci pasti terdiam. Aku tahu dia ingin marah. Tapi, mana berani dia. Paling-paling nanti mengadukanku ke orang tua. Itupun, aku yakin, dia takut. Kunci keselamatannya sudah kupegang.
***
Di sekolah, aku pernah lihat guru olah raga melemparkan batu-batu sebesar kepalan tangan anak kecil ke arah murid yang tengah bermain kelereng. Pelipis salah satu teman Peci sampai bocor ketika kejadian itu.
Pada pagi itu, aku tidak berani apa-apa. Teman-teman juga begitu. Sebab, betul-betul sangar dan galak sekali guru berkepala pelontos itu.
Perilaku semacam guru ini yang kemudian membuatku makin sebal dengan orang dewasa. Suka memaksakan kehendak. Mendominasi kehidupan pribadi anak. Kejadian itu sangat terkenal. Sepanjang hari kami membicarakannya. Anak-anak makin tahu tentang kekerasan.
Jadi, kenapa harus menurut secara buta kepada orang dewasa. Mereka egois, pikirku. Aku juga bisa egois. Semua anak juga punya keegoisan.
4 comments:
Aduh, keras banget Gocing
emang, dia punya semangat maju
apik tenan Cing.....
suwun wan... iki karangan lho. hehehe
Post a Comment