Thursday, May 27, 2010

Gocing (6)

AKU kuliah di salah satu kampus terbaik di Ibukota Jakarta. Studi yang kuambil adalah jurnalistik. Dalam hati, akhirnya aku bisa masuk juga. Bidang studi yang selama ini terngiang-ngiang di kepalaku. Studi ini terinspirasi dari para mahasiswa Yogya yang KKN di kampungku.

Para mahasiswa itu, dengan percaya diri berdialog dengan kepala desa dan dengan tokoh desa untuk membicarakan masalah-masalah pembangunan. Dulu, aku iri betul dengan mereka. Karena hasil dialog mahasiswa KKN biasanya selalu ditulis menjadi karangan panjang dan kemudian dipajang di papan pengumuman kantor desa.

Di kampus, aku mendapat ilmu menulis berita, menulis feature, teknik investigasi, teknik fotografi, etika jurnalistik, sampai manajemen media massa. Mata kuliah yang kusukai adalah etika jurnalistik. Karena ternyata belakangan aku tahu kalau semua wartawan harus tahu betul soal etika. Itu sebabnya, ilmu ini menjadi semacam dasar bagi para jurnalis sebelum terjun ke lapangan.

Karena aku suka, aku cepat menangkapnya. Semua materi dari dosen kubaca. Dan bukan cuma lewat perkuliahan, aku juga banyak baca buku-buku tentang ilmu jurnalistik. Soalnya, kalau cuma lewat dosen, tidak cukup banyak yang dapat kuserap, jadi harus mencari wawasan lewat disiplin baca buku.

Nah, ini merupakan pengalaman hidup baru. Di masa-masa penyesuaianku di Jakarta, pengalaman macam ini, tentu saja kuceritakan kepada keluargaku lewat surat.

Aku bilang sangat bangga, dimana pada akhirnya mulai tahu tentang dunia jurnalistik. Pengetahuan yang mungkin sekarang ini sangat sedikit diperhatikan anak-anak sebayaku di kampung. Teman-temanku seperti si Peci, si Mangun, si Cepuk, sudah pasti kukirimi juga surat dan kuceritakan pada mereka dunia seputar wartawan.

“Aku senang kamu bisa serius belajar,” kata si Peci suatu kali ketika membalas suratku. “Kuharap, jadilah dirimu sendiri, di sana. Ingat, jauh-jauh dari kampung, kamu harus punya prestasi di Jakarta.”

Senangnya. Nasihat-nasihat sederhana seperti itu selalu disampaikan teman-temanku di Wonogiri lewat surat yang hampir datang tiap bulan. Kami memang tidak pernah lupa untuk berkorespondensi satu sama lainnya.

Di lain hari, dalam perkuliahan etika jurnalistik. Salah satu tema yang cukup hangat dibahas dalam kelas ialah tentang wartawan dan suap dari narasumber atau yang dikenal amplop. Di ruang kuliah, dosen bilang kalau amlop dilarang dalam kode etik jurnalistik, harusnya semua wartawan dan redaksi media harus benar-benar konsisten pada kode etik yang sudah mereka sepakati bersama.

Amplop, katanya, akan berhubungan dengan karya jurnalistik. Uang sogokan bisa mempengaruhi sikap wartawan dalam menulis. Atau sikap media terhadap suatu kasus.

“Tapi, kenyataannya untuk menegakkan anti amplop itu memang susah. Banyak problem yang berkembang di lapangan,” kata dosen tua yang kupanggil Pak Koting.

Pak Koting ini dulunya wartawan senior di media besar. Jadi dia bisa menjelaskan lebih banyak tentang liku-liku amplop, wartawan, dan media. Dia tahu betul detail soal ini. Makanya, dia tahu jenis rupa-rupa sogokan kepada orang-orang media seiring dengan perkembangan jaman.

Ada yang berbentuk uang, souvenir, tiket perjalanan, sepeda motor, rumah, sampai jabatan dan masih banyak lagi. Pak Koting merangkumkan untuk mahasiswa tentang tujuan dari amplop. Yaitu hadiah yang sepertinya gratis, tapi sebenarnya ingin mempengaruhi otak wartawan. Bahkan juga kebijakan media.

Bagi Pak Koting, apapun alasan wartawan atau media menerima pemberian dari narasumber, itu tetaplah haram hukumnya. Dia tidak bisa menerima alasan menerima hadiah narasumber, misalnya bilang karena kesejahteraan kurang, bilang karena tidak akan terpengaruh dan tetap akan netral.

Menurut dosenku yang flamboyan itu, tidak juga menerima sumbangan dari narasumber karena ada alasan bahwa kantor redaksinya punya kebijakan membebaskan wartawan menerima hadiah. Bagi Pak Koting, dilarang ya tetap dilarang. Semua sudah terikat pada kode etik.

“Lebih baik cari mata pencaharian lain yang membolehkan menerima uang dari orang lain. Jangan jadi wartawan kalau mau cari untung lewat cara menerima amplop,” kata Pak Koting.

Pak Koting selalu menekankan bahwa wartawan harus bersih, kecuali memang dapat pemasukan dari honor tulisan atau gaji dari kantor. Atau hasil jerih payah lewat mengajar atau menulis buku.

Aku agak paham dengan dengan penjelasan Pak Koting. Selesai kuliah hari ini, aku tanya ke dia, bagaimana solusinya agar wartawan tidak cari tambahan lewat amplop.

“Pengusaha media itu harus menjamin bisa menggaji layak karyawannya,” kata dia. “Kalau tidak mampu, jangan bikin media. Karena kalau kesejahteraan kurang, tentu akan tergoda juga untuk menerima sogokan.”

“Tapi yang sering saya dengar itu, komunitas pers yang bikin kode etik sendiri juga memberi toleransi jumlah uang dari narasumber yang bisa diterima,” kataku. “Atau mereka membuat aturan apa saja pemberian dari narasumber yang boleh diterima wartawan atau media.”

“Bagaimana kalau yang terjadi seperti itu, wartawan boleh terima uang, asalkan masih di batas yang ditoleransi itu,” aku tambahkan. “Kan komunitas ini yang bikin aturan.”

Pak Koting bilang. Dilarang tetap dilarang. Kalau ada toleransi-toleransi, berarti komunitas pers itu harus diragukan idealismenya. Dari kuliah-kuliah di kampus, Pak Koting terasa benar idealismenya. Pendapatnya malah lebih radikal lagi. “Daripada kode etik masih saja diakal-akali, lebih baik aturan anti amplop dihapus saja. Masa ada toleransi, ini apaan.”

Kudengar, orang tua ini dulunya keluar dari media tempat dia bekerja setelah membongkar permainan proyek yang dilakukan pemimpin redaksinya. Atasannya selalu dapat kucuran dana atau kue iklan besar dengan kompensasi semua karya tulis media mengangkat yang baik-baik tentang partai itu.

Bahkan, dia sering lihat bosnya ketemu dengan calon ketua partai secara diam-diam di sebuah kafe. Esok harinya, si bos perintahkan semua anak buah untuk memberi porsi lebih besar pada kandidat ketua partai yang telah melaksanakan deal-deal tertentu dengannya.

Pak Koting juga sering mendengar obrolan bosnya di toilet redaksi. Si bos suka ngobrol dengan bahasa-bahasa menjilat seorang pengusaha yang dikenal sebagai pengemplang pajak. Pak Koting tahu itu pengusaha karena beberapa kali si bos menyebut nama pengusaha itu. Si bos sering kali memuji-muji setinggi langit si pengusaha kakap hitam itu.

Itulah sebabnya, Pak Koting sangat kecewa dengan redaksi tempatnya bekerja. Wartawan dituntut untuk idealis, wartawan diprotes kalau nulis berita dengan sikap beroposisi dengan partai tertentu. Tapi ternyata bos di redaksi juga mafia kasus dengan kedok ajaran idealisme di kantor.

Pak Koting memang jago bicara. Dia piawai mengobarkan semangat para mahasiswa jurnalistik. Sehingga tiap kali ada mata kuliahnya, kelas sudah pasti penuh. Semua mahasiswa masuk. Bahkan, mahasiswa grup lain, terkadang juga ikut nimbrung untuk dengar perkuliahan dosen ini.

Pada pertemuan kesekian kalinya di pertengahan semester, Pak Koting juga cerita soal jenis media di Indonesia. Ada koran kuning. Tapi ada juga koran yang masuk golongan bukan kuning. Media kuning biasanya untuk kelas bawah. Sedangkan media bukan koran kuning segmentasinya kalangan atas.

Koran kuning, lebih berani mengangkat berita yang bersifat menuduh, tanpa ada data kuat dan konfirmasi dengan yang bersangkutan. Mereka suka membesar-besarkan isu. Tujuannya tidak lain demi mendapatkan keuntungan materi. Uang bisa cair ke redaksi dari pihak yang dihajar lewat berita. Misalnya sogokan atau iklan.

Pengelola koran kuning juga paling suka mengangkat berita-berita bombastis. Soal politik sampai soal selangkangan. Mereka senang mempublikasikan hal-hal yang berbau seks. Karena masalah ini pasti disukai sebagian besar orang. Otomatis, tiras koran makin meningkat.

Kalau koran bukan koran kuning, biasanya agak cermat menerapkan kode etik. Koran yang masuk golongan ini sadar dengan citra. Segmentasi mereka umumnya diarahkan untuk orang-orang yang lebih mapan secara ekonomi. Jadi gengsi juga diperhatikan betul.

Tetapi, dari buku-buku yang kubaca, media non kuning sebenarnya juga sering tidak peduli kode etik. Mereka juga suka menabrak etika, tapi tentu saja pengelola media ini punya seribu argumentasi untuk membenarkannya. Bahkan, media ini kerap kali suka ikut berafilisasi ke politik tertentu atau pengusaha bermasalah.

Di lain semester, aku minta waktu untuk diskusi dengan Pak Koting. Aku ingin tahu soal dapur redaksi media. Media suka membenarkan bila mereka melanggar kode etik. Misalnya mereka tidak memenuhi syarat netralitas pemberitaan. Misalnya, ikut jadi partisan atau berafiliasi dengan partai tertentu atau pengusaha tertentu.

Media macam ini, selalu mengangkat-angkat partai atau mengawal bisnis yang pengusaha bermasalah yang didukung media. Bahkan, juga ikut membentengi bila yang partai atau pengusaha yang didukung itu punya masalah hukum. Dengan teknik-teknik jurnalistik, media ini sangat lihai memainkan pemberitaan. Tapi sebenarnya sedang melakukan pembelaan pada pihak yang sebenarnya salah.

Kalau hal-hal yang positif dan menguntungkan partai atau pengusaha, mereka kerap menjadikannya sebagai bahan untuk berita utama. Seringkali, media partisan selalu menulis dari sudut pandang yang terasa menjilat partai atau pebisnis yang didukungnya.

Media memang pintar, mereka mengakali kemasan berita biar seolah-olah netral, kuat dengan bahasa-bahasa bagus. Tapi kalau dicermati, sebenarnya pemberitaannya berbau uang kotor. Tentu saja, kemasan pemberitaannya dimodifikasi sedemikian rupa sehingga seolah-olah telah memenuhi semua standar jurnalistik.

Menjawab pertanyaanku itu, Pak Koting hanya bilang, “Soalnya, di Indonesia ini, yang paling berkuasa ada beberapa sektor, kalau bukan partai politik ya pengusaha.”

“Jadi, mereka yang selalu ikut mengendalikan arah media. Mereka bisa beli saham, mereka bisa gelontorkan iklan ke media itu sehingga itu bisa mempengaruhi arah media juga.”

Perkuliahan jurnalistik menjadi sangat menggairahkan karena Pak Koting orangnya lurus. Dia selalu tertarik untuk mengutarakan apapun tentang kecurangan-kecurangan yang dilakukan media atau kenakalan-kenakalan para wartawan di redaksi maupun di lapangan.

Dia juga bilang terkadang para jurnalis itu juga sangat munafik. Teriak-teriak anti amplop, tetapi sebenarnya mereka suka menerima berbagai rupa-rupa bantuan dari narasumber. Yang selalu mereka katakan ialah, asalkan bantuan itu tidak mempengaruhi berita, ya tidak apa-apa. “Itu sama saja kalian bohong,” pikirku.

Kalau mereka bersalah dalam memberitakan, mereka tidak terima digugat. Mereka selalu minta mediasi dan diselesaikan dengan damai. Terkadang, mereka tidak mau mengakui kesalahannya. Padahal, apa yang mereka beritakan itu sudah mencemarkan nama baik narasumber.

Kalau begitu caranya, egois juga para pekerja media. Walau memang tidak semua media seperti itu. Aku sering tidak habis pikir dengan mereka. Apa yang kurasakan ini selalu kucatat. Dan catatannya sebagian kuceritakan kepada teman-teman sekolahku dulu di Wonogiri.

Yang paling sering membalas suratku si Mangun dan si Peci. Kalau si Mangun, dia jadi guru sekolah dasar di kampung. Dulu kupikir dia mau mengabdikan diri sebagai mantra desa, meneruskan bapaknya yang sudah pensiun setahun lalu. Sedangkan si Peci, jadi guru ngaji.

Nenekku juga sangat senang menerima suratku. Lewat surat-suratnya, nenek bercerita kalau ibuku dan bapak tiriku juga bangga. Bagaimana tidak bangga, anaknya bisa mengikuti kuliah dengan baik. Dan makin jago menulis pengalaman hidup di Jakarta lewat surat.

Kubilang pada mereka lewat suratku yang berikutnya. Kalau baca koran yang biasa ditempel di kantor desa, jangan terlalu percaya seratus persen. Soalnya, terkadang, media digunakan oleh penguasa untuk menyuntikkan pengaruh. Seolah-olah semua kebijakan pemerintah itu sudah benar.

Padahal, kalau dicermati, kebijakan pemerintah banyak yang hanya mementingkan orang-orang kaya dan merugikan orang-orang kecil. Rata-rata berita koran lokal di provinsiku, selalu mengambil sudut pandang pemerintah saja kalau menulis tentang kebijakan baru.

Apalagi kalau menjelang pemilihan kepala daerah. Hampir semua koran menulis tentang kehebatan-kehebatan calon. Tidak banyak yang mengupas secara lengkap siapa calon itu dan apa alasannya dia harus dipilih rakyat.

Karena media mengambil untung dari pemberitaan macam ini, mereka tidak terlalu peduli apakah berita ini dibutuhkan orang atau tidak. Yang penting nama calon itu dimunculkan di media. Dengan begitu, media mendapat kue iklan dari mereka yang ditulis besar-besar.

No comments: