MENJELANG musim kemarau berkepanjangan berakhir, orang-orang dewasa di kampungku mulai siap-siap bertanam. Biasanya, begitu musih berganti menjadi penghujan, mereka sudah selesai bercocok tanam.
Nenek orangnya sangat disiplin. Seperti pada hari itu, pagi-pagi sudah berangkat mencari rumput untuk ternak. Setelah itu, dia pergi ke ladang di kaki gunung. Di sana, banyak sekali aktivitas yang dia lakukan. Mulai menyingkirkan rumput liar pengganggu tanaman utama sampai mengatur tepi ladang yang rusak akibat diinjak-injak monyet besar.
Di waktu nenek pergi ke ladang, sepulang sekolah aku sendirian di rumah. Karena hujan turun, aku tidak pergi bermain dengan teman-teman sebaya.
Kalau lagi sendirian seperti itu, aku suka merenung. Menjelang berakhir masa bersekolah dasar, di dasar hatiku, makin tumbuh kesadaran tentang peran penting dukungan orang tua terhadap anak.
Pada satu titik kesadaran, aku bisa merasakan betapa banyak orang dewasa yang ternyata kasar pada anak-anaknya. Perilaku ugal-ugalan guru di sekolah dasar kepada teman-teman Peci pada waktu itu cuma salah satu contoh.
Bukan cuma teman-temanku yang jadi korban orang dewasa. Aku pun kerap merasakannya. Ibuku suka bersikap kasar padaku. Bapak tiri apalagi. Dia memang tidak kasar secara fisik, tetapi mentalku serasa disiksa oleh keberadannya di rumah.
Ibuku mungkin tidak sadar bahwa dalam banyak hal sikapnya sangat mengecewakan. Bagi dia, bisa jadi bentakan atau ancaman merupakan salah satu cara mendidik anak agar menjadi lebih baik.
Tapi apakah dia tahu, bentakan atau ancaman itu benar-benar mengintimidasiku. Bagiku itu sangat mengerikan. Bagaimana mungkin, mendidik anak justru menimbulkan rasa pesimis dan putus asa.
Dari sudut pandangku, sikap kasar macam itu menggambarkan ketidakmampuan orang tua memahami putra-putrinya. Ketidakbisaan berkomunikasi yang memadai, menjadikan perilaku kasar sebagai salurannya.
Alangkah menyedihkan. Kurasa, sikap bandel yang kumiliki ini juga terpengaruh oleh pengalaman-pengalaman terintimidasi dan kecewa seperti itu.
Dalam kesendirian di waktu hujan pagi itu, aku teringat suatu hari di akhir tahun, ibu pernah mengguyur air panas ke tubuhku. Kulit dada ini sampai terluka. Dan sampai kini membekas.
Di hari yang lain, kepalaku pernah dikramasi pakai sisa nasi yang tidak habis kumakan. Gara-garanya sebenarnya ya cuma sepele. Aku meninggalkan makanan itu di meja dan kebetulan ibu baru pulang dari kota besar. Mungkin dia sangat capek, lalu kesal mendapatiku asal-asalan meletakkan piring kotor.
“Rasakan itu akibat dari perbuatanmu, makanya, jangan bandel. Lain kali biasakan tertib setelah makan,” katanya.
Ibuku orangnya juga tidak kalah disiplin dengan nenekku. Ibu disiplin menegakkan kebersihan dan keteraturan di rumah. Sedangkan nenek disiplin berladang sampai seolah-olah dia merasa berdosa kalau tidak memperhatikan tanaman. Bagi nenek, tanaman adalah berkat untuk kelangsungan hidup di muka bumi. Ibu juga demikian, kebersihan adalah cermin dari penghargaan terhadap hidup.
***
Di rumah, aku tidak punya panutan. Aku sering iri sama adikku. Dia selalu dapat perhatian luar biasa dari ibuku. Tiap kali ada pertemuan keluarga, aku seperti tidak diakui. Mungkin itu cuma perasaanku, tapi yang kualami, aku tidak pernah dipangku atau diajak duduk berdekatan dengan orang tua.
Nenekku yang jadi andalan kalau aku merasa terasing di keluarga. Walau nenek tidak kuidolakan karena dia juga suka marah, di dasar hatiku, aku sangat tergantung padanya. Sebab, dia bisa menenteramkan hatiku. Apalagi kalau ibu mengomel, nenekku yang menghibur.
Kalau pernyataan-pernyataan ibu menyiutkan nyali sekaligus menjatuhkan semangat hidup, nenek selalu memegang tanganku. Tindakan yang sungguh membuat aku merasa tidak betul-betul seorang diri.
***
Bapak tiriku orang kota. Orangnya gendut dan suka pakai celana kain yang potongannya sangat lucu. Desain bagian paha sangat ketat, sedangkan ukuran bagian paling bawah, sangat besar.
Dia punya sepeda motor besar. Suaranya meraung-raung kalau datang ke kampung bersama ibu yang diboncengkan bapak tiri. Gagah betul dia dengan kacamata hitam yang ukurannya besar.
Aku tidak pernah bersahabat dengan dia. Orangnya sangat pendiam. Karena itu, kalau dia lagi di rumah, sangat jarang mengobrol denganku. Padahal, pertemuan kami rata-rata cuma sebulan sekali.
Dia lebih senang berkumpul dengan ibuku dan adiku. Terkadang dengan nenek kalau lagi bicara tentang bisnis ternak. Aku seolah-olah tidak ada dalam memorinya. Aku suka memperhatikannya. Sambil merokok , dia suka mengajak bermain adikku di halaman. Terkadang, dia mengajak pergi adik dan ibuku saja. Mungkin untuk belanja di pasar kecamatan.
Aku sebenarnya bisa menerima dia, walau aku tidak dekat dengannya. Tapi terkadang dia sangat mengecewakan. Ya itu tadi, dia seperti tidak pernah tertarik mengajakku bicara. Lama-lama, aku tidak menyukainya.
Suatu hari, aku teriak-teriak karena kecewa pada ibuku. Ibu bisa meledak kemarahannya hanya karena melihatku menaruh sepatu yang basah karena hujan di teras rumah.
Pada waktu itu, bapak tiriku bukannya mengajak berdiskusi. Dia tidak pernah bertanya mengapa aku sampai meletakkan sepatu itu di teras. Ah, dia malah ikut memusuhiku. Dia membenarkan tindakan ibu yang membentak-bentaku. Benar-benar tidak masuk akal. Sama saja seperti ibu.
Pengalaman keluarga macam ini mengajariku untuk menyampaikan suatu ketidakpuasan dengan cara marah-marah. Kemarahan tersimpan karena tidak ada teman untuk berbicara di rumah. Rasanya, putus asa kalau mengutarakan perasaanku pada nenek. Dia pasti selalu mengambil jalan pintas. Misalnya bilang agar aku jadi anak baik. Rasanya, dia seperti tidak mau memahami persoalanku.
“Kamu suka ngeyel (bandel) sih. Makanya dimarahi,” kata nenekku tiap kali mendapatiku punya persoalan di rumah.
Pernyataan yang membuatku kesal. Sepertinya dia terlalu malas untuk membahas permasalahanku. Mungkin dia bermaksud memintaku agar lebih banyak belajar. Aku setuju. Tapi aku kesal dan caranya yang seolah-olah membiarkan aku sakit hati.
Tapi, bagaimanapun juga nenek adalah andalanku di lingkungan keluarga. Aku jarang melawan dia. Walau sekalinya melawan, pasti membikin dia sangat marah. Mengapa aku jarang melawan dia dengan sengit karena kalau aku tidak punya teman lagi.
***
Aku ingin membuat diriku bebas dari banyaknya tekanan dari keluarga. Ingin mengeluarkan diri dari semacam belenggu ketakutan. Timbulnya, aku suka melawan.
Di lain waktu ketika awal-awal masuk sekolah menengah pertama, aku mulai melakukan perlawanan-perlawanan vulgar dengan siapapun, terutama orang-orang dewasa di kampung. Tiap kali ada yang coba-coba membatasiku, kutantang dia.
“Gocing, kamu nanti kuhajar kalau mengajak macam-macam anakku,” kata tetangga kepadaku. “Beneran, kamu nanti kupukul.”
Kata kata semacam itu sering kudengar. Aku makin kesal dengan mereka yang selalu otoriter. Aku mencap mereka sebagai orang bodoh yang harus dikerjai.
Suatu sore, ketika aku pulang dari sekolah. Tetangga berteriak. “Kamu kurang ajar. Anak tidak tahu aturan. Sini kamu bodoh.” Waktu itu, aku baru saja meruntuhkan pagar kayu rumahnya.
“Apa! Hajar itu ternakmu,” aku tak kalah garang. “Lihat ini, aku lemparkan kayu ke kandangmu.”
Aku kesal karena baru saja tubuhku nyaris ditubruk lembu jantan di dekat kandang warga kampung. Lalu aku dipelototi orang tua itu sambil memaki-maki seenak perutnya.
Aku kesal betul dengan kasus sore itu. Sesampai di rumah, aku berpikir bagaimana membuat dia tidak bisa tidur. Nah, aku temukan ide.
Menjelang pukul 22.00 WIB, aku mengendap ke kandang ternak orang tua itu. Bentuk kandang di kampungku biasanya sangat sederhana. Atapnya dari genteng tanah. Dindingnya hanya terbuat dari potongan-potongan bambu besar. Bambu di susun sedemikian rupa sehingga udara leluasa keluar masuk ke kandang. Tentu saja udara bisa keluar masuk, jarak antara satu potongan bambunya saja selebar badanku.
Sesampai di lokasi, aku merunduk masuk ke kandang yang penuh bau kotoran lembu. Di dekat lembu yang kebetulan sedang sangat tenang karena mengunyah rumput, kuolesi balsam panas milik nenekku pada bagian anusnya.
Aku cepat-cepat kabur dari sana karena sebentar saja, pasti efek balsam akan bereaksi. Benar saja, setelah aku meninggalkan kandang, lembu mulai berisik. Aku yakin, orang tua pemarah itu akan segera keluar rumah untuk melihat lembunya tengah mengamuk karena kepanasan di bagian anus. Semalaman dia tidak akan bisa tidur untuk menenangkan lembu.
No comments:
Post a Comment