KARENA setiap hari harus menulis minimal tiga berita, dalam waktu sepekan, aku mulai bisa lancar menyusun data-data hasil wawancara menjadi baris- baris kalimat. Motivasi teman-temankulah yang membikin aku tetap bersemangat sampai akhirnya redakturku jarang protes karena tulisanku kacau balau.
Saat sudah memasuki pekan ke empat. Sudah banyak wartawan yang liputan di daerah Gunung Jaya yang kukenal. Sehabis mengirimkan berita ke redaksi dari warnet langganan, aku iseng-iseng main ke ruang wartawan di kantor polisi. Ternyata di sana ada beberapa wartawan yang usianya sudah tua.
Salah satunya bernama Bonarman. Dia sering hadir mengikuti acara-acara konferensi pers yang dilakukan polisi. Waktu aku masuk dan dia melihat kedatanganku, sikapnya seperti sedang punya masalah besar denganku.
Dia bicara nyerocos yang intinya tidak menyukai teman-temanku yang biasa mengetik satu warnet denganku. Dari cerocosan Bonarman bisa disimpulkan kalau saat ini sedang terjadi konflik besar antar wartawan. Kelompoknya Bonarman tidak suka dengan teman-temanku karena belum lama ini mereka pernah menulis tentang wartawan yang menerima kucuran uang dari pengusaha.
Wartawan yang terima uang dari pengusaha itu tidak lain adalah kelompoknya Bonarman ini. Aku tahu itu karena Bonarman mengakui sendiri.
“Menerima uang itu urusan masing-masing wartawan. Yang penting tidak mempengaruhi berita. Kenapa juga hal ini mesti ditulis sama mereka,” kata Bonarman.
Dan karena aku dekat dengan Damin, Pak Rosyid, dan Prilia, maka Bonarman pidato tentang ketidaksukaannya dengan teman-temanku itu. Dan secara tersirat, Bonarman juga menolak kehadiranku di lingkungan kantor polisi yang sepertinya ingin dikuasainya.
“Aku tidak tahu soal itu. Aku masih baru di sini dan ingin banyak belajar dengan teman-teman semua,” kataku berharap agar Bonarman diam.
Dalam hatiku, wartawan macam Bonarman inilah yang dimaksud oleh Pak Koting sebagai wartawan amplop. Wartawan yang merusak citra dunia pers. Mereka merasa benar sendiri.
Aku cuma diam saja. Bonarman bicara macam-macam. Sampai akhirnya dia diam sendiri setelah mobil polisi keluar. Belakangan aku tahu, mobil itu sedang menuju ke tempat kejadian perkara kriminal. Karena Bonarman dan teman-temannya langsung lari menuju sepeda motor dan selanjutnya mengejar mobil polisi, akupun ikut dengan motorku sendiri.
Aku berada di baris paling belakang rombongan Bonarman. Malam ini aku mulai belajar lebih banyak. Watak wartawan itu beda-beda, ada yang tidak suka diganggu kalau terima duit dari narasumber, tapi ada juga yang idealis dan berani menulis perilaku nakal wartawan di lapangan.
Dalam perjalanan mengikuti mobil polisi, aku juga bersyukur, rupanya begini cara kerja wartawan kriminal. Naluri berita harus sensitif. Kalau melihat mobil polisi jalan dari kantor polisi, aku harus curiga. Pasti ada kejadian penting.
Benar saja. Ada perampokan di salah satu kampung. Begitu tiba, polisi tadi segera menemui korban dan setelah bincang-bincang sebentar mereka melakukan olah tempat kejadian perkara begitu.
Sepanjang liputan di tempat itu, Bonarman dan teman-temannya tidak ada yang mau bersahabat denganku. Mereka sepertinya tidak menginginkanku berada di tempat ini. Tapi, aku cuek saja. Tanpa mereka, aku sudah bisa, karena aku sudah banyak belajar liputan bersama teman-temanku lainnya.
Aku wawancara korban sendirian. Aku wawancara warga. Aku juga wawancara komandan polisi sendirian. Tapi sebelum minta keterangan komandan itu, aku perkenalkan diri.
Komandan itu agaknya senang juga dengan gayaku. Logatku yang kental Jawa, membikin dia tertawa. Bolehlau komandan tertawa, tapi kompensasinya, aku wawancara dia panjang sekali mengenai kronologis kasus perampokan di rumah pengusaha garmen ini.
Begitu selesai, rombongan Bonarman datang. Mereka cuma dapat kesempatan sebentar untuk wawancara komandan polisi. Sebab, waktu itu, komandan ingin segera pergi dari lokasi. Kudengar, komandan minta Bonarman dan teman-temannya bertanya saja kepadaku karena semua keterangan sudah diberikan padaku.
Ada yang lucu lagi. Pada waktu komandan akan naik mobil, Bonarman masih menempelnya. Lalu, kulihat, dari dalam mobil, komandan memberikan beberapa lembar uang kepada Bonarman. Setelah itu, Bonarman pergi bargabung ke teman-temannya.
Waktu itu, aku tidak segera pergi meninggalkan tempat kejadian perkara, walau polisi telah selesai melakukan pemeriksaan. Soalnya, aku ingat pesan komandan yang berlogat Batak tadi agar Bonarman dan kawan-kawan minta data kepadaku. “Bang Bonarman jadi minta data tidak ini,” kataku.
Bonarman bilang, “lain kali kalau wawancara bareng dong, biar polisi tidak dua kali memberi keterangan.”
“Abang kemana aja tadi, jadinya aku duluan yang minta keterangan. Lagi pula, teman-teman lainnya juga tidak mau waktu kuajak wawancara bareng,” jawabku. Bonarman tidak jawab lagi.
Karena keterangan polisi sangat penting untuk melengkapi berita dan data, akhirnya Bonarman seperti anak manis di depanku. Kubacakan semua data yang diberikan komandan tadi kepadanya. Dan dia mencatatnya. Sekali-sekali dia minta aku mengulang.
Akhirnya selesai. Sebelum kami semua pergi. Bonarman bilang kepadaku, tadi ada titipan dari komandan. Maksudnya, ada uang yang diberikan komandan lewat Bonarman. Dia memberiku Rp 50 ribu. “Buat abang aja. Aku tidak mau,” kataku. Dia masih mencoba memberikan uang lagi, tapi akhirnya dia kantongi sendiri.
Sepanjang perjalanan pulang, aku senang. Aku sudah punya satu berita kriminal bagus. Aku juga menyaksikan dengan mata kepalaku sendiri, Bonarman mempermalukan dirinya dengan minta uang. Itu membuatku merasa lebih percaya diri jadi wartawan.
No comments:
Post a Comment