“Nek, kuliahku sudah selesai dan aku tidak bisa pulang karena kupikir, lebih baik aku langsung cari kerja dulu,” tulisku di surat yang kukirim ke nenek di akhir musim hujan.
Aku ceritakan ke nenek. Aku berhasil menyelesaikan kuliah dengan baik. Nilaiku semuanya A. Dan aku termasuk, salah satu mahasiswa yang berprestasi di kampus. Tidak sia-sia perjuanganku dan semangat yang selalu dikobarkan nenek dan teman-temanku di Wonogiri selama ini. Setidaknya, untuk sementara ini aku bisa bangga.
“Aku sudah mengirimkan surat ke kantor koran yang bagus, nek. Kuharap secepatnya dapat panggilan,” tulisku di surat yang kukirim ke nenek di lain hari. “Salam hormat.”
Dalam keadaan tidak punya kegiatan seperti sekarang, aku kangen juga mendapat kiriman makanan dari nenek. Dulu, waktu masih SMA, aku sering dititipi lauk pauk lewat bantuan si Peci. Sekarang, aku sudah di Jakarta. Tidak mungkin nenekku mengirimi lauk lagi seperti waktu itu. Hidup di ibukota benar-benar harus mandiri.
Korespondensiku dengan teman-teman di Wonogiri masih tetap terjaga setiap sebulan sekali. Terutama adik perempuanku yang kini sudah masuk SMP. Dia lebih berbahagia dibandingkan aku. Dia lebih dekat dengan ibu dan bapak tiriku.
Mencuri kelapa, mengolesi balsam pada anus sapi tetangga, merusak pagar tetangga atau dimaki-maki orang dewasa yang meteran listriknya kumatikan. Aku tertawa sendiri tiap ingat itu. Atau mengerjai si Botak gendut di asrama masjid. Aku sungguh kasihan padanya.
Supaya tidak terlarut dalam rasa bosan, kalau lagi sendirian di kos, aku selalu berlatih membuat cerpen. Temanya tentang masa kecilku.
Di minggu pertama bulan Januari ini, tiba-tiba telponku berdering. Ternyata aku dapat panggilan kerja dari salah satu media nasional. Aku girang bukan main. Sore hari ini juga aku diminta datang ke sekretariat redaksi untuk bertemu koordinator liputan.
Sampai di redaksi, aku langsung bertemu dengan koordinator liputan. Aku langsung dapat surat penugasan sebagai pengganti ID Card untuk sementara waktu. Aku ditugasi untuk meliput Kota dan Kabupaten Gunung Jaya. Tempatnya masih berdekatan dengan Jakarta.
Dari redaksi aku pulang lagi ke kos. Malam ini juga aku bersiap-siap pindahan. Barang-barang ini tidak mungkin kubawa sekaligus besok. Harus bertahap. Setelah selesai mengepak aset pribadi, aku sama tidak bisa tidur. Aku senang dan bangga betul. Cita-citaku untuk masuk ke media akhirnya tercapai.
Pagi buta aku meluncur ke Gunung Jaya. Daerah yang sama sekali masih asing buatku. Pertama-tama yang harus kulakukan ialah mencari kos. Tidak terlalu sulit untuk mendapatkannya. Ada kos bagus dan agak luas di dekat masjid pusat Kota Gunung Jaya. Selesai bayar kos, aku bisa langsung menyimpan barang di kamar.
Hari ini waktunya mempraktekkan ilmu jurnalistik yang sudah kupelajari. Aku ingat kata koordinator mediaku, aku harus kenal teman wartawan yang sudah lebih dulu meliput di kota ini. Tempatnya kalau tidak di sekitar kantor polisi ya di sekitar kantor pemerintah.
Teman pertamaku namanya Damin. Dia wartawan dari media nasional yang kantor pusatnya di Jakarta. Orang senasib di daerah, tidak perlu waktu lama untuk saling akrab.
“Gocing, sehabis liputan, ikut aku saja. Aku punya warnet langganan di daerah ini,” kata Damin ketika kami meliput berita di salah satu kelurahan di Gunung Jaya.
“Baik, aku ikut. Tadinya aku juga berpikir-pikir soal warnet. Semoga tempatnya nyaman Min,” sahutku.
Liputan pertamaku adalah tentang kasus perampokan. Selesai wawancara aku dan Damin meluncur ke warnet. Tidak sampai seperempat jam, kami sampai di warnet langganan Damin. Tempatnya agak kecil. Ruangannya ber-AC.
Aku pakai salah satu komputer di pojok. Damin pakai komputer di sebelahku. Kubuka catatanku. Pada waktu yang bersamaan, kudengar, keyboard temanku sudah berbunyi. Tandanya dia sudah memulai menyusun data menjadi berita.
“Min, aku masih bingung. Rasanya aku belum tahu apa yang menarik yang harus kutulis jadi berita. Menulis berita, berbeda dengan menulis fiksi. Karena tulisan berita terikat pada kaidah jurnalistik.
“Kamu tulis saja Cing. Jangan berpikir macam-macam yang penting, kamu pindahkan datamu dari buku catatan ke komputer.”
Rasanya aku makin panik mendengar Damin makin cepat mengetik. Sepertinya suara keyboardnya tidak putus-putus. Lancar betul logika si Damin kurus ini. Baiklah, aku harus memulai. Sambil melirik jam yang menunjukkan waktu yang hampir deadline pengiriman berita, satu kata, dua kata, tiga kata, empat kata dan seterusnya.
Setengah jam lebih aku menyelesaikan satu tulisan berita. Ternyata si Damin sudah dua laporan yang tuntas. Melihatku panik, di amalah nyerocos. Dia menasihatiku supaya aku tidak usah berpikir tentang kaidah, yang penting tulis dulu sampai tuntas. Baru setelah itu dibaca lagi tulisannya sambil dibetul-betulkan kalau ada yang kurang tepat.
Berat sekali sore ini. Aku hampir menangis sambil menulis berita. Rasanya, aku tidak akan bisa menulis sampai selesai. Yang bikin aku merasa putus asa ialah di dalam hatiku, terus menuntut agar tulisanku langsung sempurna. Padahal, semua harus lewat proses.
Akhirnya aku berhasil menyelesaikan semua tulisan berita, walau redakturku di Jakarta mengatakan lewat telpon kalau aku telat mengirimkan berita. Aku bilang kepadanya, aku masih susah menyusun berita.
Damin sepertinya teman yang bisa diandalkan. Dia menghiburku di saat susah dan putus asa seperti ini. Dia cerita kalau semua wartawan yang baru terjun ke lapangan akan mengalami situasi sulit menyusun berita seperti yang kualami sekarang.
“Makasih ya Min. Tapi aku tidak habis pikir, jago benar kamu nulis berita ya,” kataku. Damin tertawa. Lalu, kami pergi ke warung makan. Makanlah kami di sana sambil ngobrol sana-sini.
Tidak lama setelah kami makan, beberapa orang datang. Mereka ternyata juga wartawan yang tadi mengetik di warnet. Ternyata warnet ini tidak hanya tempatnya Damin mengetik, wartawan lain pun juga bekerja di sana.
Damin mengenalkanku dengan beberapa wartawan yang baru tiba. Yang perempuan namanya Prilia, dia wartawan koran sore. Sedangkan yang satu lagi bapak-bapak. Namanya Rosyid. Pak Rosyid asalnya dari koran lokal.
Aku senang mengobrol dengan teman-teman baru ini. Mereka sepertinya bisa merasakan kesusahanku menulis berita tadi di warnet. Teman-teman saling menceritakan pengalaman masing-masing. Seperti kata Damin tadi, merekapun pada awalnya susah bukan main untuk menyusun berita.
Bahkan, Prilia bilang sampai nangis karena tidak bisa nulis. Berjam-jam di warnet, dia bengong di depan komputer karena tidak tahu harus memulai darimana. Waktu itu yang ada di kepalanya sama denganku, nafsu besar ingin menulis sempurna, tapi justru malah tidak percaya diri.
“Aku malah dibilang redakturku, laporan yang kukirim mirip proposal skripsi,” kata Pak Rosyid.
Aku agak tenang. Aku merasa tidak terlalu susah. Aku yakin, pasti aku bisa. Makin sering nulis berita, mestinya makin membentuk kepintaran penulisnya.
Hari pertama yang susah, tapi sekaligus senang karena punya teman-teman baik.
No comments:
Post a Comment