Kampung saya jauh dari kota. Akses informasi dari luar daerah, pada waktu saya masih kecil (1980-an ) sangat minim. Jadi, umumnya, kami yang menetap di kampung hidup dengan tenteram, tidak ada persaingan ketat, dan lambat.
Walau begitu, kampung saya termasuk salah satu penyumbang besar tenaga kerja untuk Ibukota Jakarta. Hampir setiap rumah, orang laki-lakinya merantau. Merantau untuk bekerja di Jakarta merupakan salah satu sumber nafkah, di samping bertani dan berdagang.
Para pemuda kampung saya, rata-rata betah merantau. Setiap tahunnya, mereka hanya pulang kampung dua atau satu kali. Selebihnya ya hidup untuk bekerja, hidup untuk mendulang uang dengan bekerja apa saja di Jakarta atau daerah-daerah lainnya. Lalu penghasilannya dikirim pulang.
Nah, ada pengalaman yang sungguh sampai sekarang masih terekam di ingatan saya. Pakde-pakde saya atau kerabat lainnya setiap kali pulang kampung, membawa koran-koran bekas.
Nama korannya Pos Kota. (Sekarang setelah besar, saya punya banyak teman wartawan di koran ini. Bahkan, sekarang punya mbakyu angkat yang jadi wartawan senior di Pos Kota). Koran itu memang benar-benar bekas, yaitu bekas pembungkus oleh-oleh atau barang-barang lainnya.
Koran ini selalu saya kumpulkan di atas lemari. Saya ikat baik-baik agar selalu rapi. Saya sangat senang karena di salah satu halaman ada cerita bergambar. Yang paling saya ingat itu cerita bersambung Doyok yang setiap akhir cerita selalu membuat pembaca tertawa.
Setiap tahun atau setiap kali pakde-pakde saya pulang kampung, beliau pasti membawa koran bekas. Lama-lama koleksi koran Pos Kota saya banyak sekali. Bahkan sampai menumpuk tinggi di atas lemari pakaian di rumah.
Setiap kali mengambil koran bekas itu, rasanya bangga sekali. Karena punya bahan bacaan yang mungkin tidak dipunyai teman-teman lain di kampung.
Saya beruntung bisa melihat informasi seputar Jakarta lewat koran itu. Yaitu koran lokalnya Ibukota Jakarta. Walau memang saya tidak secara serius meneliti setiap informasi yang ditulis di setiap halaman, tapi sekilas-sekilas saya tahu ada kejadian kriminal atau ada kejadian-kejadian lucu lainnya.
Persentuhan dengan koran itu, lama-lama membuat saya makin tertarik dengan perkembangan dunia di luar kampung. Tetapi karena keterbatasan pengetahuan dan minimnya akses untuk itu, maka perjalanan saya untuk lebih mengenal dunia sangat lambat.
Lambaaaaat sekali. Dan sangaaaaaaaaat lambat. Tetapi pada waktu itu ada keyakinan yang tertanam di hati saya bahwa suatu hari nanti saya tentunya bisa keluar dari kungkungan keterbatasan pengetahuan di kampung.
Rekaman ingatan tentang keberadaan para mahasiswa KKN di kampung saya itu juga terlibat dalam pembentukan keyakinan itu. Kalau mereka bisa seperti itu, seharusnya sayapun bisa kalau mau.
No comments:
Post a Comment