Wednesday, May 19, 2010

Si Gocing Menulis

SEPULANG sekolah sore Gocing duduk di meja belajar. Ini tidak seperti biasanya. Dia langsung keluarkan pulpen dan buku tulis dari tas hitam. Dia duduk tegak. Matanya menatap kertas putih di hadapannya. Pikirnya dia bisa langsung segera menumpahkan isi kepalanya di sana.

“Aku ingin menulis cerita, ya, cita-cita yang selalu kutunda,” pikir Gocing.

Dia mengernyitkan dahi. Berkali-kali dia mainkan pulpennya dengan tangan kanan. Tangan kirinya juga sibuk mengelus-elus buku tulis yang sebagian sudah usang.

Cukup lama dia melakukan hal seperti itu. Ujung pulpen berkali-kali ingin menoreh. Tapi selalu tidak jadi. Agaknya dia masih ragu dengan apa yang hendak diguratkannya. Walau tadi sebelum masuk rumah, dia sudah siap tempur di atas kertas.

“Hmmm. Aku ingin menulis tentang cerita hidupku sendiri. Rasanya itu jauh lebih menarik ketimbang cerita-cerita di luar diriku.”

Anak ini berpikir punya segudang cerita yang bisa diutarakan dengan berbagai sudut pandang sesegera mungkin. Gocing sudah banyak membaca karangan kepunyaan teman-temannya. Dan dia merasa kalau orang lain bisa, mengapa dia tidak.

“Bukankah aku punya bahan di otakku. Masa aku tidak bisa, kan tinggal memulai saja,” katanya untuk memompa semangat.

“Sekarang ini aku sudah siap menulis,” pikir Gocing, “tinggal memulai saja.”

Dia ingat banyak teori-teori menulis. Guru-guru di sekolahnya selalu bilang mulailah ceritamu dengan hal-hal yang mudah. Pikirkan dengan ringan apa yang akan dituliskan.

Ingat nasihat-nasihat bijak dari guru-gurunya, Gocing tambah percaya diri. Dia pegang erat pulpennya. Sesekali dia tempelkan tinta ke kertas. Tapi, lagi-lagi, bocah itu menariknya lagi.

Dia merasa banyak sekali pikiran yang ingin ditumpahkannya. Tapi dia rasakan seolah-olah makin besar keinginannya laju tangannya untuk menulis malah terganggu.

Jadi, pikirannya justru tidak keluar lewat tinta. Aneh, pikirnya. Kenapa bisa begini. Jangan-jangan ini disebut nafsu besar tenaga kurang. Atau tenaga berlebih, tapi nafsu yang tidak memadai.

Gocing coba menyelidiki mengapa bisa macet untuk memulai satu atau dua kata. Padahal semangatnya tadi begitu menggebu. Apa karena lapar atau karena dahaga. Apa karena cuaca sedang panas atau apa karena dia kesepian.

“Ah, kenapa tidak juga keluar tulisanku,” keluhnya. “Padahal aku cukup tahu banyak teknik-teknik menulis cerita pendek.”

Dia mulai panik. Kesal pada diri sendiri mulai menguasainya. Sesekali dia mengumpat.
Tapi bukan Gocing kalau begitu saja menyerah. Kelebihan anak ini ialah mau tahan berlama-lama dalam suasana mentok seperti itu.

Dia pantang mencabut semangatnya. Di dasar hatinya ada keyakinan bahwa semuanya pasti bisa dilakukan, asalkan sabar sedikit.

Seperti cicak yang dikenal Gocing sebagai spesies yang sangat sabar bila sedang mengincar mangsa. Pelan-pelan tapi pasti, cicak mulai bergerak ke arah mangsa yang sudah terlihat. Lalu.
“Crep.” Lidah cicak berhasil menjulur sekaligus menjerat makanan yang lama dinanti.

Itu strategi menulis yang dipikirkan Gocing sore ini. Dia mulai sadar, panik tidak akan membuahkan hasil. Kesabaranlah yang menentukan keberhasilan. Pada waktu yang bersamaan, Gocing telah belajar tentang ketenangan. Kepanikannya mulai hilang.

Dengan mengambil sudut pandang seperti itu, Gocing mampu duduk di meja belajar selama sejam lebih. Memegang pulpen dan memandangi buku tulisnya yang masih kosong.

Pikiran dia pusatkan untuk membangkitkan apa saja yang tadi ingin diuraikannya di kertas tulis. “Ayo, ayo, ayo. Aku bisa,” dia berteriak dalam hati.

Dia berusaha mengurut-urutkan bahan-bahan cerita yang tersimpan di memorik kepalanya. Dia merasa harus menuliskannya dengan cerdas. Kalau tidak brilian, dia katakan pada dirinya, sia-sialah dia berpikir keras.

Dia ingin punya karya yang beda dengan karangan-karangan yang pernah dia baca. Gocing ingin punya karangan yang benar-benar bermakna.

“Sedikit karya bermakna, lebih berharga dibanding banyak karya yang kurang menghasilkan makna pembelajaran.”

Gocing kembali pada keinginannya untuk menulis. Dia garuk-garuk kepala. Sambil memainkan kaki di bawah meja belajar. Ternyata di luar rumah mulai hujan dan mulai gelap. Dia tidak ingin menutup jendela. Dia biarkan angin leluasa masuk dan menyejukkan wajahnya.

Tapi, hingga detik ini, dia belum menuliskan satu katapun di kertas tulis. Semua bahan yang hendak dimuntahkannya masih tertahan di kepala. Bocah ini belum mampu menerjemahkannya ke tulisan tangan.

Mengingat-ingat nasihat gurunya di sekolah. “Tulislah sesuai kata hatimu.” Ingat itu Gocing yakin mengarang cerita akan jadi sangat mudah.

Tapi ketika berhadapan di atas kertas, situasinya ternyata beda. Gocing sadar ternyata hasratnya saja yang menggebu-gebu. Tapi dia yakin sebentar lagi akan bisa kalau mau usaha.

Tiga jam telah lewat. Kertas masih kosong. Pulpen masih di tangan kanan. Sementara tangan kiri menindih separuh buku tulis. Kepala Gocing jatuh ke pundak kanan. Dia ketiduran di atas meja belajar.

Dia baru bangun pukul 05.00 WIB ketika semua orang di rumahnya masih tidur pulas. Dia sadar dia belum memulai usaha kerasnya kemarin petang. Setelah itu, mulailah dia mengingat-ingat kembali apa.

“Ternyata, aku tidak bisa menulis karena terlalu berat pikiranku untuk menulis sesuatu yang harus besar.”

Lalu dia menulis. Inilah tulisannya.

1 comment:

JANNERSON GIRSANG: Menulis Fakta Memberi Makna said...

Salut pak Sis. Artikel yang sangat mengispirasi.