Aku berkirim surat pada nenek, ibuku, dan adiku. Kukabarkan tentang perkembanganku di kota. Mulai dari pengalamanku di asrama sampai teman-teman yang menyenangkan di kos baru. Di tempat baru, benar-benar aku bisa mengatur jadwal belajar, jadwal pertemuan dengan teman, sampai jadwal mencari penghiburan.
Di tempat baru ini, aku bisa melakukan hal-hal yang tidak bisa kulakukan di asrama. Sebelum berangkat sekolah, misalnya, biasa olah raga di komplek perumahan. Ketemu orang-orang yang juga melakukan kegiatan sepertiku di jalan, itu sangat menyenangkan.
Aku punya teman namanya Mangun. Mangun juga anak kos yang suka olah raga pagi. Aku juga kenal Cepuk. Mangun dan Cepuk adalah anak desa. Di tempat asalnya, mereka dihormati teman sebaya. Dua orang ini sama-sama anak mantri desa. Jabatan yang cukup disegani di kampung.
Ternyata kedua anak ini, satu sekolah denganku. Bedanya, kedua teman ini masuk di siang hari, sedangkan aku masuk sore.
Sebulan kemudian, aku terima surat balasan dari nenekku yang ditulis oleh si Peci, temanku yang kuceritakan selalu membantuku itu. Nenek memang yang paling sering merespons surat-suratku.
Nenek sungguh senang aku bisa menikmati kota dan punya teman-teman baru. Nenekku selalu bilang, jangan nakal lagi. Nenek memang membikinku selalu gemas. Tapi bagaimanapun juga, cuma dia yang tahu betul tentangku.
Banyak kegiatan menarik di luar sekolah yang dapat dikerjakan di kos. Bukan cuma saling mengunjungi teman atau belajar bersama. Tapi juga jalan-jalan ke tempat-tempat bersejarah.
Pada suatu hari, Mangun mengagetkanku. Dia mengajakku naik sepeda onthelnya untuk keliling pusat kota. Aku, Mangun, dan Cepuk jalan-jalan sore ketika hari libur. Karena aku tidak punya sepeda, jadi, membonceng sepeda kepunyaan Mangun.
Kebersamaan semacam ini biasanya kami pakai untuk sharing soal pelajaran sekolah, entah yang membosankan sampai yang menyenangkan. Tetapi, sore sore ini, kami jalan ke taman kota. Lokasinya di persimpangan jalan dekat asrama atau penjara anak yang pernah kutinggal dulu. “Pohon beringin ini besar sekali. Tapi jarang orang main memperhatikannya.”
“Pohon ini seperti memiliki perutnya gendut. Seperti si Botak gendut yang suka menyemir sisa rambutnya itu.”
Mangun dan Cepuk tertawa terbahak-bahak. Mereka sudah tahu siapa si Botak. Soalnya, sudah kuceritakan segalanya tentang si Botak penanggung jawab asrama menyebalkan itu. “Kamu kualat nanti. Ini pohon keramat, pohon yang disakralkan orang sini,” kata Cepuk.
“Iya, ini pohon yang harus dihormati. Ini dipelihara di pusat kota ini supaya orang-orang bisa berziarah dan berdoa di sini, bukan untuk diejek-ejek,” sahut Mangun sambil memperhatikan patung.
“Aku tidak peduli. Bagiku, pohon berakar ini kalau dipikir-pikir lucu, mirip si penguasa asrama dulu,” ujarku. “Entah kenapa, tiap kali lewat sini, dan melihat lekukan besar di pohon, ingatanku tertuju pada si Botak buncit si raja asrama.”
“Ayolah, jangan terlalu fanatik. Menghormati pohon ini bukan berarti harus memberhalakannya.
“Kalau kalian terus berpikir soal menyakralkan pohon, aku malah jadi ingat lagi orang-orang di kampungku yang suka datang ke kaki bukit untuk menyerahkan sesajen ayam goreng dan telur.”
Ingat sajen, lalu aku cerita tentang masa kecilku yang suka mencuri ayam panggang dan telur di singgetan yang menurut orang tua, sajian itu untuk sesuatu yang dianggap bisa ikut memutuskan tentang jalannya rezeki.
Tiba-tiba meledak tawa Mangun. “Aku juga pernah melakukan itu.” Lalu dia menjabat tanganku sebagai tanda kesamaan sifat nakal.
“Ah, itu sama artinya kalian bodoh. Tidak menghormati kepercayaan leluhur,” Cepuk ikut berpendapat. “Itu tidak boleh dilakukan, orang tidak boleh mengganggu sesajen.”
Dibanding Mangun, Cepuk lebih fanatik pada kepercayaan pada pohon yang biasa ditaati orang kampungku. Itu bisa dilihat dari posisinya yang selalu menjadi pengkritik pendapat kami sepanjang malam di taman kota yang sudah tua itu.
Cepuk selalu bicara keras berargumen untuk menunjukkan bahwa dialah yang paling benar dalam hal memberi sesajen.
Cerita-cerita seperti itu selalu jadi bahan untuk disampaikan ke nenekku di kampung. Aku selalu menulis dengan teliti. Dan tiap kali nenek membalas suratku, dia seperti sedang sedih. Tapi, aku bisa merasakan, dia bangga punya cucu macam aku ini.
Kegundahan hati nenekku selalu terungkap lewat surat-suratnya untukku yang ditulis si Peci. Terkadang aku jadi bingung. Nenek suka mengirim sesaji ke pohon tua, tapi dia selalu minta aku taat shalat di masjid. Tapi, biasanya aku tidak mau berdebat soal itu. Susah mengalahkan nenek.
Kalau pendapat nenek kuceritakan kepada Cepuk. Dia pasti ikut mendukung nenek dan menyalahkanku. Tapi, aku tidak peduli. Itu tidak penting. Aku juga tidak bisa mengubah apa yang jadi kepercayaan orang.
Di lain hari dan seterusnya, kalau tidak main di taman pusat kota. Kami bertiga jalan-jalan di dekat gereja terbesar di kota ini. Letaknya berseberangan dengan asrama mengerikan itu. Di sana, kami menonton kemegahan bangunan gereja tua Katolik. Kami sering main ke sini.
Di lain waktu, kami juga suka menonton pameran kepolisian di Gelanggang Olah Raga. Main ke bendungan besar di kaki gunung. Terkadang di kumpul-kumpul di kosku saja sambil membantu ibu kosku berdagang. Soalnya, terkadang kami diminta bantuan untuk belanja tetek bengek barang-barang rumah tangga di pasar.
Kehidupan di kos dan sekolah di kota membuatku cepat tumbuh dewasa. Tetapi terus terang, tidak banyak kebijaksanaan yang kuserap dari guru-guru di sekolah, kecuali ilmu yang terkait dengan keterampilan. Bagiku mereka sama otoriternya dengan orang-orang dewasa di kampungku dalam memperlakukanku.
Justru, pertemananku dengan sahabat-sahabat yang punya sifat baik seperti Mangun dan sifat fanatik seperti Cepuk atau rajin seperti Gendut-lah yang membentuk kepribadianku menjadi semakin matang. Pengetahuan-pengetahuan yang kami peroleh dari ngobrol, membaca, dan menonton berbagai pertunjukkan publik, lebih banyak masuk ke kepalaku, ketimbang monolog dari guru di sekolah.
Salah satu guruku yang galak namanya Bewok. Itu sebutanku padanya. Soalnya, dia memang brewok. Aku pernah bermusuhan dengannya. Gara-garanya, aku sering tidak masuk kelas kalau dia mengajar. Suatu hari aku dipanggilnya untuk menghadap di ruang guru.
Dia tidak bertanya mengapa aku tidak masuk. Tidak bertanya apa aku bisa menguasai pelajarannya atau tidak. Tapi dia mengatakan aku sebagai anak tolol dari kampung. Tidak tahu terima kasih pada orang tua yang jauh-jauh menyekolahkan aku. Pernyataan seperti itu sama juga yang pernah dikatakannya pada teman sekelasku lainnya kalau tidak masuk sekolah.
Aku malas ikut pelajaran dia karena dia sering genit sama murid perempuan. Tapi dasar tidak tahu malu. Dengan murid laki-laki, dia kerap kali pakai kata-kata kasar dan sewenang-wenang bila terhadap mereka yang yang tidak belum mampu menguasai ilmu mengetik di mesin tik seperti yang diajarkannya.
Aku tidak protes pada waktu aku dinasehati dengan kasar. Karena aku tidak mau dipukul, seperti ketika dia menghantam temanku hanya karena beberapa kali bolos mata pelajarannya. Si Bewok ini seperti darah tinggi. Mengajar anak sangat kaku. Tidak bisa membangun suasana belajar yang asyik. Kalau dia mengajar, semua anak tegang.
Nah, di lain hari, aku akhirnya tahu kelemahan guru mata pelajaran mengetik ini. Dia seorang wali kelas. Berarti, untuk dapat nilai baik dari sekolah, dia harus mampu menguasai murid. Misalnya soal jumlah kehadiran murid di kelas. Kalau dia tidak mampu, maka dia gagalan. Kalau dia gagal, kepala sekolah bisa menegurnya.
Kukerjai dia. Aku makin sering tidak masuk tiap kali ada kelasnya. Pikirku, masa bodoh. Yang penting, aku sudah tahu ilmu mengetik, karena aku sudah belajar mengetik setiap hari menggunakan mesin kepunyaan ibu kosku. Aku jauh lebih jago dari teman-temanku yang umumnya hanya belajar mengetik di sekolah. Lagi pula, semester lalu, nilaiku tertinggi di mata pelajaran mengetik. Itu yang bikin aku percaya diri untuk tidak masuk.
Agaknya, dia makin meradang. Di saat upacara bendera awal pekan, dia pernah melotot seperti sedang menahan amarah kepadaku. Mungkin sebelumnya, dia kena tegur kepala sekolah karena tidak mampu membuatku disiplin masuk kelas.
Sikap keras kepalaku dipahami teman-teman lain. Bewok memang guru paling galak. Dia jadi simbol perlawanan bersama. Dan nasibku yang selalu dimarahi dia, membikin teman-teman lain bersimpati denganku.
Pertengahan catur wulan, aku pernah berhasil mengajak teman-teman membandel. 90 persen temanku tidak masuk kelas. Waktu itu, si Bewok mau memberikan pelajaran ekstrakurikuler karena kemampuan rata-rata teman-temanku dalam ilmu mengetik masih kurang.
Mangun, temanku yang semester ini pindah ke kelas sore, ikut tidak masuk. Dia menjadi salah satu provokator yang ikut aksi pemboikotan. Aku bangga juga dengan dia. Makin kritis. Walau, sebenarnya kebandelan ini bisa membuat para orang tua kami marah kalau sampai mereka dengar.
Sampai suatu hari di catur wulan ganjil, ada berita menggembirakan. Bewok mengundurkan diri dari sekolah karena berdasarkan hasil evaluasi pendidikan, dia gagal membuat murid maju. Kami semua bersenang-senang. Apalagi, guru pengganti Bewok masih mbak-mbak.
Pelajaran sekolah tetap sama membosankannya. Tetapi kebersamaan dengan teman-teman mengalahkan kebosanan itu. Sampai akhirnya ujian akhir tiba. Hasilnya, aku lulus sekolah dengan predikat cukup baik. Seandainya aku tidak sering bolos sekolah dan membangkang sama guru, kemungkinan besar, aku tergolong anak-anak dengan hasil predikat terbaik. Mangun masuk golongan pas-pasan. Dan Cepuk masuk golongan cukup baik.
Memang tidak terasa lama waktu tiga tahun ini untuk menuntut pendidikan di pusat kota yang jauh dari kampung. Banyak pergaulan dengan teman-teman yang asyik, banyak aktivitas di luar gedung sekolah yang kuikuti, itu semua membikin masa sekolah ini sangat menyenangkan.
Kami harus memilih jalan hidup masing-masing. Aku memilih melanjutkan kuliah di Ibukota Jakarta. Sedangkan kedua temanku, Mangun dan Cepuk, pulang kampung. Mereka tidak bicara soal rencana, tetapi aku menduga mereka lebih tertarik jadi mantri seperti orang tuanya.
Aku pulang. Si Peci memang luar biasa baik. Tiga tahun lalu, dia yang mengantarku ke kota, kini dia yang menemaniku pulang ke kampungku lagi. Tentu saja perjalanan di bis tidak sesusah dulu. Tidak sefrustasi dulu. Kini aku bangga karena punya ijazah SMA. Ijazah yang masih jarang dipunyai anak-anak kampungku.
Pendapat orang-orang dewasa di kampungku sudah pasti berubah seperti yang kuduga. Bagaimanapun, dalam hati kecil mereka, pasti ada pengakuan bahwa wawasanku pasti lebih luas. Betapa tidak, pak lurah saja tidak lulus SMA di kota. Orang-orang yang dulu kekerjai, kini jadi baik. Mataku sampai berkaca-kaca ketika ada penyambutan kecil-kecilan di rumah.
Masa bernostalgia di kampung tidak kunikmati lama-lama. Aku harus ke Jakarta. Aku akan kuliah di sana. Itu impianku. Tidak sampai sebulan aku di kampung. Karena memang ini masanya penerimaan mahasiswa baru. Sebelum ke Jakarta, selain pamitan ke bapak tiriku yang jarang senyum, ibuku, adikku, nenekku, anak-anak kampung sahabatku, juga si Peci yang pernah mengantarku ke asrama, juga si Gendut, Mangun, dan Cepuk. Kalau si Gendut, rupanya dia juga mau melanjutkan sekolah ke Jakarta.
No comments:
Post a Comment