Tuesday, May 11, 2010

Gambar untuk Ekspresi (3)

Jaman masih sekolah di SDN Mojopuro III, saya paling menyukai pelajaran keterampilan, seperti menggambar. Tetapi saya tidak suka keterampilan yang agak rumit, seperti membuat anyam-anyaman dari kertas warna-warni.

Bagi saya menggambar itu lebih enak. Apalagi menggambar tentang panorama alam atau menggambar ulang obyek lain. Dengan menggambar, saya bisa mengekspresikan hasrat saya yang tidak bisa saya ungkapkan kepada orang lain.

Alat gambar saya tentu saja bukan peralatan menggambar serius, melainkan cuma pensil biasa. Tempat menggambarnya pun hanya kertas tulis atau kadangkala kertas gambar. Saya sangat senang kalau ada teman yang menyukai hasil karya saya. Apalagi kalau ada yang keceplosan memuji, itu sungguh membanggakan.

Karya gambar itu biasanya tidak saya simpan dengan baik, melainkan hanya dibiarkan di buku tulis yang bercampur dengan catatan-catatan sekolah. Jadi, setiap buku itu penuh, biasanya akan saya taruh di rumah dimanapun tempatnya. Sehingga, lama-kelamaan hilang entah ke mana.

Pada waktu itu, saya belum tahu mengapa saya menyukai keterampilan melukis. Semua itu berjalan begitu saja. Yang ada dalam pikisan saya, ya lebih baik melakukan sesuatu untuk menyenangkan hati, daripada bingung.

Oleh teman-teman saya lama kelamaan saya dikenal dengan penghobi menggambar. Walau tidak bagus-bagus amat, terkadang hasil karya saya membuat teman-teman di kelas terhibur. Misalnya kalau lagi melukis tokoh cerita pendek di buku cerita yang ada di perpustakaan.

Hasil gambaran tiruan yang saya bikin, pasti akan dilihat oleh semua teman sekelas. Pada waktu-waktu seperti itu, rasanya saya jadi orang penting. Ada pengakuan terhadap karya buatan saya, kira-kira seperti itu yang saya pikirkan.

Sayangnya kelebihan semacam itu lama-kelamaan hilang seiring dengan perjalanan hidup. Anak model saya yang terbatas pengetahuannya, mana tahu tentang potensi diri atau pengembangan bakat. Apalagi orang-orang dewasa di sekeliling saya pun tidak menangkap kelebihan-kelebihan anak.

Mungkin para orang dewasa terlalu capek dengan tanggung jawabnya di keluarga, Sehingga tidak jeli melihat perkembangan atau kecenderungan bakat yang dipunyai anak-anaknya. Atau memang mereka tidak paham dengan pentingnya menggali potensi yang ada pada keturunan mereka.

Akan tetapi yang jelas masih terekam sampai dewasa ialah pengalaman keterampilan tangan semacam itu ternyata bisa menghadirkan kesenangan dan pembebasan. Pikiran semacam itu ikut membangun kesadaran tentang posisi saya di tengah masyarakat.

2 comments:

Anonymous said...

Banyak orang dewasa yang lupa bahwa dulu pernah jadi anak-anak. pak sis pernah baca buku pangeran kecil yang ditulis oleh Antoine de Saint Exupery? Menurut saya setiap orang dewasa harus membaca buku itu supaya mereka tidak lupa pernah menjadi anak-anak :D sehingga mereka akan lebih mengerti perasaan anak-anak ^_^. salam dan semangat pakdhe!!

Siswanto said...

nggih mbak ndanda. matur nuwun. kok menarik banget buku itu. aku rung moco nda. tar tak cari dulu, semoga di toko buku ijik ono. yo, aku setuju karo pendapatmu. mengenang masa kecil itu kegiatan menyenangkan, apalagi ditulis.. eh cerita2 petualanganmu menarik lhonda.. keren