Friday, May 21, 2010

Gocing 1 (r)

SEWAKTU masih bocah, aku tergolong pendiam. Terkadang pemalu. Tapi bukan berarti takut terhadap tantangan yang ada di sekitar lingkungan. Terkadang, karena terlalu suka tantangan, aku mendapat julukan anak nakal oleh para orang dewasa di desa.

Kadangkala aku melakukan kenakalan seorang diri. Seringnya, sih, mengajak teman untuk melakukan hal-hal usil di daerah kami. Seperti yang terjadi di suatu siang, ketika rumah tetangga menyelenggarakan kondangan. Aku mengajak serta beberapa teman mengendap ke singgetan atau kamar tengah rumah yang sedang kedatangan banyak tamu untuk meramaikan acara.

Sesampai di singgetan, kami mencuri daging ayam sesajen. Kuperintahkan teman-temanku untuk mengambil telur-telur dan uang koin serta uang kertas yang ditaruh di atas tampah. Uang yang merupakan barang langka diletakkan secara sembarangan di antara kembang setaman dan gunungan-gunungan tumpeng.

Sebenarnya pada waktu melakukannya, aku agak takut dengan aroma kemenyan dan suasana mistis di kamar tengah. Apalagi kalau ingat cerita-cerita para orang tua. Sesajian ini diperuntukkan bagi sesuatu yang ghaib sifatnya atau sesuatu yang betul-betul harus dihormati.

Aku tidak tahu yang disebut sesuatu itu. Otak ini tidak bisa melampaui pikiran orang tua. Tetapi itulah yang selalu diceritakan orang tua kepada kami, anak-anak kampung. Keinginan makan enak dan memperoleh uang jajan tanpa harus merengek-rengek kepada orang tua membuat kami lupa akan sesuatu yang disakralkan tadi.

Daging dan telur hasil dari menggasak sesajen langsung kami bawa kabur ke tepi sungai. Kami menaruh makanan yang mengeluarkan aroma lezat itu di baju yang dilipat di bagian perut. Sampai di tanah lapang pinggir bantaran sungai, kami buka dan kami makan ramai-ramai. Puas sekali.

Ditambah lagi, ada uang recehan dan beberapa lembar uang kertas. Menyenangkan. Jajan enak, sudah pasti.

Setelah itu, dengan bangga dan hati damai, aku dan dua teman yang terlibat aksi menikmati sesajen melangkah pulang dengan pasti. Tidak ada yang tahu apa yang telah kami lakukan. Rasakan sendiri, kenapa kalian semua sibuk. Sampai ada orang masuk singgetan, tidak ada yang menyadari.

Alangkah kagetnya, begitu aku berpisah dengan dua sobat, sampai di rumah, nenekku, Saijah, berdiri di pintu. Kalau dia sudah memasang wajah tanpa ekspresi senyum, aku berani bertaruh, dia pasti sedang panas. Karena aku tidak tahu apa sebabnya. Aku tidak peduli. Mungkin saja dia marah karena hal lain.

Ternyata dia marah denganku. Dia dapat laporan dari pemilik rumah kalau beberapa jam lalu, sesajen berantakan dan sebagian hilang. Si empu rumah tahu aku yang mengobrak-abrik sajen setelah ada salah satu saudaranya melihat aku dan dua teman makan dengan lahap di tepi kali. Pada waktu itu, saksi mata itu sedang menjemput dukun.

Aku diantar nenek menghadap pemilik rumah. Ternyata, di sana sudah ada dua teman yang kulibatkan dalam aksi di kamar yang dikeramatkan pemilik rumah. Kami semua kena marah, terutama aku yang mempengaruhi teman-teman untuk menggasak sesajen.

Tak cuma itu. Kali berikutnya, aku juga melakukan hal serupa. Tapi, seorang diri. Ketika orang-orang merapal doa bersama di atas tikar dalam rumah, aku menyelinap masuk ke singgetan setelah merangkak lewat bawah ranjang tidur besar.

Begitu sampai di dalam singgetan, hati bersuka cita. Tanganku mengambil satu persatu telur di atas tampah. Lalu kumasukkan ke saku. Tak sengaja tangan kiri menyodok gelas besar yang berisi kembang setaman. Gelas yang isinya air wangi yang aromanya mampu membikin bulu kuduk berdiri, tumpah.

Pemilik rumah sudah pasti curiga ada sesuatu di singgetan. Tapi waktu itu, dia pasti tidak tahu aku di dalamnya. Sebenarnya, aku sudah tengkurap agar tidak diketahuinya. Tapi, sial, kaki besarnya menginjak kepalaku. Yang terjadi kemudian, aku dijewer keluar.

Di usiaku yang ke delapan tahun, namaku mencorong di kampung. Terkenal sebagai bocah pendiam yang berkepala batu. Berani memakan sesajen yang masih dalam proses persembahan kepada “sesuatu” merupakan tindakan yang sangat tabu di kampung.

***

Sebagian besar orang tua tidak menyukaiku. Bahkan, reputasiku sebagai anak nakal juga jadi pembicaraan orang-orang dewasa yang fanatik terhadap hal-hal yang tahyul di desa tetangga. Tapi, aku tidak ambil pusing. Peduli amat dengan mereka. Karena rasanya menyenangkan melakukan hal-hal yant tidak dilakukan anak-anak kampung.

Teman-teman yang lebih dewasa, juga tidak banyak yang dekat denganku. Entah mereka segan atau takut kena masalah. Bahkan, suatu hari ada yang sampai ingin menghajarku karena aku paling benci menuruti keinginan mereka.

Tetapi, walau mereka memusuhi, diriku cuek saja. Kadang kutantang mereka berkelahi kalau sampai memaksaku melakukan sesuatu yang tidak bertolak belakang dengan kehendaku. Tidak ada urusan. Misalnya, aku dimintai burung merpati. Kalau tidak dikasih, kata mereka, maka aku akan ditenggelamkan bila sedang berenang bersama. Memaksa benar, pikirku.

Di lain waktu, kenakalanku semakin menjadi-jadi dan aku makin terkenal. Tapi terkadang sangat konyol. Suatu malam, aku ajak teman-teman dari kampung lain datang ke rumah. Sebenarnya idenya bukan datang dariku. Kami mencuri buah kelapa di tengah sawah, pinggir sungai besar.

Aku tidak jago panjat pohon. Satu orang teman, kupaksa naik ke pucuk pohon kelapa untuk memetik buahnya. Dia berhasil. Dan satu persatu buah kelapa muda berjatuhan ke tanah. Tentu saja itu hasil yang sangat menggembirakan.

Setelah aksi kami berhasil, semua anak berlari menuju pinggir ladang di dekat sumur warga yang waktu itu pasti sudah terlelap dalam alam mimpi. Pada waktu berlari, kami semua telanjang bulat. Betapa bodohnya. Itu usul temanku, katanya kalau mencuri dengan telanjang, setanpun tidak tahu.

Pesta buah kelapa muda berlangsung lancar. Keesokan hari, kampungku ramai pemberitaan soal pencurian buah kelapa. Mereka tahu ada pencurian karena kulit kelapa tidak kami buang. Untungnya, tidak ada warga yang tahu aksi kami.

Tetapi dasar ada anak tolol, sepekan kemudian rahasia aksi kami bocor lewat mulut teman yang membangga-banggakan diri karena berani manjat pohon kelapa tengah malam.

Terutama aku, aku dimarahi habis-habisa. Dicap sebagai pembawa onar. Tapi nasihat sekaligus makian hanya masuk telinga kanan dan langsung keluar lewat telinga kiri.

Seingatku, punya sikap ngeyel memang hebat di kampungku. Dan aku punya sikap semacam itu. Tiap ada orang dewasa yang marah, sudah pasti mereka akan semakin geram sampai bosan. Aku tidak mempan dimarahi. Apalagi cuma lewat lisan. Lewat fisik saja aku sering. Misalnya oleh ibuku, Sani.

Di rumah sendiripun aku juga sangat bandel dan selalu ingin menang. Adikku, Rumi, harus takluk. Kalau mereka ngeyel, itu bisa bikin aku siap bertarung dengan mereka. Ibaratnya, aku ingin jadi komandan, dan mereka jadi anak buah melulu.

Pernah suatu ketika membikin nenekku marah besar. Halaman rumah kupaculi. Tanahnya yang masih basah kelemparkan semuanya ke lantai rumah. Tentu semua jadi kotor. Setelah itu aku lari karena kecewa setelah merasa tidak ada yang bisa memahami diriku.

Nenek kemudian membersihkan lantai rumah. Tanah-tanah disapu lagi dan dilemparkan ke luar. Lantai jadi bersih lagi setelah di pel. Walau begitu, nenekku butuh waktu sejam lebih untuk mengerjakannya seorang diri.

Ketika pulang ke rumah, aku sadar akan kena murka nenek. Benar saja. Dia marah. Dan dia tidak puas dengan sikapku yang melampiaskan kekecewaan dengan cara mengotori lantai rumah. Dia minta aku bercerita kalau lagi punya persoalan.

Walau itu nasihat baik, tapi karena penyampaiannya dilakukan dengan keras, aku menangkapnya sedang marah. Kalau sudah berpikir orang lain memarahiku, aku akan cuek. Suara masuk kuping kanan dan keluar langsung lewat kuping kiri.

Aku sudah tidak begitu ingat kenakalan apa saja yang pernah kulakukan di kampung sewaktu masih duduk di sekolah dasar. Kebandelan pernah membuatku terlibat permasalahan dengan tetangga.

Meteran listrik rumah tetangga yang terletak di belakang rumahku, kumatikan. Aku kesal karena mereka selalu memutar musik sekeras-kerasnya. Seolah-olah, di kampung cuma dia yang hidup. Aku lari sekencang-kencangnya setelah itu. Kupikir ulah itu tidak ada orang yang tahu. Sampai sore hari ketika aku pulang, ternyata di rumah sudah ada Sukarta, si pemilik rumah yang kumatikan meteran listriknya.

Kuintip dari tumpukan jerami di halaman rumah. Sukarta dan nenek sedang memperbincangkan diriku. Sukarta orangnya bengis. Dia bilang ke nenekku, ingin rasanya dia memukulku biar jera. Di mata laki-laki yang jarang senyum dan suaranya keras itu, aku adalah anak biang onar. Tapi, nenekku melarang. Nenek mewanti-wanti kalau aku pulang ke rumah, tidak usah menggunakan cara fisik, melainkan memarahi dengan lisan saja.

Aku berpikir, jangan-jangan orang seperti Sukarta ini sakit. Dia tidak peduli orang lain kalau sedang memutar radio, misalnya apakah mengganggu atau tidak. Harusnya, ulahku itu ditanggapinya sebagai pelajaran. Bukannya malah memusuhi anak kecil sepertiku.

Sambil terus menguping pembicaraan Sukarta dan nenek, aku merayap menuju pintu samping untuk masuk rumah. Soalnya, aku sudah tidak tahan berlama-lama di balik jerami. Banyak nyamuk dan semut. Aku teriak ketika menginjak kain milik nenek. Kupikir ular. Posisiku ketahuan Sukarta.

Aku dimarahi habis-habisan oleh Sukarta. Saking murka dia, aku jadi agak takut. Jangan-jangan dia akan pukul aku. Atau dia akan banting tubuhku yang kurus. Aku siap-siap lari kalau dia membuat gerakan untuk menangkap badanku. Untungnya kekhawatiranku tidak jadi kenyataan.

Nenek cuma diam saja melihat diriku dimarahi Sukarta. Nenek justru memperlihatkan rasa puas. Mungkin amarahnya yang selama ini dipendamnya, seperti ikut tersalurkan lewat kemarahan orang tua tetangga yang galak.

Keberanianku mengusik ketenangan keluarga Sukarta menjadi cerita terkenal di kampung. Tidak ada anak yang berani melakukan itu, kecuali aku. Ini bikin teman-temanku hormat padaku di lain hari. Mereka bilang kenapa aku tidak mengajak tetangga itu berkelahi saja. Bahkan ada yang konyol. “Kau panah saja pantatnya.” Dengar ketololan temanku, lama-lama aku jadi bangga.

4 comments:

Galuh Parantri said...

Bandel banget yak Gocing! pengen tau gedenya dia masih membangkang atau justru jadi lemah lembut?
bersambung kan ya ini?

Siswanto said...

hihihi.. tar liat sambungannya.. suwun sudah moco

JAPEMETHE said...

he he.... koq jik kelingan jaman jik bocah

Siswanto said...

suwun yo wan wis moco.. yo ijik no. tapi okeh sing lali. sing kelingan yo mung nakale thok. wkwkwkkw