Tuesday, May 25, 2010

Gocing 4 (r)

AKU berhasil lulus SD. Lalu aku melanjutkan sekolah ke SMP. Tak perlu kuceritakan masa-masa kenakalanku di SMP. Tidak ada yang berubah. Aku masih suka membikin onar kampung. Singkat cerita, walau nakal, aku tergolong anak paling menonjol di sekolah.

Buktinya, di akhir pertengahan tahun 2004, aku berhasil menyelesaikan studi SMP. Nilaiku sangat bagus. Semuanya berada di atas rata-rata. Aku menyabet juara pertama.

Di keluargaku, neneklah orang yang pertama kali tahu itu. Soalnya, beliau yang mengambil rapor di sekolah.

Dia bangga sekali pada waktu menerima rapor. Setelah acara pengumuman yang diselenggarakan sekolah selesai, kami pulang. Di tengah jalan, nenek bilang ingin menraktri makanan enak. Tempatnya, di salah satu tempat makan yang berada di pusat pemerintahan kecamatan. Aku makan sepuas-puasnya di sana.

“Ini untuk mensyukuri pencapaianmu,” nenek berkata. “Jangan lupa, jadilah anak yang bergunak nanti.”

“Terima kasih nek,” sahutku tanpa menoleh ke arah nenek.

Nenek makan dengan sangat-sangat menikmati makanan. Jarang kulihat dia makan seperti itu. Aku tahu, dia sangat menyayangiku. Pencapaianku di bidang pendidikan ini seolah telah membayar kekecewaan beliau atas kenakalanku di kampung.

“Ayo langsung pulang. Besok kita undang teman-temanmu untuk syukuran di rumah,” ujar nenek setelah menyerahkan beberapa lembar uang untuk membayar makanan.

Ibu dan bapak tiri baru tahu raporku tiga minggu kemudian. Soalnya, mereka memang biasa pulang ke kampung hanya sebulan sekali. Raporku membuat mereka tersenyum.

“Kamu harus sekolah lagi di SMA,” kata ibu ketika menyiapkan sarapan untuk adikku yang baru akan berangkat sekolah.

Aku mengangguk. Dan aku sangat senang dengan dukungan ibu. Jarang-jarang aku mendengar dia berkata dan bersikap seperti itu. Sebab yang kulihat selama ini, dia sungguh keras.

***

Aku berangkat ke Wonogiri. Wilayah ini merupakan pusat pemerintahan daerahku. Aku diantar seorang teman. Naik sepeda motor ke kota kecamatan, lalu naik bus besar menuju ke Wonogiri. Aku akan tinggal di kompleks masjid paling besar dan paling mewah di kotaku. Di sana nanti, aku tinggal di bangunan asrama.

Perpindahanku dari kampung ke kota untuk bersekolah di tingkat atas membuat orang-orang kampungku senang. Biang kerok telah pergi, mungkin begitu pikir mereka. Anak-anak aman. Tidak ada lagi yang meracuni anak-anak mereka untuk melawan dominasi para orang dewasa.

Siang itu, aku bawa tas besar. Rasanya menderita sekali. Tas yang satunya lagi dibawakan oleh temanku, Peci. Peci ini usianya lebih tua sedikit dariku.

“Di asrama nanti, kamu akan tinggal bersama anak-anak sekolah lainnya,” kata si Peci.

Aku sebut dia Peci karena anak ini suka sekali pakai pecinya yang kecokelatan, padahal peci itu awalnya hitam. Pada waktu kami sama-sama duduk di bangku SD, dia memang paling sering kukerjai. Tapi dia tidak pernah memusuhiku.

Pamannya adalah seorang guru agama di Wonogiri. Itu sebabnya Peci sering pergi ke kota untuk mengunjungi pamannya. Lewat pamannya, dia punya banyak kenalan ustad. Salah satu ustadnya yang memimpin masjid tempat aku akan tinggal selama SMA.

“Ci, aku agak sedih. Aku tidak kenal siapa-siapa di sana. Tidak punya teman baik lagi,” kataku.

“Tidak apa-apa, di sana nanti kamu akan punya teman-teman baru. Mereka pasti sama menyenangkannya dengan teman-temanmu di kampung,” hibur Peci.

“Kamu kan harus maju. Lebih maju dari teman-teman di kampung yang tidak mau lanjut sekolah lagi.”

“Percayalah, kamu pasti senang.”

Si Peci sok tahu ini lama-lama membuat hatiku tenang. Dasar sok tahu. Apa dia tahu yang betul-betul kupikirkan. Lihatlah keluargaku, tetanggaku senang betul aku tidak di kampung lagi. Entah mereka mendukungku sekolah atau tidak, tapi sikap mereka yang sama sekali tidak merasakan kehilangan, itu yang bikin aku susah.

Setidaknya aku lebih maju dari mereka. Para orang tua yang keras hati, tidak cukup pandai memahami kemauan anak, tapi selalu ingin menang. Baiklah, aku akan maju. Aku akan berkembang. Akan kukepakkan sayapku. Nanti, nanti, nanti akan kubalikkan pikiran kalian yang salah kalau terus menerus membatasi kreatifitas anak demi yang namanya ketaatan, kesopanan, dan banyak aturan-aturan yang intinya kalian ingin dihormati saja.

Bis yang kutumpangi berjalan cepat. Akhirnya bus berhenti di tengah kota. Dua jam lalu, aku menapak tanah kampung. Sekarang, aku di kota besar. Mungkin sebenarnya ini hanyalah kota kecil. Tapi karena aku baru pertama kali datang, ini jadi kota besar, kota metropolitan, di beberapa tempat kulihat gedung bertingkat. Hebat. Seperti yang sering ditayangkan di televisi.

Peci membantu membawakan tas ketika semua barang diturunkan dari bus. Seandainya tidak ada Peci, setengah mati aku membawanya. Ukuran tas lebih besar dari badanku. Isinya, sebagian besar makanan bawaan dari nenek.

Kami berjalan menyusuri trotoar. Orang-orang yang berpapasan dengan kami cuek-cuek. Tidak menengok ke arahku. Beda dengan orang di kampungku, tiap kali berpapasan denganku, seperti menguapkan energi kemarahan.

Sampailah kami di gedung yang berhalaman sangat-sangat besar. Gedung itu rupanya masjidnya. Berlantai empat. Di sisi kanan halaman, berdiri menara tinggi. Di puncak menara, ada enam toak. Toak itulah juga ada di masjid kampungku. Tapi, di kampung tidak sampai enam biji.

Di kampung, aku sering rebutan untuk meneriakkan adzan. Aku yang sering menang, karena aku pasti akan berkelahi kalau aku sampai tidak dikasih kesempatan. Biasanya setelah adzan kumandangkan, aku langsung pulang. Aku jarang ikut salat di masjid. Nanti setelah teman-temanku pulang dari masjid, barulah kuajak mereka bermain.

Aku betul-betul merasa asing ketika masuk ke komplek masjid ini. Apa mungkin aku bisa punya teman-teman banyak lagi di sini. Apa kepala kompleks ini mau mengizinkanku main atau keluyuran kemana-mana.

“Ci, aku ngeri,” kataku untuk memecah kebisuan.

Peci tertawa. “Ngeri sama apa. Mencuri kelapa tengah malam saja kamu tidak takut.”

“Sialan kamu. Maksudku, baru masuk ke kompleks ini saja aku merasa tidak nyaman,” kataku sambil mengajak Peci berhenti di teras masjid.

Aku memikirkan bagaimana caranya agar tidak langsung masuk ke asrama. Lalu, mempertimbangkan untuk mencari tempat penginapan lain. Tapi, Peci keburu jalan lebih dulu. Menyebalkan anak ini.

Kami diterima oleh pemimpin asrama. Orangnya sudah agak tua. Pakai sarung putih dan baju koko. Di kepalanya pakai sorban. Ustad ini rupanya sudah berteman baik dengan si Peci. Agaknya, sebelum kami datang, Peci sudah menginformasikan kepada ustad bahwa aku berniat menjadi anggota asrama.

Peci langsung cium tangan ustad. Sedangkan aku hanya jabat tangan sambil mengucap salam. Aku tidak biasa cium tangan. Setelah namaku dicatat di buku milik ustad, aku langsung diantar ke salah satu kamar. Kamarku dekat dengan ruangan sekolah Tempat Pendidikan Alquran.

***

Matahari sudah terbenam. Kupikir Peci akan menginap untuk sementara waktu bersamaku. Ternyata dia memutuskan untuk tetap pulang saat itu juga, walau sudah berusaha kucegah. Setidaknya untuk malam itu.

Sepulang temanku kembali ke kampung, aku disergap perasaan kehilangan. Kini, aku tinggal di asrama. Sepi. Penghuni asrama ini tidak begitu peduli denganku. Mungkin karena belum kenal. Mereka semua sibuk dengan kegiatan masing-masing. Usai shalat, ada yang langsung belajar, ada yang diskusi, ada juga yang tidur.

Di lain hari, aku mulai kenal satu persatu para penghuni asrama. Tidak butuh waktu lama aku menjadi teman mereka. Aku paling kecil sehingga lebih mudah untuk masuk.Walau usia mereka lebih tua, ternyata anak-anak itu juga baru sepertiku. Rata-rata, orang-orang itu juga baru sekali menginjakkan kaki di kota. Sama juga denganku, mereka datang ke kota untuk sekolah.

Tidak butuh waktu untuk menyesuaikan dengan lingkungan asrama. Karena, situasinya hampir mirip dengan di kampungku. Semuanya serba takluk pada peraturan yang tentu saja dibikin orang dewasa yang berkuasa.

Aku berusaha sadar dengan posisiku. Aku adalah anak asrama. Jadi, aku harus menunjukkan kepatuhan pada aturan itu. Bangun pagi buta. Membersihkan lantai, halaman, dan taman di kompleks masjid. Memasakan nasi dan lauk untuk orang-orang yang lebih tua di asrama, membersihkan kamar mereka. Lalu, menyapu dan mengepel asrama secara keseluruhan.

Aku mulai betul-betul familiar dengan keadaan semacam itu setelah tiga bulan berada di sana.
Setiap hari, aku memperhatikan teman-teman seasrama. Di antara mereka banyak juga yang bandel. Ada juga yang jujur menunjukkan kebandelannya. Tapi, ada yang pura-pura rajin. Dan aku lebih cepat akrab dengan mereka yang tidak terlalu taat pada aturan. Walau begitu, aku juga sangat disenangi oleh teman lain yang taat pada aturan.

“Aku shalat di lantai bawah saja ya. Kalian yang salat berjamaah di atas,” kataku pada teman sekamar. Dia kupanggil Gendut. Tebal badannya tiga kali lipat dari badanku.

“Kenapa begitu, nanti kamu dicari ustad,” jawab temanku.

“Jangan bilang-bilang kalau begitu. Yang pentingkan aku shalat, walau tidak ramai-ramai.”

“Nanti aku yang dicecar,” kata dia lagi.

“Bilang saja aku ikut shalat, tapi di urutan belakang,” kataku.

Biasanya teman-temanku tidak suka berdebat. Lagipula, pasti mereka tidak akan berlama-lama untuk bertanya-tanya tentang alasanku kenapa tidak mau shalat berjamaah di lantai dua. Soalnya, sudah tidak ada waktu karena jam shalat hampir dimulai shalat.

“Ya sudah. Terserah kamu saja. Jangan sampai seperti dua teman lainnya, dimarahi karena tidak ikut shalat bersama,” katanya sebelum pergi.

Aku pergi gudang tempat penyimpanan tikar. Tempatnya di bagian bawah tangga besar. Tangga ini merupakan tangga utama masjid. Di sana, aku langsung tidur lagi. Ruangannya cukup hangat. Empuk karena banyak tikar dan karpet kain.

Aku baru bangun setelah ada bunyi semprotan air dari taman. Temanku lagi menyiram tanaman. Ada-ada saja, pagi-pagi menyiram tanaman, pikirku. Si Gendut sok rajin.

Begitu dia menoleh, aku lagi menyeret-nyeret karpet. Ini modus supaya kelihatannya akupun sedang kerja keras.

“Duh, berat sekali ini tikar. Kotor pula abis dipakai kemarin,” teriakku sambil melirik ke arah gendut.

“Hebat sekali kamu. Diseret lewat mana tadi tikarnya, kok, sudah sampai di depan gudang saja,” Gendut meletakkan selang dan bergerak ke arahku. “Taruh situ saja, nanti aku bantu.”

“Tidak apa-apa, aku kuat sendiri,” kataku. Gendut mendekat. Dan aku ajak dia bicara. “Kamu rajin sekali ya. Aku tidak terlalu rajin di tempat ini.”

Gendut bilang dia rajin karena tidak punya pilihan lain. “Sebenarnya aku juga tidak betah di sini. Tapi aku takut sama orang tuaku kalau aku bilang begitu.”

“Nanti mereka akan bilang, aku anak tidak mau maju.” Lagipula, katanya, dia sangat segan sama pemimpin asrama. Dia takut kualat.

“Kenapa takut. Kita anak sekolah. Kalau bukankah sebenarnya sekolah itu untuk membebaskan diri kita.”

“Ingat tidak pesan khotbah Jumat lalu, Jadilah dirimu sendiri. Berkembanglah, karena kamu adalah kamu.”

Aku tidak tahu apakah yang kusampaikan barusan akan dianggap temanku sebagai sikapku yang sok-sokan atau apa. Yang jelas, dia seperti sedang memikirkan sesuatu setelah mendengarnya.

Sungguh tabu apa yang kulakukan itu. Sebab, teman-temanku, walau bandel, mereka tetap takut dan melakukan perintah pemimpin asrama. Waktu shalat, ya shalat, waktu belajar ya belajar, waktu tidur, ya tidur. Seperti sudah jadi hukum yang mutlak harus ditaati seumur hidup.

Enam bulan di asrama, aku sudah punya teman baik. Maksudku, ikut-ikutan aku tetap tidur di saat jam shalat Subuh. Tapi, tidak ikut aku tidur di gudang, mereka tidur di dekat menara.

***

Asramaku tidak punya televisi. Mungkin tujuannya untuk mencegah pengaruh buruk televisi. Tapi rasanya tidak akan efektif memfilter pengetahuan lewat cara seperti itu. Inikan sudah jaman terbuka.

Akhirnya, kami suka cari alternatif lain untuk memenuhi kebutuhan nonton televisi. Di terminal angkutan dalam kota yang bertempat di dekat stasiun di kaki gunung ada televisi besar. Kami sering main ke sana.

Dalam hati, aku protes dengan kebijakan pengelola asrama. Sebagai anak sekolah, harusnya kami mengetahui berbagai informasi publik. Bukan justru ditutup seperti ini.

Yang mengasyikkan lagi ialah aku dan beberapa teman, termasuk si Gendut, suka beli bubur kacang ijo di dekat pasar besar. Biasanya, kami tidak makan satu orang satu mangko. Soalnya, uang yang kami miliki sangat terbatas. Jadi, urunan beli duadua mangkok dimakan bertiga.

Biasanya, kami baru pulang setelah puas menonton televisi, terkadang sampai tengah malam. Kami selalu dicekam rasa takut ketika hendak masuk ke kompleks asrama. Takutnya kalau kepala asrama tahu kami sedang kabur. Terus, dia menunggu di pintu.

Jadi, untuk menghindari pengawasan yang mungkin dilakukan pengelola asrama, kami menyelinap lewat pintu samping. Lalu mengendap di balik semak-semak menuju ke kamar masing-masing.

***

Suatu hari, Peci mampir ke asramaku. Waktu itu dia baru mengunjungi pamannya. Aku senang melihatnya. Kurangkul dia. Rasanya, selama ini aku tidak pernah merangkul orang, kecuali nenek. Itupun ketika aku masih kecil. Sekarang aku melakukannya lagi.

“Bagaimana kabar keluargaku Ci,” kataku.

“Semuanya baik-baik saja,” jawab dia.

“Nenekku bagaimana,” kataku lagi.

“Beliau sehat. Malah lebih sehat sekarang dibanding dulu ketika kamu di rumah,” ujar Peci.

“Sialan kamu Ci. Kuhajar kamu,” kataku. Lalu kami tertawa bersama-sama.

Nenek titip pesan lewat Peci agar aku berusaha betah tinggal di asrama. Tahan-tahan dulu. Apapun yang terjadi, anggap saja sekarang ini sebagai massa penggodokanku.

Nenek memang selalu bisa menyentuh perasaan terdalamku. Kalau sudah begitu, rasanya dia selalu tahu isi hatiku.

“Nenekmu selalu mendoakanmu supaya maju,” kata temanku. “Nenekmu juga titip lauk pauk buatmu.”

Si Peci juga berpesan kepadaku supaya patuh pada semua aturan di sini. Ingat nama baik orang tua. “Ingat posisimu di sini.”

Sebelum Peci pamit pulang, dia terus menyerocos menyampaikan pesan nenek. Seolah-olah sore itu adalah pertemuan terakhir. Kalau sudah begitu, aku mesti mengurungkan niat untuk mengutarakan yang sebenarnya terjadi. Aku tidak betah dan ingin pindah dari asrama ini.

***

Lagipula, aku sebenarnya tidak suka dengan penanggung jawab asrama yang dikasih kepercayaan oleh pemimpin asrama. Orangnya pendiam. Tapi begitu dia bicara, itu harus dikerjakan anak-anak asrama. Kepalanya seperti pulau tak berpenghuni. Soalnya rambutnya hanya tumbuh di bagian pinggir, sedangkan di bagian tengahnya botak. Aku panggil dia si Rambut Pulau.

Suatu hari dia bilang begini kepadaku. “Kamu tidak boleh ajak temanmu main ke sini. Ini asrama.”

“Aku ajak teman ke asrama itu bukan untuk main, tapi untuk mengerjakan soal sekolah, apa tidak boleh?” kataku.

“Tidak boleh, tujuan aturan ini supaya asrama tetap aman,” kata Rambut Pulau.

“Aman dari apa. Memangnya temanku pencuri. Aku mengajak teman, tentu saja teman yang sudah kupercaya,” kataku lagi.

“Kamu ini cerewet ya. Pokoknya tidak boleh,” kata dia.

Kamu tidak boleh bangun kesiangan. Ini bukan rumahmu.” Sementara dia sendiri, kulihat sering tidak ikut shalat Shubuh berjamaah. Tidur.

Suatu hari, saking sebalnya, kukerjai si Rambut Pulau. Dia biasa mengkilatkan sisa rambutnya tiap pagi sebelum mengajar. Oh iya, Rambut Pulau ini mengajar anak-anak SMP di dekat kantor kelurahan. Nah, semir rambut kesukaannya kusembunyikan di bawah lemari di gudang.

Di lain hari, sampai berkeringat si Rambut Pulau mengucur, dia tidak mampu menemukannya. Dia berteriak. “Hai kalian anak-anak, ada yang tahu semir rambutku.”

Tanpa semir itu, sepertinya dia sungguh tidak percaya diri. Rasakan kamu, kamu mesti merasakan ketidakpercayaan diri seperti itu. Makanya jangan suka otoriter sama anak-anak, pikirku.

Sampai akhirnya, si Rambut Pulau menyerah. Tapi, aku biarkan saja semir itu di sana. Sampai suatu hari ada temanku yang menemukan. Bukannya dia menyerahkan ke si botak. Malah dia bawa ke sekolahan dia buat menggambar di pagar.

***

Aku hanya tahan sepuluh bulan di ‘penjara’ ini. Sepulang sekolah, waktu itu hujan deras, aku pamit kepada ustad temannya Peci. Aku akan pindah ke kos yang bertempat di dekat sekolah. Tentu saja aku tidak bilang alasanku yang sebenarnya. Aku cuma katakan ingin tinggal di dekat tempat pendidikanku.

Ternyata tinggal di asrama sama saja dengan lingkungan rumah di kampung. Tidak memberi kesempatan kepada remaja untuk kreatif. Yang beda cuma, ini di kota besar. Sebenarnya harus diakui tinggal di tempat ini menambah wawasan, walau sedikit. Kendati begitu, selalu timbul pemberontakan.

Bagaimana tidak memberontak, di kompleks asrama tidak ada media informasi dan hiburan bagi penghuni. Nah untuk mendapatkan kebutuhan semacam itu, kami sampai harus mencuri-curi untuk mencari di tempat lain. Lalu, tiap hari kami harus melayani mereka yang lebih tua.

Makan saja diatur. Sudah seperti ayam ternak di kampung. Padahal, yang namanya lapar itu tidak bisa diajak kompromi. Tapi, kalau terlambat makan, penghuni pasti tidak dapat bagian karena sudah habis dimakan teman yang lain. Kalau sudah begitu, harus tahan lapar.

Anak-anak penghuni asrama harus mengalah pada orang dewasa. Misalnya kami harus rajin bekerja, sedangkan mereka bisa bermalas-malasan. Kalau mereka tidak ikut shalat Subuh berjamaah, tidak ada yang menghukumg. Coba kalau kami, pasti dimarahi.

Pemimpin asrama seperti raja. Tidak mau dibantah. Bantah berarti durhaka, kira-kira begitu. Sehingga aku makin kesal. Ini seperti orang tuaku. Aku paling tidak cocok dengan lingkungan yang otoriter. Tidak suka diskusi dan tidak suka mendengar pendapat orang lain.

Setelah hujan reda, kuangkut secara bertahap pakaianku ke kos baruku. Kos baruku sederhana. Cuma satu kamar. Tapi di sini, aku merasa akan bisa mengatur hidupku dengan caraku sendiri.

Aku berterima kasih pada temanku, si Peci. Terpaksa aku mengecewakan dia. Aku juga berterima kasih pada ustad teman Peci yang telah memberiku tempat di asrama yang sudah kuanggap jadi penjara anak ini.

2 comments:

Galuh Parantri said...

:)
kutipan demi kutipan mulai menghiasi tulisan

Siswanto said...

belajar dari adik ni. wkwkkw