Tuesday, May 11, 2010

Televisi Hitam Putih (4)

Tahun 1980-an di kampung saya hanya beberapa rumah saja yang punya pesawat televisi. Di antaranya di rumah saya. Itupun televisi hitam putih. Energinya dari accu yang hanya tahan untuk beberapa jam saja kalau televisinya dihidupkan terus.

Televisi pada waktu itu menjadi gerbang informasi dan hiburan yang tergolong mahal. Sehingga warga di sekitar rumah selalu menonton ramai-ramai di rumah saya. Suasana rumah jadi sangat ramai kalau sore sampai malam. Kalau tidak salah mulai jam 15.00 WIB, orang-orang mulai kumpul. Karena siaran TVRI satu-satunya channel ya dimulai pada jam segitu.

Teman-teman saya suka pura jalan-jalan di depan rumah agar saya segera menghidupkan televisi. Kadang-kadang suka memanggil-manggil dulu. Nanti kalau sudah dihidupkan, semuanya bergembira ria dan duduk di atas tikar dengan rapi.

Ketika malam mulai tiba, gantian orang-orang dewasa yang datang untuk menonton siaran berita jam 19.00 WIB. Setelah itu film. Yang paling menarik itu kalau ada acara sayembara ketoprak atau tiap akhir pekan, ada program Aneka Ria Safari yang isinya musik dangdut.

Ada yang lebih ramai lagi yaitu ketika ada siaran langsung tinju. Rumah sudah pasti penuh, malah terkadang televisinya kami gotong ke halaman agar semua orang tertampung. Menyenangkan. Tetapi terkadang kami semua sangat kecewa kalau acara lagi bagus-bagusnya, tiba-tiba televisi mati karena energi accu habis.

Saya paling tidak suka acara berita. Apalagi kalau Menteri Penerangan Harmoko menyiarkan propaganda pembangunan pemerintahan Presiden Soeharto. Tetapi karena setiap jam 19.00 dan 21.00 selalu ada siaran berita, lama-lama mengikuti juga perkembangan informasi yang ada.

Anak-anak kampung pada massa itu tidak paham dengan politik pemerintah yang ditransfer lewat kekuatan media massa milik pemerintah, TVRI. Kami manut saja apa yang disuntikkan pemerintah melalui program-programnya. Seolah-olah pada waktu itu kebenaran itu ya kebijakan yang disampaikan pemerintah.

Ugh... kok jadi ngomongin politik. Yach, kehidupan di kampung memang menyenangkan. Suasana kekeluargaan dan saling membantu yang setiap waktu dirasakan anak-anak, membentuk kami untuk menjadi pribadi yang Saling menjaga kerukunan dengan sesama. Doa orang tua juga begitu, sifat saling menghormati semoga tetap terjaga sampai mati.

Ramai-ramai menonton film tadi juga jadi pelajaran penting yang secara tidak sengaja ditunjukkan orang tua. Itu contoh konkrit kepada anak-anak yang mereka tidak sadari. Keterbatasan sarana dan prasarana menyatukan kami. Keterbatasan juga menjadikan pribadi-pribadi menjadi lebih bijak.

2 comments:

Galuh Parantri said...

Apiiikk *ketagihan mbaca

Millati Indah said...

Album Minggu, Ria Jenaka, Dian Rana, masih banyak tu yang bisa diceritain lagi.