DUA wartawan tua tengah leyeh-leyeh di mushola dekat gedung kantor pemerintah. Mereka memperbincangkan kasus yang tengah hangat selama dua hari terakhir. Apalagi kalau bukan kasus yang melibatkan adik-adik SMA 6, Bulungan, Jakarta Selatan, dengan wartawan.
Konon, kasus itu berawal dari aksi tawuran antara sebagian murid SMA 6 dan SMA 70. Kemudian diliput oleh wartawan. Tapi, entah bagaimana awal mulanya (polisi masih mengusutnya), belakangan juru warta salah satu stasiun televisi melaporkan telah mendapatkan bogem dan berbagai kekerasan fisik lainnya dari adik-adik SMA 6. Bahkan, kameranya pun raib.
Tidak lama setelah kekerasan tadi tersiar luas, kasusnya langsung mendapat simpati dari wartawan lain. Sebagai bentuk solidaritas sekaligus untuk meminta pengelola sekolah mendidik siswanya, khususnya yang terlibat aksi kekerasan, para juru warta itu pun menggelar aksi keprihatinan di depan sekolah.
Maksud hati untuk aksi damai. Tapi yang terjadi malah sebaliknya. Lagi-lagi entah bagaimana awal mulanya (polisi masih mengusut) terulanglah keributan fisik. Akibatnya, ada lagi yang terluka, baik siswa maupun wartawan.
Singkat cerita, kasus ini pun dilaporkan ke polisi. Baik oleh wartawan maupun orang tua adik-adik SMA 6. Terjadilah perdebatan mengenai siapa yang salah dalam kasus itu. Terjadilah perdebatan mengenai tepat atau tidak tepat respon wartawan dalam menyikapi adik-adik itu. Harusnya begini, bukan begitu. Debat-debat dan debat. Dan tentu saja, ramailah dunia online Tanah Air, seperti facebook, twitter, dan blog.
***
Dua wartawan tua yang tengah leyeh-leyeh di mushola itu hanya senyum-senyum sambil menggeleng-gelengkan kepala.
“Sudahlah, jangan diterus-terusin masalah ini,” kata wartawan A. “Peace. Indonesia terlalu banyak masalah. Jangan ditambah-tambahi.”
“Ceileee luuu. Bijak bener sekarang. Iye bang, bener juga. Dan ini jadi sejarah, wartawan ribut sama adik-adik SMA,” sahut wartawan B.
“Aku punya usul. Mungkin benar, mungkin salah,” ujar wartawan A. “Ini supaya adik-adik SMA 6 tidak diidentikkan dengan masalah tawuran oleh masyarakat. Kan, kabarnya selama ini mereka sudah sering tawuran, tuh.”
Si wartawan A melanjutkan, “Jadi, lebih baik, nama SMA 6 diganti jadi SMA 86 saja. Mohon maaf ni temen-temen di SMA 6 ya. Karena angka 86 itu di dunia kewartawanan identik dengan damai. SMA Damai. Damai dengan teman-teman di SMA lain, damai dengan teman-teman wartawan, damai dengan masyarakat, damai untuk masa depan yang lebih OK.”
Wartawan B ngakak. “Dasar lu, bang. Angka 86 nyantol aja di kepala. Dasar tukang 86 luuuu. Dan yang penting, semoga teman-teman wartawan juga tidak terprovokasi lagi. salam 86. Wkwkkwkw."
4 comments:
ok 86, mohon maaf atas nama siswa kami sebagai pendidik tidak pernah mendidik tawurean kepada para jurnalis sekali lagi atas semua kejadian an ini supaya tidak terulang kembali ok ditunggu coment bactnya di link artikenya ini
thanks mas Asaz. semoga kasusnya jadi pembelajaran.
Bukankah justru tawuran dimaksudkan untuk membuktikan bahwa selalu ada generasi yang dirusak (perhatikan cenderung selalu di awal tahun ajaran baru).
Juga untuk membuat image bahwa lokasi kedua SMA tersebut tidak layak untuk pendidikan, jadi tujuannya memindahkan lokasi kedua SMA dan lokasi bekas kedua SMA itu bisa untuk kegiatan komersil kan.
Hehehe... jadi gak ada yang aneh. Justru aneh kalo tidak tahu ada udang di balik batu.
Abi Sabsono
Salam kenal Abi. Jangan serius2 ah, postingan ini cuma buat lucu2an aja. hehhee... Oh, iya, menarik juga sudut pandangmu tentang motif insiden tawuran demi tawuran itu. Jangan2 ada ini, ada itunya...
Post a Comment