Thursday, August 21, 2008

Bertemu Romo Monald

ROMO Monald pr. Beliau seorang pastur yang bertugas di Kota Bekasi. Sudah cukup lama juga kami tidak bertemu muka. Terakhir kali ketemu, kalau tidak salah, saat hari perayaan Paskah di Pondok Ungu, Bekasi Barat, Kota Bekasi. Sudah sekitar dua tahun lalu.

Malam itu, aku ketemu beliau kembali saat sama-sama menghadiri acara mitoni atau perayaan tujuh bulan usia kandungan salah satu sahabat di Pondok Ungu. Di rumah Pak Ernest dan Bu Ernest. Beliau orang tua Mbak Prita Ernest. Mbak Prita ini istri dari Mas Wowok, kakaknya Yosephine. Yosephine Restu Retnaning, pacarku. Di tempat itu, romo memimpin misa.


Semula, aku tidak mengenali romo Monald. Dia dijemput menggunakan mobil. Saat datang, beliau mengenakan jubah coklat. Jubah yang biasa dikenakan saat memimpin ibadah di gereja. Ia berjalan kaki. Tas hitam sebesar tempat untuk menyimpan laptop, dibawa oleh sahabatku menuju ke meja di teras rumah.

Sebelum memasuki rumah dan bertemu dengan anggota keluarga, romo memberi salam kepada para tamu yang duduk di deretan kursi di depan bangunan rumah. Tangannya melambai. Setelah itu, ia mengacungkan jempol sambil menyunggingkan senyum. Romo mengangguk kepada para umat. Dari tempat duduk, mereka pun menerima salam itu dan membalasnya.

Sungguh sangat berwibawa penampilan romo Monald saat itu. Sama seperti umumnya romo-romo yang pernah kukenal. Pembawaannya kalem dan bersahaja. Jauh dari kesan ambisius. Style saat menyapa orang-orang, itulah yang paling kusuka. Damai dan memberikan ketenteraman. Ada pesona Indonesia yang sejahtera dan saling menghormati satu sama lainnya.

Saat itu, romo melintas di depanku. Tapi, beliau tidak menyadari keberadaanku di tempat duduk paling ujung. Mungkin dia lupa seperti diriku yang tidak menyangka itu romo yang kukenal dulu. Malam yang cerah dan dingin. Beliau masuk ke dalam. Terdengar canda tawa dari sana.

Beberapa saat kemudian, romo keluar lagi. Ia mengambil tempat di bangku khusus yang memang disediakan untuknya. Romo menyapa lagi. Beliau menyapa para anggota paduan suara yang bertugas mengiringi jalannya ibadah malam itu.

Timbul suasana sangat cair saat romo berkali-kali mencari kelompok umatnya. Mana dari Anastasia. Anastasia merupakan nama kelompok warga dalam perkumpulan umat Katholik di Pondok Ungu. Umat menjawab dan tertawa-tawa. Dari tempat duduk itu, romo juga tertawa.

Romo duduk dengan tenang di hadapan altar. Bersahaja sekali. Dia menyiapkan sarana untuk misa. Membersihkan cangkir dengan kain lap putih. Menuangkan anggur ke dalam cangkir dan berdoa sejenak. Tidak lama kemudian, ibadah dimulai.

Sebenarnya, aku baru mengetahui bahwa pastur ini adalah Monald setelah ada pembawa acara mengatakannya. Romo Monald. Seorang pemimpin Katholik di Bekasi Utara yang selama ini ikut memperjuangkan untuk mendapatkan izin mendirikan tempat ibadah bagi sekurang-kurangnya 10 ribu umat Katholik di Bekasi Utara, Kota Bekasi.

+++

Ketika masih bertugas meliput di daerah Bekasi untuk surat kabar Koran Tempo, aku selalu meliput perkembangan kasus penolakan pembangunan gereja bagi warga Katholik di Bekasi Utara. Maklum, pemerintah setempat tidak memiliki sikap dan wibawa terhadap penyelesaian masalah pendirian tempat ibadah. Akhirnya, orang Katholik yang selalu menjadi korban.

Selama ini, mereka beribadah di sebuah kapel. Kapel itu hanya menampung maksimum sekitar 80 orang. Jumlah umatnya sangat banyak. Tiap kali beribadah, mereka meluber hingga keluar tempat ibadah. Jalan dan halaman sekolah yang terletak di depan kapel mereka pinjam. Belakangan, pengelola sekolah melarang areanya dipinjam.

Kapel itu berdiri berdampingan dengan gereja Kristen. Kadang-kadang, mereka berbagi tempat. Apabila orang Kristen tidak ada kegiatan, maka orang Katholik menggunakan gereja kosong itu.

Aku kasihan sekali kalau mereka merayakan Paskah atau Natal. Praktis, kapel itu tidak dapat menampung jumlah orang yang ada. Apa boleh buat, gedung serba guna yang terletak di dekat lapangan atau tidak jauh dari kapel, mereka sewa untuk perayaan selama beberapa hari.

Pastur Monald pernah memberikan pesan kepada umat supaya tidak semuanya membawa mobil saat pergi ke tempat ibadah. Tujuannya agar tidak mengganggu penduduk lain. Aku tahu, nasihat room itu betul-betul dilaksanakan oleh warga. Hebat sekali.

Pada suatu perayaan Paskah. Aku datang ke gedung serba guna itu. Aku datang bukan untuk merayakan. Sebab, aku muslim. Saat itu, hanya mengantar Josephine. Sepertinya, perayaan kali ini jauh lebih berat bagi mereka.

Mengapa berat? Perayaan kali ini dibayangi ketakutan. Takut diserbu sekelompok orang yang tidak berkenan dengan mereka. Aku tahu, ada yang tidak suka. Ceritanya begini. Semula, warga Katholik ini sudah mempersiapkan sarana dan prasarana menjelang perayaan Paskah di di lahan kosong yang sudah dipersiapkan untuk pembangunan gereja.

Tenda sudah dipasang untuk malam Paskah. Ijin juga sudah didapatkan dari warga sekitar dan pihak kepolisian sektor Bekasi Utara. Tapi, tragis. Sehari menjelang perayaan, ada sekelompok orang muslim melarang rencana Paskah di tempat itu. Alasannya macam-macam. Tidak ada ijin, tidak ada ini, tidak ada itu.

Lalu, mereka membongkar semua sarana yang sebelumnya sudah dibangun dengan susah payah. Tenda-tenda dilipat lagi. Aku tahu, mengapa lahan ini tidak segera dibangun gereja, padahal milik warga Katholik. Soalnya, banyak sekali syarat yang harus dipenuhi. Dan kupikir, memang sengaja dipersulit.

Bekasi bukan kali ini saja terjadi kasus semacam itu. Aku sering membuat berita tentang kelompok warga demonstrasi dan mengancam warga yang ingin mendirikan tempat ibadah. Ada juga yang mengusir orang orang berdoa di rumah dengan alasan tidak punya izin. Ada juga yang membongkar paksa tempat ibadah dengan alasan izin. Menurutku, itu dibuat-buat.

Bekasi dulu dijuluki tempat perjudian. Menurutku, Bekasi merupakan tempat yang tidak bisa menghargai hak agama lain, utamanya kristiani.

+++

Usai memimpin misa, Romo Monald mendekatiku. Dia bertanya. “Siapa orang tuamu,”? aku diam saja. Lalu dia bertanya siapa temanmu di sini. Aku tertawa. Beliau baru ingat diriku setelah aku sebutkan namaku. Ia tertawa dan memegang kepalaku. Kami duduk di bangku deretan paling belakang. Sementara para tamu makan malam.

Romo bertanya tentang kemajuan yang kuperoleh. Aku bercerita sudah pindah kerja. Dan sekarang berusaha menikmati pekerjaan itu. Sekarang bekerja untuk media internet, vivanews.com. Kuceritakan juga apa dan siapa itu vivanews.com. Kuceritakan mengapa pindah dari media sebelumnya.

Setelah itu. Romo bertanya-tanya soal kasus kekerasan yang dialami Romo Benny di kompleks Pondok Indah baru-baru ini. Romo Benny dipukuli orang tidak dikenal hingga luka-luka.

Romo Monald mengatakan, dirinya mengetahui berita itu dari koran Kompas. Beberapa orang sudah ditangkap. Tapi tidak tahu bagaimana proses hukumnya.

Ia bertanya apakah media-media lainnya ikut memberitakan kasus itu. Kukatakan, hampir semua media memuatnya. Tapi, aku tidak tahu apakah mereka secara intensif mengikuti perkembangan kasus itu. Tapi, yang jelas, orang media sepertinya sepakat untuk menolak cara-cara kekerasan untuk menyelesaikan persoalan.

Romo menanyakan motivasi kekerasan itu kepadaku. Aku tidak bisa jawab secara tepat. Aku tidak tahu. Tapi, aku ceritakan bahwa selama ini, Romo Benny aktiv ikut membela Hak Azasi Manusia, antara lain kasus Jamaah Ahmadiyah Indonesia. Aku menduga, kekerasan itu ada kaitannya dengan itu. Tapi, mungkin juga karena faktor lainnya.

Romo Monald juga tahu akan hal itu. Bahwa, Romo Benny aktif di kegiatan membela HAM berdasarkan apa yang telah digariskan UUD 1945. Romo menggaris bawahi, apapun bentuk aspirasi itu, menyelesaikan persoalan dengan cara kekerasan tidak boleh terjadi di negeri yang memiliki aturan hukum.

Sekarang ini, sudah bukan jamannya laskar lagi. Bukan jamannya orang protes dengan memukul. Bukan masanya lagi orang menyampaikan aspirasi dengan cara menghajar secara fisik pihak yang tidak disukai.

Beliau memiliki banyak diksi untuk menyebut cara berpikir orang-orang macam itu. Kalau aku mengatakan, orang macam itu adalah bar-bar. Romo Monald juga mengatakan bahwa, mestinya semua persoalan itu diselesaikan dengan jalan damai dengan didasari semangat berdialog.

Sebaliknya, apabila suatu persoalan diselesaikan dengan pemukulan, penganiayaan, pasti hal itu tidak menyelesaikan persoalan. Justru semangat orang yang menjadi sasaran kekerasan itu makin berkobar.

Ia bercerita bahwa orang tidak perlu panik dan marah dalam menanggapi kasus semacam Ahmadiyah. Apabila memang ajaran itu memang tidak dikehendaki oleh Tuhan, pasti akan hilang dengan sendirinya. Mestinya, masyarakat beragama meyakini hal itu.

***

Aiii… ada satu hal yang selalu dikatakan romo. Dia selalu mengingatkanku untuk segera menikah dengan Yosephine Restu. Dia bertanya umurku. Lalu dia menghitung-hitung antara perjalanan usiaku dengan keturunaku nanti. Hal ini terkait dengan produktivitas, memenuhi kebutuhan anak dan lainnya.

Aku bilang, mungkin beberapa tahun lagi menikah, romo. Beliau mengatakan, jangan lama-lama. Setahun ini saja langsungkan pernikahan. Makin cepat semakin baik.

Tiba-tiba ada orang tua yang datang kepada kami. Oh, rupanya anaknya ingin minta tanda tangan Romo Monald. Manis sekali.

1 comment:

Siswanto said...

Rasanya selalu sedih kalau ketemu tulisan ini di google. aku selalu berdoa untuk kesehatanmu, suamimu, anak-anakmu, dan keluarga kita di Salaman, Jos... oh ya, aku dulu belum sempat ngucapin terima kasih sama kamu. Jos, terima kasih sudah menunjukkan dan mengingatkan banyak hal kepadaku ya :)