Siang itu, temperatur suhu ruangan redaksi vivanews.com di Jalan Sudirman membikin badan menggigil. Peserta sekolah jurnalisme online tampak tetap antusias mengikuti setiap diskusi.
Salah satu diskusi menarik dalam satu sesi sekolah jurnalisme ialah penerapan gaya pemberitaan yang cenderung mengumbar sensasi. Ada istilah baru yang cukup populer untuk menyebut genre ini, yaitu jurnalisme penis.
Pengertian jurnalisme penis bukan sebatas alat vital. Melainkan lebih kepada pilihan pengelola media dalam menyajikan pemberitaan. Misalnya, mereka sengaja menabrak kode etik jurnalistik demi mengejar peringkat pembaca. Kemudian, pemberitaan tidak lagi peduli dengan ruang pribadi narasumber dan lain-lain.
Intinya ialah aturan-aturan yang mestinya tidak perlu dilanggar, tetap dilanggar demi meningkatkan grafik pembaca.
Pemimpin Redaksi Vivanews.com, Karaniya Dharmasaputra mengatakan tantangan media online ke depan ialah tetap memberitakan sebuah kasus secara faktual. Namun, berusaha keras menghindari pesan-pesan kepada publik yang bersifat spekulatif. Bahwa media memang memiliki otoritas untuk mendalami dan menyampaikan sebuah perkara kepada orang lain. Tetapi, media juga memiliki batas untuk bergerak. Batasannya ialah ruang private.
Misalnya dalam memberitakan kasus Mayangsari. Idealnya, media tidak perlu menjerumuskan diri untuk mendalami sampai detail pribadi yang bersangkutan. Bahkan, urusan ranjang keluarga Mayang malahan menjadi fokus.
Kasus yang dihadapi keluarga Mayangsari memang menarik untuk diketahui publik. Sebab, ada sisi yang dapat diambil dari pelajaran kasus itu. Tetapi, kadang muncul pertanyaan, apakah soal ranjang yang diuprek-uprek media itu memiliki manfaat buat publik. Bukankah itu sudah terlalu pribadi.
Soal ruang private ini menjadi perbincangan yang cukup seru. Ada wartawan bagian selebriti yang menegaskan bahwa tidak ada ruang private dalam melihat kasus semacam itu. Semua hal yang terkait Mayangsari memiliki unsur layak berita. Dan layak untuk diketahui publik.
Kemudian,ada penjelasan begini. Ada cara sederhana dalam melihat kasus-kasus semacam itu. Untuk menyiasati agar tidak terjebak ialah memilih memotret fenomena sosial di baliknya. Tujuannya supaya masyarakat dapat belajar dari pengalaman mereka. Intinya, kalau bukan untuk kepentingan publik, sebaiknya tidak perlu terlalu dikejar.
Salah seorang wartawan bertanya,Yang juga menjadi perlu perhatian “Orang pasti ingin tahu soal tokoh publik. Tapi tetap ada ruang private. Dalam mengejar berita, tolong private ini dihormati. Menguprek-uprek soal ranjang dan lain-lain untuk membuktikan Mayang bercerai, itu bukan kita (Vivanews). Tapi, soal terjadinya perceraian itu menarik dan tetap diberitakan,” kata Karaniya.
Ada contoh bagus yang disampaikan lagi. Saat Abdurrahman Wahid masih menjabat sebagai kepala negara, tersebar foto dugaan perselingkuhan dengan Ariyanti. Ada media yang dengan ulet menceritakan detail foto itu. Mulai dari deskripsi sampai yang spekulasi. Kasus ini digeber habis dari segala sisi.
Dalam pemberitaan ada yang sampai menggambarkan foto itu dengan tulisan. Abdurrahman hanya mengenakan celana pendek. Sedangkan Ariyani tidak memakai BH. Sangat detail. Orang awam akan bertanya-tanya, apa yang dapat diambil dari penceritaan yang sedemikian rupa itu.
Saat itu, majalah Tempo bukan tidak memiliki foto spekulatif itu. Tetapi, redaksi memutuskan untuk tidak menerbitkannya. Alasannya, gambar ini sudah menyangkut persoalan sangat private. Meskipun demikian, Tempo tetap menurunkan berita tentang kasus itu. Hanya saja tidak sampai mengumbar semua pernak-pernik pribadi yang bersangkutan.
Berbicara soal sudut pandang memang sangat menarik. Kakakku, Elang Papua, pernah mengatakan begini. Angle itu ibarat orang yang sedang berada di sebuah ruang gelap. Dia membawa senter dan mengarahkan terangnya ke sebuah titik. Di sana dia melihat bahwa ruangan itu hanya ada lemari dan bangku. Orang berikutnya melakukan hal yang sama. Setelah keluar, ia bercerita bahwa di kamar hanya ada jam dinding dan cermin.
Makanya dalam dunia jurnalistik ada kode etik. Etika ini bekerja untuk membatasi ruang gerak wartawan tentang bagaimana idealnya melakukan liputan dan mengemas berita.
No comments:
Post a Comment