ARTIKEL berikut ini bersumber dari term of reference yang saya terima dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia yang kini tengah menyelenggarakan Konferensi Tahunan Media Online dengan tema “Media Online: Antara Pembaca, Laba, dan Etika” di Ruang Sasono Mulyo 2 Hotel Le Meridien, Jalan Jenderal Sudirman Kav 18 -20, Jakarta, Kamis, 23 Februari 2012, jam 09.00 – 15.00 WIB. Rasanya sangat menarik untuk saya tampilkan di sini supaya teman-teman yang tertarik pada perkembangan media online jadi tahu.
Media baru di Indonesia berkembang pesat. Dalam lima tahun terakhir, pengakses internet terus melonjak seiring dengan ketersediaan infrastruktur yang makin meluas, terjangkau, dan murah. Pada tahun 2011, jumlah pengguna internet di Indonesia telah mencapai 55,23 juta, meningkat dari 42,16 juta orang di tahun 2010. Itu artinya, seperempat penduduk Indonesia sudah kenal internet.
Di sisi lain, media online makin menjadi industri yang gerakannya tak terbendung. Trans Corp mengakusisi 100 persen saham portal berita Detikcom. Group Lippo menamai grup medianya dengan BeritaSatu, yang diambil dari nama sebuah situs yang juga baru diakuisisinya. Dan grup usaha Djarum kini memiliki Kaskus.
Pelan namun pasti, dinamika industri bertemu dengan pola perubahan masyakarat dalam mengakses informasi: dari konvensional ke digital. Masyarakat makin tergantung dengan media baru dalam berintekasi. Termasuk mencari informasi dengan mengakses portal berita yang terus berkembang pesat seperti Detikcom, VIVAnews, Kompas.com, Okezone, Beritasatu, Kapanlagi, dan lainnya. 29 juta orang kini telah terkoneksi dengan mobil internet untuk berinteraksi dan mengakses informasi.
Tak heran bila di ranah sosial media, orang Indonesia termasuk teraktif: berada di urutan kedua dunia dalam facebook (40,5 juta akun) dan urutan ketiga “tercerewet” di twitter (12%). Berdasarkan survei Inside Facebook yang dilakukan eMarketer.Com, pernah pada suatu ketika, jumlah pengguna Facebook di Indonesia naik 1.431.160 akun dalam sebulan.
Tingginya animo terhadap media sosial memacu keingintahuan mereka terhadap informasi atau pemberitaan yang disajikan media massa. Sebab, index berita di kanal-kanal informasi lebih sering
dikunjungi melalui penyebaran di social media, daripada kunjungan khusus ke situs yang bersangkutan.
Tapi posisi sosial media sebagai informasi awal, belum lengkap dan terpercaya bila tidak disampaikan oleh media umum online. Peran media online lalu menjadi tempat mengkonfirmasi berbagai isu
yang berkembang di jagad maya. Informasi di sosial media boleh cepat. Tapi seiring waktu, publik mulai menghargai apa yang disebut proses verifikasi, yang tentu salah satunya dilakukan oleh media umum online.
Di sisi lain, media konvensional (cetak dan televisi) menghadapi tantangan finansial, kredibilitas lembaga, kualitas produk jurnalistik. Selain itu, jurnalisme di media konvensional juga menghadapi serangkaian krisis berupa penurunan jumlah sirkulasi, kemerosotan pendapatan iklan, budaya dan kebiasaan membaca yang meluntur, jam menonton televisi yang semakin berkurang, hingga serta krisis otoritas.
Tahun 2001 dianggap sebagai titik balik perkembangan industri berita, ketika banyak lembaga pers gulung tikar karena tidak mampu lagi beroperasi. The New York Times---koran harian berbasis
di New York---di bulan September 2001 terpaksa mengurangi sekitar 8-9 persen dari 14.000 awak media karena krisis iklan dan sirkulasi. Pada tahun yang sama, Miami Herald mengumumkan telah PHK sekitar 20 persen karyawan. Dan USA Today membuat kebijakan baru berupa pensiun dini.
Saking hebatnya badai yang menerpa, media-media legendaris lain turut berguguran. Far Eastern Economic Review, majalah mingguan ekonomi terkemuka di Asia Tenggara yang berkedudukan di Hongkong dan terbit sejak tahun 1958, di tahun 2004 terpaksa tutup setelah enam tahun mengalami defisit keuangan berat. Pada bulan Februari 2009, koran tertua di negara bagian Colorado Amerika Serikat, The Rocky Mountain News, resmi menyatakan tutup setelah terbit mulai tahun 1859. Christian Science Monitor, sebuah terbitan yang menjadi pemenang tujuh Pulitzer dan berusia dari 100 tahun, terpaksa harus mengubah format cetak menjadi online di bulan Maret 2009.
Tapi media online yang dianggap sebagai media baru yang sarat teknologi dan serba cepat, ternyata juga memiliki masalah yang hampir sama: kualitas, kredibilitas, serta krisis keuangan. Pada sisi kualitas dan kredibilitas, tradisi jurnalistik di media online dikritik tidak mempunyai basis praksis yang kuat, sehingga lembaga berita online acap kali masih dipandang sebelah mata dan disindir dengan sebutan “jurnalisme empat paragraf”. Kendati ihwal kecepatan menyampaikan informasi kepada publik pembaca, bukan merupakan hal yang perlu didiskusikan lagi –kecuali bila berhadapan dengan isu akurasi.
Problem etik bermunculan. “Dilema” antara kecepatan, kelengkapan, akurasi, dan persaingan bercampur baur di ruang redaksi. Bila di televisi rating menjadi bahasa persaingan, media online
memiliki isu page-view. Ini belum termasuk persoalan “pagar api” (firewall) antara berita, iklan, atau advertorial.
Sementara di sisi bisnis, media televisi masih menguasai 60 persen kue iklan (konvensional) dan persaingan sesama media online yang sangat ketat dalam menggaet pemasang iklan. Sistem
berlangganan belum menjadi model bisnis utama dalam budaya masyarakat indonesia yang transaksi e-commerce-nya masih belum sebesar negara maju.
Lantas langkah bisnis yang tak terelakkan adalah melakukan konvergensi platform. Baik untuk tujuan memperluas audience, sinergi branding, maupun (terutama) menjual paket-paket iklan.
Kondisi di atas yang melatarbelakangi AJI menyelenggarakan Konferensi Tahunan Media Online ini. Berbagai hal yang akan diulas dan didiskusikan selama satu hari konferensi adalah:
- Seputar pemetaan belanja iklan untuk media online dan portal berita
1. Bagaimana gambaran umum penduduk Indonesia memeroleh informasi? Apakah akses internet berbanding lurus dengan kebiasaan orang mengonsumsi berita? Penurunan penjualan buku, berkurangnya jam menonton televisi dll, benarkah karena internet dan media online?
2. Bagaimana trend kue iklan untuk media online secara umum dan portal berita secara khusus
dari tahun ke tahun? Apakah kue iklan televisi tergerogoti atau ada ceruk pasar baru?
3. Apakah yang menjadi perhatian utama para media buyer dan pemasang iklan terhadap
performa media online atau portal berita?
4. Sejauh apa rating media online menjadi referensi utama?
5. Bagaimana kecenderungan konten dari media online tertentu, memengaruhi keputusan
placement iklan?
- Seputar TREND KONVERGENSI media online berbasis berita di Indonesia:
1. Sejauh apa konvergensi akan benar-benar terjadi pada media-media di Indonesia? Apakah
dalam tahap variasi platform, integrasi newsroom, atau fully business & platform integrated?
2. Apakah trend bisnis media online di Indonesia secara linear mengikuti sejarah negara-negara maju, di mana konsolidasi dan integrasi business entity menjadi keniscayaan?
3. Bagaimana trend konten 5 tahun ke depan: persaingan ketat dan Bharatayudha dalam konten yang seragam; atau akan terjadi diversity of content yang akan menjadi spesialisasi masing-masing media agar survive?
4. Bagaimana bisnis portal berita bertahan terhadap trend social media dan citizen journalism dari kultur masyarakat yang akan lebih media literate & dewasa dalam menyeleksi kadar kredibilitas sebuah informasi?
No comments:
Post a Comment