Thursday, October 24, 2013

Redaktur Diskriminasi Berita

BANG KORLAP hari itu sedang libur tanggal merah. Medianya tidak terbit. Ia duduk-duduk saja di rumah. Tiba-tiba, seorang kawan wartawan dari salah satu media berkunjung ke rumah.  Tumben-tumbenan si Tukiman Felix datang. Ada apa gerangan.

Ternyata, si Tukiman Felix ingin curhat. Wah, sekarang Bang Korlap memang sering jadi tempat sampah alias tempat menerima curahan masalah dari kawan-kawannya.

Hari itu, Tukiman Felix mengaku sedang susah hati. Ia merasa redakturnya terlalu bertindak diskriminatif terhadap wartawan desk nasional dengan desk lokal. Kok bisa?

Iya, karena berita-berita dari desk lokal sering tidak naik ke media karena redaktur curiga materinya berbau amplop alias 86 alias titipan dari narasumber.

"Iki konco-konco yo curhat, kang. Anak wilayah kesannya malah didiskriminasi sama redaktur. Beritanya rentan dicurigai, padahal ya mati-matian kita ini nyari isu berita perkotaan," kata Tukiman Felix.

"Jadi sebenarnya intinya gini menurutku, redaktur itu jangan diskriminasi menilai. Hhahaha. Gini misalnya, berita tentang suatu kegiatan, selama ini dianggap ada jalenya (amplop), kadang dituduh berbau 86. Padahal tidak selalu ada juga kali, kang," kata Tukiman Felix.

Kemudian Tukiman Felix membandingkan dengan beberapa desk kelas nasional yang menurut pengalamannya selama liputan di desk tersebut, justru basah alias banyak amplopnya. Berita-berita promosi, berita-berita tokoh naris, pencitraan dan lain sebagainya. Tapi, beritanya dinaikkan semua sama redaktur tanpa curiga.

Kata Tukiman Felix, "Padahal disadari atau tidak, justru di pos-pos itulah jale berkumpul. Pengalamanku di semua desk itu justru nilainya banyak, hahhaa."

Bang Korlap duduk terdiam. Ia manggut-manggut saja sambil mengelus-elus jenggot.

Lalu, Tukiman Felix melanjutkan curhat.

"Bahkan, dari pengalamannku liputan, ada salah satu pos yang sampai dijatah amplop."

Sambil malu-malu, Tukiman Felix pun mengakui pernah meliput acara peluncuran HP di salah satu gedung perkantoran. Waktu itu, ia mendapatkan hadiah berupa Andromax.

"Ikut launching HP aja pernah dikasih Andromax yang nilainya jutaan. Sama kayak jalean kan.:-D."

Itu sebabnya, Tukiman Felix merasa trenyuh dengan nasib kawan-kawannya yang liputan di desk lokal yang menurutnya terdiskriminasi redaktur.

"Cuma sing mesakke  (kasian) itu desk perkotaan, terkadang hanya dikasih Rp50 ribu - Rp100 ribu. Itu sudah jadi masalah bagi redaktur. Bedo sama desk lain tadi, yang bisa dapat minimal Rp300 ribu - Rp500 ribu lebih, bahkan jutaan aman," katanya.

Pada waktu Tukiman Felix bercerita, ia terkadang menunjukkan rasa geram pada perilaku redakturnya. Ia jadi penasaran dengan redaktur. Kenapa dia sensitif sekali tiap kali baca berita desk lokal. Kenapa dia selalu memberi stigma bahwa berita-berita lokal yang dibuatnya ada amplopnya, lalu tidak naik ke media.

"Kita ini liputan dengan kerja keras, kang. Isu waduk, ficer, pasar, sampah. Tapi dicurigai mulu," katanya. "Berita jadi tidak naik, kan capek. Kayak wartawan CNN (Cuma Nanya-Nanya), dong."

"Justru yang desk-desk lain tadi itu yang basah dan jaleannya gede, tapi ga pernah dicurigain," katanya.

Pokoknya Tukiman Felix kesal bukan main. Lalu ia minta masukan dari Bang Korlap tentang permasalahannya.

Kata Bang Korlap, "Sabar saja. Terus berdoa supaya beritamu selalu lancar naik dan juga supaya jale lancar."

"Mungkin, redakturmu itu dulunya tukang ngamplop juga sampai sensitif begitu. Atau mungkin dia bermaksud minta setoran, ya."

PENGUMUMAN-PENGUMUMAN!
Klik kategori Etika dan Moral di bar sebelah kanan blog. Di sana ada kumpulan cerita-cerita lucu seputar wartawan amplop, bodrek, juga wartawan yang mencoba tetap idealis.
Kamus Besar Wartawan Amplop

No comments: