Saturday, June 7, 2008

Penjaga Presiden

Liputan di istana itu kadangkala serba diburu-buru acara, tapi juga sering kebanyakan duduk-duduk menunggu dan tidak produktif. Aku punya pengalaman menjengkelkan dengan penjaga keamanan presiden saat tergesa-gesa untuk mengikuti suatu acara yang dihadiri presiden.

Waktu itu, aku dan temanku wartawan Tempo sama seorang lagi jalan ke Sekretariat Negara, kantornya Hatta Radjasa. Dari ruang pers istana atau dikenal dengan nama bioskop ke Setneg hanya sekita 15 meter. Nah, karena kami agak terlambat datang, jadi bingung untuk menemukan ruang untuk acara pertemuan itu.

Presiden didampingi menteri-menteri bertemu dengan para ilmuwan, rektor universitas negeri untuk. Tujuannya untuk membicarakan pemanfaatan sumber daya alam menjadi energi alternatif selain BBM yang kini sangat mahal harganya.

Aku tidak tahu apakah pertemuan ini serius untuk tujuan itu atau sekedar ingin memperlihatkan kepada masyarakat menjelang pemilu 2009 bahwa presiden memiliki kepedulian dengan sumber energi alam itu untuk masyarakat. Kan, seminggu lalu, presiden baru menaikkan harga BBM dan menimbulkan reaksi keras dari sebagian mahasiswa.

Sampai di lantai tiga, aku tanya lokasi ruangan itu kepada seorang paspampres. Belakangan aku mengetahui orang ini model tengil atau mriyayi dengan merasa berpendidikan lebih tinggi dari wartawan.

"Pak, dimana ruangan pertemuan dengan Malaysia," kataku. Kemudian, aku menyadari kalau pertanyaanku itu salah. Mestinya aku tanya acara pertemuan presiden dengan para ilmuwan yang membahas soal potensi pemanfaatan sumber daya alam.

Sambil melihat aku dengan matanya yang merendahkan nilai orang lain. "Kamu ini wartawan tidak tahu, mimpi kamu ya," kata paspampres yang menurutku terlalu menilai dirinya pintar itu.

Aku jadi berpikir bahwa mestinya istana, utamanya presiden memperhatikan pendidikan etika kepada penjaganya itu untuk menghadapi masyarakat umum. Karena, masyarakat sipil mestinya tidak boleh diperlakukan seperti militer. Jawaban dan sikap penjaga itu, menurutku, memperlihatkan gaya komandan kepada anak buah yang melanggar aturan.

Toh, dia bersikap baik dan menjelaskan ketidak tahuan kami, tentu tidak akan mengurangi sedikitpun penghormatan orang sipil terhadap penjaga. Dalam hati aku agak kesal. Dia tidak memberikan jawaban sama sekali, meski kami bingung. Aku jadi menyesal dan berjanji dalam hati untuk tidak lagi berbicara dengan penjaga presiden.

Di sisi lain, aku dan temanku sebagai orang sipil juga menertawakan gaya kemiliteran yang galak. Jaman seperti ini, ada orang yang masih seperti itu. Bukannya mestinya mereka sudah dibekali ilmu etika setiap latihan.

Sebelum ini, aku juga pernah punya pengalaman bersinggungan dengan penjaga-penjaga itu. Malam-malam waktu menjelang tahun baru 2008, presiden melaksanakan shalat bersama anggota masyarakat di masjid lingkungan istana.

Aku datang terlambat karena jalan kaki dari kantor. Acaranya tidak di dalam ruangan sehingga kalau masuk terlambat bisa mengganggu pemandangan. Tapi waktu itu, berlangsung di lapangan, artinya wartawan berjalan lewat belakang orang shalat sehingga tidak mungkin mengganggu.

Itu baru pertama kalinya aku masuk. Aku bertanya kepada salah satu penjaga yang berdiri di remang-remang lorong jalan. Dengan gaya yang bagi orang sipil amat menjengkelkan, dia nanya-nanya dulu tujuanku datang. Interogasi.

Kupikir setelah itu sudah selesai, lalu, aku bisa langsung bergabung ke kelompok wartawan yang berada di dekat taman depan masjid. Eh, ternyata, masih disuruh minta izin lagi ke penjaga lain. Sepertinya komandannya.

Sudah begitu masih ditegur soal keterlambatan kedatanganku itu. Katanya, mengapa tidak memberitahu lewat SMS dulu sebelumya. Aku tidak mengerti maksudnya. Aku mesti memberi SMS kepada siapa, lha itu baru pertama kali aku menginjakkan kaki ke sana. Tapi aku menyimpulkan bahwa memang susah berhadapan dengan penjaga macam itu.

Hal yang sederhana dibikin sulit. Dia tinggal memintaku jalan bergabung dengan wartawan, masih dibikin ribet. Toh, aku datang dan ijin juga mempunyai identitas yang jelas seperti kartu istana dan kartu press.

Aku tahu, mereka sebenarnya sedang menerapkan ilmu intelijen dengan menaruh kecurigaan kepada siapapun. Tapi, ya, apa tidak punya sikap yang lebih halus bila masyarakat sipil.

1 comment:

Ruhut Ambarita said...

wah..wah..rupanya pak siswanto sudah ngepos di "kerajaan" toh, he..he..
apa kabar? lama tak bersua..