Wednesday, August 13, 2008

Wartawan Online Dirampok Kesempatannya

Sebagian besar wartawan online tidak menulis sendiri saat melaporkan berita kepada redaksi, melainkan tinggal menyalin mentah-mentah apa kata narasumber yang ia dengar saat terjadi wawancara. Berbeda dengan pada umumnya bekerja di media cetak, reporter memiliki kewajiban untuk membuat karya tulis sehingga mereka terlatih untuk menjadi wartawan yang mampu menulis.

Mengapa bisa berbeda begitu? Sebab, sebagian pengelola situs berita di Indonesia tidak mengharuskan awaknya melaporkan berita secara tertulis. Mereka sangat membutuhkan kecepatan dalam menerbitkan berita di internet. Makin cepat, mereka merasa bisa memenuhi keinginan user atau pembaca. Kadang-kadang, apabila laporannya cepat dan mendahului media kompetitor, ada rasa bangga juga.

Ngomgong-ngomong soal enulis, sesungguhnya wartawan yang bekerja di portal berita telah mengalami kerugian besar, utamanya soal peningkatan kemampuan menyusun berita atau menulis laporan. Padahal, kesempatan melatih disiplin diri menulis berita, sebenarnya terjadi pada saat mereka membuat sebuah laporan.

Makin keseringan menyusun bahan berita menjadi laporan utuh, maka kemampuannya pasti bertambah terus. Tapi, dengan adanya aturan pengelola media online yang hanya memprioritaskan kecepatan itu, telah mengurangi porsi latihan bagi wartawan yang bekerja di tempat itu.

Seperti apa proses redaksi online melakukan perampokan terhadap kesempatan wartawan berlatih menyulis berita? Wartawan mendapat tugas meliput di sebuah lembaga. Misalnya Dewan Perwakilan Rakyat. Di sana, banyak anggota dewan yang layak menjadi narasumber. Redaksi portal berita sering tidak sabaran untuk menerima laporan dari lapangan, apalagi anggota dewan itu berrbicara kasus yang sedang panas.

Untuk mempersingkat waktu, biasanya redaktur langsung meminta bahan mentah atau asli kutipan-kutipan narasumber. Jadi, wartawan tidak perlu bersusah payah menulis, sebab semua bahan sudah diambil redaktur dan diramu sendiri olehnya. Pemotongan rentang waktu dengan strategi seperti ini memang mempersingkat proses.

Bahkan, sebagian wartawan media online ada yang diminta untuk mempersingkat waktu. Misalnya saat berlangsung konferensi pers tentang hasil perkembangan kesehatan mantan Presiden Soeharto di Rumah Sakit Pusat Pertamina, mereka tinggal meletakkan telepon genggam di depan alat pengeras suara. Nanti, suara pembicara dapat secara langsung didengar redaktur di kantor, sekaligus menranskripnya. Setelah itu, redaktur sendiri yang akan menyusun laporan.

Rugi sekali menjadi wartawan yang model demikian, utamanya mereka yang masih tahap belajar. Kesempatan latihan menulis telah dikurangi secara sistematis demi mengejar kecepatan. Untuk mengejar kehilangan kesempatan itu, ia mesti ekstra keras menempa diri sendiri.

Satu hari, aku pernah berbincang-bincang dengan teman. Ia juga gelisah dengan perkembangan media seperti itu. Tapi, teman ini mengatakan dirinya tidak bisa berbuat banyak, kecuali mengikuti saja kemauan redaksi. Dituntut cepat. Dan cukup dengan laporan data apa adanya tanpa ada kesempatan menyusunnya. Hampir semuanya seperti terburu-buru.

Kompetisi kecepatan media online di Indonesia gampang sekali diikuti. Misalnya bisa dengan membandingkan Kompascom, Detikcom dan Okezonecom. Hampir semua berita yang dipublikasi hampir-hhampir sama, baik gaya dan sudut pandangnya. Hal ini terjadi karena masing-masing tidak menginginkan kebobolan berita. Apabila yang satu ada berita tentang A, maka yang lain akan mengejar itu juga.

Lalu, aku bilang ke temanku tadi yang nampaknya berusaha tetap semangat agar dirinya tetap bisa latihan menulis seperti bekerja di media cetak. Bahwa tidak semua laporan mesti dilaporkan secepatnya. Pasto ada yang bisa dibuat tulisan feature atau ulasan atau stok. Nah, bahan berita yang tidak harus cepat disampaikan itu mesti untuk latihan. Ia mesti menulis sendiri bahan itu dan setelah tersusun, baru memberi tahu kantor.

Ada juga cara lain. Tapi mesti agak nakal sedikit. Misalnya, apabila kantor menelepon berkali-kali agar segera melaporkan data secara mentah-mentah supaya bisa segera dipublikasi, maka ia jangan menerima telepon itu dulu sampai berhasil menyusun berita. Setelah itu, ia menelepon balik redaksi dan melaporkan berita jadi itu. Paling-paling redaktur akan ngambek-ngambek.

Kasihan juga dengan beberapa teman dari sejumlah media online. Mereka mengaku masing sangat sulit menyusun berita yang sederhana sekalipun, padahal rata-rata teman itu sudah bekerja di media selama delapan bulan. Salah satu faktor yang menghambatnya ialah cara kerja seperti tadi. Dia sudah menjadi korban perampokan kesempatan berlatih menulis.

1 comment:

Anonymous said...

Albert :
Aku kira kreatifitas dan stamina bisa menyiasati hal itu. Stamina maksudnya, wartawan ybs bisa menulis sendiri tentang apapun yang dia mau setelah selesai liputan seperti menulis di blog ini. Kreatif dalam arti mencari tema yang tidak perlu buru-buru diberitakan, biasanya feature atau laporan agak panjang. Konsekuensinya mungkin dia harus merelakan hari liburnya untuk mencari data tambahan. Aku sendiri masih sulit melakukan itu. Tapi kalau bilang dirampok ya ada benarnya ada nggaknya. Toh, kadang masih bisa juga menulis berita jadi.