Saturday, June 7, 2008

Magang Jadi Wartawan

Aku mengerutkan kening di kamar kos untuk berpikir mengenai apa yang akan kujadikan bahan menulis sekarang ini. Aku ingat, pengalaman anak mahasiswa yang sedang magang di redaksiku. Boleh. Menarik juga rasanya untuk diceritakan. Mudah-mudahan menjadi semangat teman-teman mahahasiswa lainnya.

Ada anak magang namanya Malisa atau Ica. Dia mahasiswa Universitas Pelita Harapan. Sebelum diterima di redaksiku, Ica menghubungiku melalui telepun untuk menyatakan keinginan magang sebagai syarat mengikuti tugas akhir kuliah di kampusnya.

Beruntung dia sudah punya kenalan wartawan sehingga bisa membantu mendapatkan tempat magang kuliah dengan baik. Kalau aku dulu, di tahun 2000, saat ingin sekali magang untuk mencari pengalaman bekerja sebagai jurnalis di media, sangat sulit.

Pertama karena tidak punya kenalan wartawan. Kedua, tidak terlalu banyak tahu media massa di Jakarta. Waktu itu, aku baru-barunya mengetahui Jakarta. Dan aku tergolong mahasiswa yang tidak terlalu percaya diri untuk mencari media sendiri dan mengajukan permintaan magang.

Temanku Ica ini tidak begitu. Tidak terbelakang seperti aku. Dia sangat percaya diri untuk memenuhi kebutuhan kuliahnya. Memang, mestinya seorang mahasiswa punya sikap seperti itu. Tidak perlu sungkan-sungkan untuk mencari kegiatan yang bersifat positif.

Saat mengutarakan keinginan untuk magang di tempatku, dia juga mengaku sudah melamar ke media bernama "Oops." Dia mesti memilih media mana yang akan dijadikan tempat magang. Kan, tidak mungkin dua sekaligus. Dia bilang, akan konfirmasi lebih dulu ke Oops. Dia bilang juga sedang membutuhkan tempat magang secepatnya selama tiga bulan terhitung Juni ini.

Singkat cerita, dia diterima di redaksiku. Aku katakan ke pemredku, Mas Budi, anak ini harus sudah magang dari awal Juni. Pemredku bilang, sebenarnya Ica ini sedang diurus ke SDM perusahaan untuk mendapatkan honor per bulan Rp300 ribu. Tapi karena Ica ingin cepat-cepat, maka langsung diterima, tetapi belum ada jaminan mendapatkan honor itu. Meki begitu, pemredku janji akan memperjuangkannya dulu.

Setelah diterima Ica dipanggil di hari pertama untuk pengarahan mengenai cara kerja redaksiku. Tapi, malam harinya dia menelpunku, katanya, bingung. Tiap pagi ke kantor dulu, baru siangnya ke lapangan untuk meliput berita. Kukatakan, bukan begitu maksudnya. Dia dipanggil itu hanya sekali saja untuk pembekalan, seterusnya ya di lapangan.

Setelah itu aku tidak tahu perkembangannya. Soalnya, selama Juni ini, aku turun ke Istana lagi untuk menggantikan teman lain yang lagi ditarik ke kantor untuk nulis liputan pertangingan Euro.

Ica ini rupanya masih bingung lagi mengenai cara melaporkan berita. Di redaksiku berbeda dengan kebanyakan media lainnya. Reporter diperbolehkan melaporkan bahan berita dalam bentuk kutipan-kutipan langsung dari narasumber. Redaksiku membutuhkan kecepatan. Nanti di kantor ada penulisnya tersendiri. Aku jelaskan begitu ke dia.

Ada lagi yang membuatnya belum mengerti. Jam pulang. Aku bilang setelah selesai liputan dia mesti memberitahu ke redaksi untuk diputuskan boleh pulang atau tidak.

Waktu aku magang di Suara Pembaruan dulu sampai ada wartawan yang bilang begini ke aku. "Mengharukan." Aku tidak tahu apakah dia menyindirku atau serius memujiku atau bercanda saja. Saat itu, aku sangat bersemangat. Datang pagi-pagi ke redaksi supaya cepat diikutkan ke wartawan aslinya ke lapangan dan aku biasanya pulang sampai malam.

Saat itu, aku sering ikut tandemanku, mas Berthus Mandey, liputan kriminal semalam suntuk. Liputannya ke wilayah Jakarta Utara. Masih ingat sekali pengalaman pertamaku ikut liputan penggerebekan PSK dan razia tempat hiburan malam.

Aku malu sekali saat disuruh wawancara sama Berthus. Malah, aku sama sekali tidak mendapat data karena tidak tahu mesti berbuat apa pada waktu di kantor kecamatan di tengah-tengah PSK. Dan aku ditegur sama Berthus karena tidak bisa meliput berita.

Ini yang beda. Kalau Ica, dia tidak perlu ada pendampingnya. Dia cukup sendiri ditugasi ke acara tertentu dan sudah bisa berjalan dengan sendirinya.

Aku bilang bagus sekali dan terus berkembang. Aku saja yang dulu kikuk sekarang sudah bisa seperti sekarang, paling tidak sudah percaya diri jadi wartawan di Indonesia, bagaimana dengan Ica yang sudah berani sejak awal. Pasti beberapa tahun lagi, dia sudah jago.

Aku menyarankan supaya serius belajar di redaksiku. Latihan disiplin menulis, meski dituntut untuk laporan bahan mentah saja. Sebagai jurnalis atau mahasiswa yang berminat dibidang ini, mesti belajar menulis supaya bisa menulis jurnalistik yang baik.

3 comments:

Anonymous said...

jadi inget jaman magang juga sis. jadi reporter kriminal. daripada bergaul dengan artis, mending bergaul sama preman (itu pikirku dulu).

kalau dicermati, program magang di Indonesia itu benar-benar menjagi peliput dahaga bagi semua pelajar kita. Metode pendidikan yang masih menjauhkan manusia dari kenyataan konkret di lapangan, mengedepankan teori -teori nan basi, namun sayangnya masih tetap dipertahankan meski jaman sudah berubah.

Jadi ya wajar, jika mahasiswa begitu bahagia saat waktu magang tiba. Dan perusahaan penerima mahasiswa magang pun begitu bahagia menerima tenaga-tenaga muda yang penuh semangat dan bersedia dibayar berapapun.

Lagi-lagi soal sistem pendidikan kita

Siswanto said...

Mestinya sekolah-sekolah yang ada studi jurnalistiknya lebih banyak minta mahasiswa terjun. Di samping teori. Tapi, sebenarnya juga komitmen mahasiswa juga untuk latihan disiplin mengembangkan SDMnya

rafa_gt said...

wahhh..jln-jln menemukan blog ini...jadi pngen buru-buru ngerasain PKL nich.
bener jg ni mas,saya aja gak ad rekanan atau link gini jadi susah mau PKL dimana untuk awal bulan Juli 2009. apalagi Kampus cuman membatasi Surat permohonan sebanyak 3 surat.
ada yang bisa bantuin gak????