Wednesday, June 25, 2008

Pembekalan Wartawan Online

Menugaskan wartawan tanpa membekali dasar jurnalistik yang memadai akan membuat hakekat jurnalistik itu sendiri hilang. Lalu, hal ini akan berkaitan dengan kredibilitas yang dimiliki media itu. Di sinilah, kemudian, pentingnya sebuah redaksi media selalu membuat pelatihan-pelatihan tentang dasar jurnalisme. Tujuannya, untuk menumbuhkan kembangkan semangat militansi dalam melakukan liputan.

Salah satu contoh media massa cetak yang menerapkan pembekalan dasar dan secara rutin memberikan penyegaran-penyegaran terhadap jurnalis-jurnalisnya ialah group Tempo. Wartawan yang bekerja untuk media ini, harus diakui, lebih memiliki kepercayaan diri. Sebab, mereka mempunyai acuan jurnalistik. Dengan demikian, hasil kerjanya juga bisa lebih baik.

Ada beberapa contoh media di Indonesia yang nampaknya tidak terlalu peduli dengan hal itu. Bahkan, cuek dengan kemajuan yang diperoleh reporternya. Pengelola media yang bersangkutan biasanya hanya menanamkan bahwa profesi wartawan itu tugasnya hanya satu, yaitu membuat laporan bahan-bahan berita sebanyak-banyaknya.

Sudah seperti kurir. Ke lapangan dibekali tape recorder. Setelah mendapat rekaman narasumber hasil wawancara keroyokan, dia mentranskrip seluruh isinya. Lalu, melaporkan mentah-mentah pernyataan pejabat yang bersangkutan. Semakin banyak yang dilaporkan, keuntungan media ini akan melimpah karena konsepnya selalu ada berita terbaru. Yang paling ngeri, kemudian redaksi mengesampingkan kualitas berita itu.

Dan produknya ialah pemberitaan dengan gaya main-main. Laporan tidak berkualitas. Cenderung asal-asalan. Asal ada berita yang bisa dipublikasi. Yang paling berbahaya, kemudian wartawan di media yang bersangkutan terpaksa memilih untuk tetap bertahan di redaksi model itu karena memang tidak memiliki pekerjaan lain.

Ada satu pengalaman berharga yang pernah dialami saat bekerja di situs media dari group PT MediaCom. Memang, sekarang ini redaksi ini terus saling bahu membahu memperbaiki kualitasnya. Tapi, pernah dialami oleh sebagian reporter yang diterima masuk menjadi tim, hanya sedikit mendapatkan pembekalan tentang jurnalisme. Mereka tidak memperoleh pedoman yang memadai mengenai bahasa jurnalistik, konsep berpikir dalam menerapkan standar jurnalistik di media online.

Dengan demikian, saat bekerja di lapangan, mereka seperti perahu kehilangan arah. Melapor, melapor, melapor. Mereka tidak kurang memiliki tanggung jawab untuk mampu memiliki kemampuan menulis dengan baik. Kurang mempunyai greget. Jadi, pedoman tetap penting. Pengertian pedoman di sini ialah sebuah rasa percaya diri yang muncul karena kualitas jurnalistik dan kreatifitas yang dimiliki tim pengelola.

Ini semua muaranya pasti kredibilitas media yang bersangkutan. New media yang berkembang sekarang di Indonesia ada kecenderungan untuk mendoktrin reporter-reporter baru dengan mengatakan bahwa profesi ini hanya bertujuan untuk meningkatkan rank pageviews. Karena, ini berkaitan dengan iklan yang masuk. Karena itu, laporannya harus banyak, sebanyak-banyaknya.

Kuantitas berita penting, tapi tanggung jawab redaksi terhadap perkembangan SDM awaknya juga perioritas. Persoalan ini menjadi rumit apabila konsep berpikir tim media online hanya soal kecepatan mempublikasikan laporan. Bersaing dengan kompetitor soal kecepatan, bukan soal kualitas berita. Tidak peduli apakah sesungguhnya berita yang diterbitkan itu layak atau tidak.

Rumit memang, kalau pengelola media belum betul-betul memihak kepada akurasi dan standar jurnalistik. Tapi, bukan berarti kasus semacam itu tidak dapat diperbaiki. Tetap bisa.

2 comments:

Insaf Albert Tarigan said...

bicara soal kredibilitas, kita seharusnya mengambil pelajaran amat berharga dari kasus pemberitaan detikcom soal sejoli tewas bugil sambil berpelukan.

itu berita peristiwa tapi by phone, reporter tak turun ke lapangan. Malam ini okezone tak mengirim reporter ke bundaran senayan dimana puluhan mhs dari Moestopo demo dan merusak pos polisi di sana. Kebetulan detik menurunkan reporter. Jelas ada aroma kebakaran jenggot. Sayangnya berita peristiwa harus ditulis untuk mengejar ketertinggalan dengan menelepon salah 1 mhs yang demo, aku sama sekali tak bisa percaya sepenuhnya karena sumbernya tak netral dia ikut terlibatdi dalamnya, rawan menjelek-jelekkan polisi. Aku telpon dua kali pertama dia bilang polisi masuk ke kampus menyerang mhs, aku telpon kedua kali dia bilang belum sempat masuk. Aku malas membuat berita ini karena rawan manipulasi tapi sayang asred yang menjadi partner malam ini setengah memaksa harus ada berita tentnag ini. Sekali lagi ini rawan. Rupanya selain yang telah bung sebutkan ada satu faktor yang sangat penting sekali tapi diabaikan dalam media online yaitu kejujuran dan kerendah hatian. Tak jujur bahwa kita "kalah". Otomatis itu berarti tak rendah hati. Tak mengakui ketertinggalan.

Anonymous said...

malam romo.. saya paham betul kekecewaan yang romo alami. saya juga tidak menutup mata kok mo. saya sadar penuh, saya juga bukan robot..
romo, membangun kultur baru yang sesuai kita inginkan tidak semudah membalikkan tangan. apa yang kita inginkan belum tentu menjadi ide mreka, atau akan diterima mereka. " mereka bilang rono, tapi yang sesunguhnya robot itu. yah ketakutan, itulah memedi sebuah berita online. romo, belajar dari pengamalam romo yang dari sebuah media yang mentereng dan diberhitungkan, tentu media.com tidak sebanding.
Romo, saya sadar di media online kita seperti kurir, anggap saja saya kurir n kuli. itu kenyataan di media.com. bukan begitu romo?.
romo, pernah dilapangan, bagaimana bisa juga mengukur. tapi romo, kita tida tidak bisa diam, ketika ini sudah menjadi budaya, bagaimanapun juga kita manusia yang masih dan pastia akan selalu mekalakukan perubahan, tapi perubahan itu tidak bisa radikal seperti pemikiran romo. ada titik-titik tertentu yang tidak bisa kita hapus yakni bos kita cari aman (upps jangan bilang-bilang ya) atau bos kita tutup telinga. Romo tahu dunk...

mik