TAK SEMUA wartawan gemar mencari amplop. Ada juga yang menolaknya. Biasanya, juru warta model ini lurus pikirannya karena tetap memegang kode etik jurnalistik.
Salah satu contohnya si wartawan muda ini. Suatu hari, ia mendapat tugas dari redaksi untuk menulis soal judi di daerah liputannya. Setelah selesai mereportase sebuah tempat judi terkenal di sana, ia berencana untuk wawancara pengusaha judi. Ini penting untuk memenuhi keseimbangan informasi.
Ia sempat bingung untuk mencari pemilik usaha judi yang baru diliputnya. Karena sangat susah menemui bos judi itu, si wartawan minta bantuan teman yang juga wartawan. Wartawan yang diminta bantuan ini dikenal sangat dekat dengan bos judi. Lewat temannya itu, akhirnya ia bisa bertemu dengan tokoh masyarakat yang dikenal sering mewakili pengusaha judi untuk bicara kepada pers.
Setelah wawancara lengkap, si wartawan muda yang hanya dibayar redaksinya per berita yang dimuat itu undur diri. Tetapi sebelum pergi, si juru bicara bos judi masuk kamar dan keluar lagi membawa amplop tebal.
Si jubir berkepala botak itu hanya memberi amplop kepada si wartawan yang selama ini dikenal sering hutang uang kepada temannya untuk bayar kos itu. Sedangkan kepada si wartawan satu lagi -- teman si wartawan muda -- si jubir hanya bilang, jatah buatnya baru cair akhir bulan.
Si wartawan muda menolak amplop itu. Alasannya, hal itu tidak diperkenankan di kewartawanan. Ia bilang bahwa dengan jubir mau memberikan keterangan kepadanya, itu sudah lebih dari cukup.
Tapi, ternyata si jubir berperut buncit memaksanya menerima. Sebagai pertemanan, katanya. Karena tetap ditolak, si jubir pun tersinggung. Melihat perubahan sikap si jubir, si wartawan muda jadi gemetaran. Karena takut, akhirnya si wartawan menerima amplop. Setelah itu, ia cepat pergi.
Sesampai di tengah jalan, si wartawan mengajak temannya berhenti. Lalu, ia keluarkan amplop dan langsung menyerahkannya kepada temannya yang telah membantunya bertemu jubir tadi. Setelah itu, ia merasa ada kepuasan tersendiri.
No comments:
Post a Comment