BERLANGSUNGLAH pilkada di salah satu daerah di Tanah Air. Ada beberapa kandidat yang akan tampil menuju kursi pemimpin daerah setempat. Kesempatan ini tak disia-siakan oleh si petinggi media massa yang terkenal lihai itu.
Jauh hari sebelum kandidat resmi diluncurkan alias ditetapkan, si dedengkot media ini sudah mencermati profil satu persatu kandidat. Pilihannya jatuh ke kandidat yang berlatar belakang pengusaha yang tergolong sukses. Karena, dipikirannya sudah pasti basah alias banyak dananya.
Begitu nama kandidat ditetapkan KPUD, mulailah si wartawan kawakan itu melakukan serangan pendekatan kepada calon. Rupa-rupa cara dipakainya untuk dapat akses ke tim inti. Ungkapan kasarnya, si petinggi media menawarkan diri untuk ikut menjadi pendukung secara terselubung. Lebih tepatnya tim sukseslah, tetapi posisinya disamarkan.
Setelah dapat akses, mulailah ia mengelus-elus sang calon yang di matanya sangat potensial untuk menang pilkada itu. Mengapa ia akhirnya dapat akses ke tim inti sang calon, tentu saja karena ia petinggi media dan ia wartawan. Ia dianggap punya manfaat lewat kekuatan medianya.
Melalui kewenangannya di media, si dedengkot media ini pun mengatur sedemikian agar nama si calon bisa sering muncul di halaman-halaman medianya.
Hampir setiap hari, foto si calon diusahakan nampang di headline, entah di halaman depan atau dalam. Lalu, hampir semua kegiatan kampanyenya dimuat, mulai dari yang singkat sampai panjang.
Nah, agar perselingkuhan ini tidak mudah terbaca banyak orang, khususnya lawan politik si calon tadi, maka tulisan-tulisan tentang si calon potensial tadi dibuat sedemikian rupa sehingga memenuhi standar jurnalistik sebagaimana dipakai di media massa pada umumnya.
Bahkan, ia sampai tugaskan salah satu reporternya untuk mengekor si calon. Sehingga semua hal yang disampaikan si calon terekam jejaknya dan bisa dimuat di media.
Agar reporter tidak gampang curiga dengan proyek si petinggi, si petinggi itu bilang bahwa calon ini tokoh kuat dan figur publik, layak jadi berita. Kalau bos sudah perintah begitu, anak buah tentu manut, walau dalam hatinya kesal bukan main. Macam tak ada berita lain saja.
Terlepas dari gerundelan reporter, proyek si dedengkot media tetap jalan seolah-olah tidak ada masalah di tataran reporter. Soalnya, sebelum proyek ini berjalan, si petinggi media sudah melakukan deal-deal dengan tim pemenangan si calon.
So pastiiii, hanya petinggi dan tim sang calon yang tahu tentang keuntungan apa saja yang diperoleh si petinggi media dari deal-deal itu. Tapi, tentu saja, bukan amplop recehan.
No comments:
Post a Comment