ADA seorang wartawan yang lurus pikirannya pusing dengan bosnya. Masalah itu membikinnya paham, ternyata permainan redaksi level atas lebih ‘mengerikan’ dibanding yang biasa terjadi di kalangan wartawan kelas lapangan.
Kenyataan pahit itu ia ketahui setelah pada suatu kali ia membuat berita yang temanya menyangkut hajat hidup orang banyak. Tema berita yang ia kerjakan itu, selama ini selalu jadi berita utama di media-media baik lokal maupun nasional.
Awalnya, ia sangat bangga. Pertama, karena data yang dipunyainya jauh lebih lengkap dibandingkan dengan teman-temannya. Kedua, narasumbernya pun berkualitas dan sangat layak untuk bicara soal tema yang ia garap.
Pokoknya, waktu itu di hati sanubarinya mengatakan ia ingin ikut membela kepentingan kaum lemah dalam menemukan keadilan di negeri besar ini.
Ia sangat yakin atasan-atasannya akan senang dengan karya jurnalistiknya ini. Sisi human interest terpenuhi, sisi faktual pun terpenuhi. Pokok dan tokoh tulisan pun kuat.
Ia pun mengirimkan tulisan itu ke redaksi. Legaaaaaaa… Setelah beberapa hari mengumpulkan data, akhirnya kelar. Ada rasa puas secara bathin.
Tapi, ternyata tangan atasan berkehendak lain. Tulisan itu dinilai tidak layak muat. Alasannya, sangat bertolak belakang. Tulisan itu dianggap tidak memenuhi kode etik jurnalistik. Bahkan, ia menakut-nakuti si wartawan kalau sampai tulisan dimuat bisa kena gugat.
Si wartawan kecewa bukan main. Alasan bosnya dinilai mengada-ada alias dibuat-buat.
Wartawan itu tambah sesak karena media-media lainnya pun memuat berita itu besar-besar. Sementara, hasil kerjanya cuma dibuang ke tempat sampah oleh bosnya.
Lalu, si wartawan curhat ke temannya yang merupakan wartawan senior dan selama ini sering mendapat penghargaan di tingkat nasional atas karya-karya jurnalistiknya.
Si senior bisa memahami perasaan si wartawan temannya. “Aku tahu lah berita kau itu sebenarnya mantap dan sebenarnya juga layak muat karena sudah sesuai etika jurnalistik,” katanya.
Tapi, lanjutnya, “Sebenarnya kaulah yang tak punya etika.”
“Hah, bagaimana ceritanya aku yang tak punya etika, bang,” sahut si wartawan itu.
“Bah, kau tak tahu rupanya. Tentu saja bos kau tak mau ambil tulisan itu karena itu ibarat mengorek borok sendiri. Tulisan kau itu mengkritik pengusaha yang menghidupi kalian selama ini. Jadi, kaulah yang tak tahu etika.”
“Asu, kirik.”
No comments:
Post a Comment