SUDAH lama wartawan ini menggeluti bidang amplop. Kalau ada liputan-liputan ‘basah’ sudah pasti ia hadir. Setiap harinya ia menajamkan telinga untuk mendapatkan informasi acara-acara yang ‘basah.”
Ia selalu mengutamakan acara ‘basah' dibanding mengejar good news untuk konsumsi redaksinya. Ini jaman new media coy, katanya. Untuk berita-berita yang sifatnya peristiwa, biasanya ia copy paste dari media online. Itu sebabnya, dia tidak khawatir kebobolan oleh media lain.
Di antara teman-teman sesame jurnalis, sepak terjang wartawan satu ini di dunia amplop tidak disangsikan lagi. Idenya banyak. Dia juga menyandang julukan korlap wartawan. Maksudnya, suka jadi koordinator saat menghadiri undangan pihak tertentu.
Tapi, ia tidak disukai oleh rekan-rekannya. Soalnya, beberapa kali ketahuan mencatut nama media lain demi amplop.
Nah, suatu saat si wartawan ini kena batunya. Di salah satu kafe ada gelar konferensi pers. Kepada panitia, dia bilang bahwa semuanya beres. Artinya, banyak wartawan yang bisa didatangkan ke acara untuk menghadiri acara.
Ditunggu. Ditunggu. Ditunggu. Sampai sejam lebih. Ternyata jumlah wartawan yang hadir hanya beberapa orang. Padahal, tadi dia bilang ke panitia semua wartawan dari media cetak dan elektronik akan hadir.
Karena yang hadir tidak banyak, panitia pun sampai menelepon media-media perwakilan di daerah itu agar merapat ke acara. Entah bagaimana dia mempromosikan acara itu ke media, eh ternyata ada beberapa wartawan lagi akhirnya ikut kumpul.
Singkat cerita, setelah jumpa pers selesai, si panitia berkata kepada beberapa wartawan yang hendak pulang. “Kapan ya tayangnya.”
“Wah kami wartawan lapangan bu. Semuanya yang memutuskan untuk tayang ya redaksi. Kami nggak tahu pasti.”
“Loh kok nggak pasti tayang gimana dong. Kan saya sudah kasih uang. Tadi saya titip ke si C####.”
Merasa tidak terima uang, sejumlah wartawan elektronik bergegas mencari-cari wartawan korlap amplop itu.
Setelah ketemu, terjadilah pembicaraan. Tanya sana. tanya sini. Akhirnya si wartawan korlap itu mengakui kalau telah mencantumkan sepuluh nama wartawan. Tapi, katanya, semua dari media cetak. Sambil gemetaran dia janji kalau uang itu nanti tidak akan ‘dimakan’ sendirian, melainkan akan diserahkan ke nama-nama wartawan yang masuk daftar absen panitia.
Karena percaya nama-namanya tidak dicatut, akhirnya sejumlah wartawan elektronik itu pergi.
Setelah wartawan elektronik pergi, si ibu panitia datang menemui si wartawan korlap yang masih berada di sekitar kafe. Ibu itu merasa dibohongi. Soalnya, tadi si korlap bilang bisa mengkondisikan para wartawan agar menayangkan berita. Dan dia sudah menyerahkan segeplok uang untuk mengakomodasi wartawan.
Setelah terjadi percakapan yang agak menegangkan, akhirnya, tiga buah amplop dikembalikan ke ibu panitia.
No comments:
Post a Comment