TIBA-TIBA si wartawan muda ini mencak-mencak begitu membaca blog yang isinya melulu soal wartawan amplop. Katanya, ini ada ketikdakadilan. Seolah-olah yang 'main' hanya wartawan di lapangan. Padahal, level atasan di redaksi juga ada yang gemar terima 'guyuran' dari narasumber atau pihak tertentu.
"Bos-bos tuh macan-nya, mereka terima bantal, coy, bukan lagi amplop."
Bantal yang dimaksud si wartawan muda ini adalah permainan bos di redaksi bukan lagi kelas amplop. Tapi, main rekening, proyek, jabatan, ataupun jenis hadiah lain yang nilainya tentu membuat orang yang biasa main di kelas amplop terperangah.
"Amplop sih cuma recehan. Ibaratnya masih kasta kasta sudra," katanya.
Permainan bos, menurutnya lebih sadis. Terkadang mereka memainkan isu untuk mencitrakan pihak tertentu atau menggulingkan pihak tertentu. Kongkalingkong dengan pihak yang punya otoritas. Ujung-ujungnya uang.
Oleh karena itu, si wartawan muda ini tidak mau terima jika hanya wartawan lapangan kelas amplop saja yang dituntut paling bertanggung jawab terhadap pelanggaran etika jurnalistik.
"Yang terima bantal itu yang lebih parah."
Tapi terlepas dari amplop atau bantal, si wartawan muda ini mengakui kalau kebiasaan semacam itulah yang kemudian menjadi pandangan umum bahwa penghasilan utama wartawan itu ya dari 'suap' narasumber.
2 comments:
keren mas ceritanya ... dari kecil aq pengen jadi penulis ... tapi g ngerti gimana memulai mempublikasi tulisan aq ....
saran dan nasehatnya aq tunggu.
by : asat_coli@yahoo.com
mempublikasikan tulisan itu gampang bro. antara lain bisa lewat blog semacam ini. bisa juga nulis lewat u-report di vivanews.com, ngeblog di kompasiana. mengenai bikin blog, bisa buka.blogger.com. kalau dikompasiana juga ada cara membuatnya, gampang.
Post a Comment