ADA seorang wartawan senior yang selalu mengaku anti amplop setiap kali bertemu dengan teman-temannya. Bahkan, dia pernah tega mengadukan teman lain yang terima amplop ke redaksi.
Singkat cerita, begitu ia pindah kerja ke media lain, ada perubahan dengannya sedikit demi sedikit. Mengapa demikian, ternyata karena dia sudah tahu permainan bos-bosnya di redaksi.
Kalau dulu si wartawan ini anti bergabung dengan teman-teman yang gemar menerima amplop, kini, ia senang berkumpul dengan mereka. Bahkan, dia mulai sering bergerilya sendiri untuk mencari acara-acara yang ‘basah.’
Setelah malang melintang ke dunia amplop, jale, atau sering dikenal 86, ia kerap menjadi korlap.
Suatu hari, ia bertemu dengan teman-teman yang dulu diejeknya karena suka menerima amplop. Kebetulan, mereka sama-sama akan pergi liputan ke acara konferensi pers salah satu calon anggota DPR RI.
“Cuk, jelas gak ni. Malas gue kalau gak jelas,” katanya. Yang dimaksud ‘jelas’ ialah ada amplopnya.
“Lu doyan juga lu sekarang,” kata temannya.
“Diem lu,” jawabnya sambil melengos.
“Gila lu coy. Dulu lu galak banget sama amplop.”
“Ah, bos gue di kantor aja pemain semua. Kelas berat. Permainan mereka bukan lagi amplop macam anak lapangan, tapi isu dan opini. Kita mah dikandalin sama bos-bos cuk. Mereka rapi mainnya, gayanya aja sok idealis. Padahal sering melenceng dari kode etik.”
Lalu, semua tertawa.
Dari wajah si wartawan yang dulu idealis ini terlihat ada kekesalan yang begitu mendalam. Dia kesal karena banyak bos-bosnya di kantornya yang gemar main ‘proyek,’ tapi selalu menuntut anak buah idealis demi menjaga citra redaksi.
“Mana ada bos yang benar-benar konsisten idealis, cuk. Modus semua.”
1 comment:
wakakakaka, makanya jangan mau dikadalin, klo bisa ngadalin duluan hahahah
by dewi athena
Post a Comment