Monday, December 12, 2011

Peduli Orang Dengan HIV

ADA seorang dokter tiba-tiba tak mau menangani kaki pasien yang sakit. Alasannya karena si pasien positif HIV dan ia takut sekali ketularan. Ada lagi kasus, seorang pegawai dipecat tanpa hormat oleh atasannya karena mengakui terinfeksi HIV.

Adilkah itu? Menolak pasien mendapat hak layanan kesehatan dan menyingkirkan pegawai yang positif HIV  karena takut tertular.  Apalagi yang melakukannya orang berpendidikan tinggi yang idealnya tidak seperti itu. Namun perlu dimaklumi, mungkin mereka belum memahami proses penularan HIV. Penyakit itu menular melalui hubungan seks, pertukaran jarum suntik yang telah tercemar HIV, transfusi darah, dan dari ibu hamil yang mengidap HIV ke bayinya.

Itu sebabnya, seandainya saya anggota DPD RI perwakilan Jakarta, saya akan memasukkan permasalahan di atas ke dalam prioritas program kerja. Yakni, edukasi terhadap masyarakat di Ibukota, terutama di kalangan dunia kerja. Sampai sekarang, sebagian masih memberi stigma dan mendiskriminasikan ODHIV.

Dalam kaitan dengan edukasi ini,  perlu bekerjasama dengan Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Provinsi Jakarta yang punya peran mengkoordinir banyak pihak dari penentu pendidikan dan pencegahan HIV. Seandainya saya anggota DPD RI, maka saya akan berperan aktif melibatkan diri bersama berbagai elemen masyarakat untuk menyebarkan informasi mengenai pencegahan penularan HIV/AIDS.

Seperti kita ketahui, di Jakarta, jumlah temuan HIV/AIDS secara kumulatif selama 10 tahun terakhir hingga Juni 2011 tercatat 3.997 kasus, 577 kasus di antaranya meninggal. Temuan di Ibukota Negara jumlahnya terbanyak dibandingkan 32 provinsi lain. Ini menggembirakan,  karena membuktikan program berhasil dijalankan.

Tapi, di sisi lain menyedihkan. Pasalnya, mengacu teori WHO, bila satu kasus ditemukan, maka 100 kasus lagi yang belum ketahuan. Dengan kata lain, angka tadi barulah puncak gunung es. Fenomena ini menjadi pekerjaan besar untuk kita semua. Maka, pemberian stigma dan diskriminasi seperti yang dilakukan dokter dan petinggi perusahaan tadi, sesungguhnya justru menghambat upaya menguak dasar gunung es raksasa itu.

Tindakan seperti itu,  hanya akan membuat teman-teman yang memiliki aktivitas berisiko tinggi tertular HIV kian menjauh dan enggan memeriksakan  kesehatannya karena takut dikucilkan bila ketahuan positif. Padahal kesukarelaan mereka untuk dites darah adalah kunci.

Maka sebagai public figure, saya akan memberi contoh bahwa yang harus kita hindari itu adalah virusnya, bukan orangnya. ODHIV sudah pasti tidak berbahaya apalagi kita mampu memahaminya. Saya akan merangkul  teman-teman ODHIV, pengguna narkotika suntik, PSK, waria, gay, dan semua yang kalangan berisiko kena HIV, untuk bareng-bareng terlibat dalam usaha pencegahan penyebaran HIV di Jakarta.

(dailystrength.org)
Tanpa melibatkan mereka yang tak lain merupakan populasi kunci dari jaringan penanggulangan kasus HIV, rasanya mustahil kita berhasil mencegah penyebarannya, apalagi di Ibukota Jakarta yang memiliki permasalahan  begitu kompleks ini.

Seandainya saya anggota DPD RI, memperjuangkan hak ODHIV adalah amanah. Tentu saya malu bila sampai tak berkontribusi. Pemerintah Australia saja peduli dengan kita. Melalui AusAID, mereka menyokong kita dalam penanganan HIV/AIDS.  Australia telah memberi komitmen bantuan hingga A$100 juta kepada Kemitraan Australia untuk HIV 2008-2015. Tujuannya tak lain mencegah penyebaran HIV meluas sekaligus meningkatkan kualitas hidup teman-teman ODHIV.

No comments: