Wednesday, December 7, 2011

Menggali Perut Gunung Es HIV/AIDS Bali

DI HARI kedua acara di Bali, para nominator Worlds AIDS Day Blog Competition, panitia VIVAnews, dan AusAID berkunjung ke Sekretariat Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Provinsi Bali. Kantor ini terletak di Jalan Melati Nomor 21, lantai 2, Denpasar.

Kami disambut hangat oleh teman-teman KPA. Di sana sudah ada sejumlah tokoh, di antaranya Kepala Bidang Pengendalian Penyakit dan lingkungan, Dinas Kesehatan Provinsi Bali: I Ketut Subrata, Ketua Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI): Ketut Sukanata, dan Sekretaris KPA: Made Suprapta, didampingi Media Relations Officer KPA: Yuni Ambara.

Seperti di hari pertama ketika kami berkunjung ke Spirit Paramacitta, di hari kedua ini kami juga akan mendengarkan paparan dari para stakeholders kampanye penanggulangan AIDS Provinsi Bali itu. Pertemuan berlangsung hangat. Kami duduk dengan formasi melingkar di ruang utama lantai dua.

Di awal pemaparan, Made menceritakan sejarah KPA Provinsi Bali yang berdiri sejak 15 tahun silam. KPA merupakan lembaga nonstruktural, namun fungsional. Fungsi dan tugasnya yaitu mengkoordinasikan dan memfasilitas setiap aktivitas penanggulangan HIV/AIDS di Bali, baik yang dilakukan pemerintah, non pemerintah: seperti LSM.

“Semua kegiatan itu adalah di bawah koordinasi KPA. Fungsi KPA bukan lembaga pelaksana, tapi koordinator yang melaksanakan tadi (aktivitas di lapangan) adalah lembaga-lembaga itu,” kata Made yang sering membuat lelucon saat berbicara.

HIV/AIDS Dalam Angka

Saat memaparkan informasi, Made dibantu dengan power point sehingga kami semua dapat dengan mudah melihat dan mencatat data-data yang disajikan.

Menurut data Dinas Kesehatan Provinsi Bali, jumlah kasus HIV/AIDS di Bali secara kumulatif terhitung sejak pertama kali ditemukan di Bali tahun 1987 hingga – September 2011  sebanyak 4.833 kasus. Dari jumlah itu, 393 kasus di antaranya telah meninggal dunia.

“Jadi dari pertama kali ditemukan sebanyak tiga kasus. Hingga tahun 2.000 jumlah secara kumulatif yang ditemukan 108 kasus. Dan sepuluh tahun kemudian sampai 2011, jumlahnya 4.000-an kasus,” ujar Made.

Tapi temuan ini tidak lantas membuat KPA langsung puas begitu saja. Sebab, kasus HIV/AIDS yang berhasil diidentifikasi ini ibarat fenomena gunung es. 4.833 kasus ini hanyalah pucuk dari gunung es. Sedangkan di bawah laut masih terpendam bongkahan yang lebih besar.

“Kalau itu bisa diungkap, bisa jadi kasusnya 7.000an, 8.000-an, bahkan bisa lebih. Perkaranya kita ini belum berhasil ungkap bongkahan gunungitu. Yang kita punya baru ini,” ucap Made.

Adapun 4.833 kasus tersebut, ditemukan di seluruh kabupaten dan kota di Bali, yakni 8 kabupaten dan 1 kota. Apabila jumlahnya diperbandingkan, konsentrasi kasus terbesar berada di Kota Denpasar: 2.051 kasus. Konsentrasi terbesar kedua di Buleleng, kemudian Badung.  “Dulu, Badung nomor dua, tapi akhirnya disalip Buleleng. Dalam pengertian ini, Badung lebih berprestasi untuk mengendalikan laju pertumbuhan,” jelas Made.

Bila dilihat dari faktor risiko penularan HIV/AIDS, Made mengungkapkan, jumlah terbesarnya dari heteroseksual, kemudian disusul Pengguna narkoba dengan jarum suntik atau Injecting Drug Users (IDU), dan melalui aktivitas hubungan homoseksual (gay/waria).

Padahal, kata Made, di awal temuan HIV/AIDS di Bali terdahulu, terbanyak risiko penularan dari aktivitas IDU. Hingga pada pertengahan 2007-2008 jumlahnya penularan dari IDU stabil. Tapi, justru kasus dari heteroseksual meningkat.

Kenapa jumlah penularan melalui IDU stabil? Karena, populasi IDU di Bali tercatat menurun drastis. Menurut catatan KPA, pada tahun 2007 lalu kasus yang ditemukan mencapai 3.500. Setelah didata ulang, tersisa 800 orang. Kenapa terjadi seperti itu?

“Ada beberapa dugaan, dugaan pertama, banyak penasun meninggal dunia. Tetapi, tidak ada pertumbuahn IDU baru. Itu baru dugaan. Sehingga angka itu, stagnan 800,” katanya.

Dugaan kedua, para penasun ini sudah pindah tempat. Mereka tidak di Bali lagi. “Mungkin bosan, pindah ke luar Bali, mungkin Jakarta, mungkin Mojokerto, mungkin Ciamis. Itu dugaan,” ujar Made.

 Dan dugaan ketiga ialah mereka para penasun sudah mengubah pola pemakaian. Misalnya, yang tadinya dengan suntik, kini diminum.

Sementara berdasarkan faktor umur, kasus HIV/AIDS di Bali paling banyak ditemukan di usia produktif, yakni rentang umur 20-50 tahun.  Petugas juga masih menemukan kasus di usia 60 tahun sebanyak 35 kasus. “Pada bayi juga banyak ditemukan,” ujar Made.

Kenapa bayi ikut tertular? Karena orang tuanya yang teinfeksi HIV, lalu mereka menurunkan pada anak yang dikandungnya.

“Dari situasi kasus sebanyak 4.833 ini. Para pakar di Bali mengatakan bahwa Bali dalam posisi yang sangat-sangat gawat,” kata dia.

Bila diibaratkan sebagai kapal yang akan karam, bila tidak dilakukan penyelamatan secara signifikan, maka kapal akan segera tenggelam. “Bali dihantam tsunami AIDS. Kan itu mengerikan,” ujar Made.

Komitmen Sanur

Keadaan ini mendesak Gubernur Bali untuk meresponnya secara serius. Bahkan, sejak tahun 2004 lalu, Gubernur telah merapatkan seluruh barisan untuk bersatu padu mengerem penyebaran HIV. Gerakan pada waktu itu diberi nama Komitmen Sanur, yang dilaksanakan pada  7 Mei 2004.

Komitmen Sanur terdiri dari delapan poin yang menjadi acuan penanggulangan HIV/AIDS. Pertama, meningkatkan penggunaan kondom pada aktivitas seksual berisiko. “Pada saat itu, kita sudah tidak bicara kontroversi penggunaan kondom. Kita sebarkan kondom sebanyak-banyaknya ke aktivitas seks berisiko. Itu komitmen pemeritah,” kata Made.

Kedua, meningkatkan jangkauan penanggulangan dampak buruk pengguna narkotika suntik. Dengan demikian, dapat lebih mudah menemukan kasus yang untuk selanjutnya gampang dilakukan pelayanan terhadap mereka. Apapun yang diperlukan terkait HIV/AIDS, pemerintah Bali berkomitmen untuk memenuhinya.

Ketiga, peningkatan layanan dan dukungan yang komprehensif dengan pemberian ARV ke Orang Dengan HIV (ODHIV). Bila ditemukan kasus,  pemerintah wajib menyiapkan dan mendistribusikan ARV sebagai obat pengendalian keganasan virus di dalam tubuh ODHIV.

“Jadi, stok ARV di Bali tidak boleh terputus. Itu sudah komitmen kita. Pendistribusian ARV dengan sistem kerjasama dengan jaringan,” katanya.

Keempat, mengurangi stigma dan diskriminasi terhadap ODHIV. Kasus HIV adalah masalah yang kompleks sehingga hal-hal tidak menguntungkan bagi ODHIV, seperti stigma dan diskriminasi yang sampai saat ini masih sering terjadi di Bali, harus diatasi.

Made menyontohkan kasus orang meninggal yang pada saat proses pemamdiannya, tidak ada warga yang berani karena takut tertular. Bahkan keluarganya pun tidak mau menyentuhnya.

“Maka kita bekerjasama dengan kelompok-kelompok masyarakat, ketua atau pimpinan agama, adat, tentang bagaimana mengurangi stigma ini secara pelan-pelan. Dan hasilnya sampai saat ini cukup menggembirakan,” kata Made. “Kami mulai jarang menerima pengaduan penolakan.”

Kelima, memperkuat dan memberdayakan fungsi kota dan kabupaten. Keenam, mengupayakan dukungan peraturan perundangan dan penganggaran. “Jelas ini diperlukan,” katanya.

Ketujuh, meningkatkan kampanye penanggulanan HIV AIDS melalui media. Dan Komitmen Sanur kedelapan, yaitu menggalang semua komponen masyarakat. “Jelas, ini bukan cuma masalahnya dinas kesehatan saja. Tapi semua komponen harus terlibat,” kata Made.

Pengklusteran


Dari delapan komitmen di atas, kemudian Pemerintah Bali rumuskannya ke dalam rancangan strategi (Renstra) penganggulanan HIV/AIDS. Prioritasnya ialah untuk pencegahan penularan:, perawatan,  pengobatan, dukungan kepada ODHIV, surveilans, penelitian (baik itu secara sosial untuk menurunkan stigma dan diskriminasi), penciptaan lingkungan kondusif, koordinasi multi pihak, dan penanggulangan secara berkesinambungan.

“Nah, dari prinsip pencegahan itu. Lalu kita klusterkan ada empat,” kata Made sembari memohon maaf dengan pengklusteran ini karena dulu banyak yang kurang bisa menerimanya.

Pertama, kelompok tertular baik berstatuf HIV atau masuk fase AIDS. Kedua orang yang berperilaku risiko tinggi tertular yaitu para PSK dengan pelanggan, penasun, para napi di penjara, dan homoseksual.  Ketiga mereka yang rentan tertular karena pekerjaannya, misalnya dokter, polisi, tentara, sopir, nelayan dan sebagainya. Keempat, masyarakat yang berada di luar ketiga kelompok di atas, seperti anak sekolah mahasiswa, dan mereka yang berusia produktif.

Kepada kelompok-kelompok itu, kebutuhan mereka akan dilayani. Misalnya, pada kelompok tertular, seperti penasun. Mereka diberikan layanan NSP (pertukaran distribusi jarum steril). Kenapa? Kok diberi jarum yang seakan-akan justru  dorong mereka memakai narkotika. NSP diberikan untuk memotong penularan.

“Ini harus dipotong detik ini, caranya dengan berikan jarum suntik. Perkara mereka mau berhenti suntik atau belum, itu perkara lain, itu perlu waktu. Yang diperlukan sekarang kita potong dengan beri jarum steril supaya mereka tidak berbagai jarum,” kata Made.

Jaringan Penanggulangan 

Jalannya pertemuan berlangsung agak serius. Semua yang hadir nampak begitu antusias untuk mendengarkan paparan dari Made. Walaupun demikian, kami tetap bisa sambil menyantap hidangan kue yang disajikan KPA.

Jaringan penanggulangan kasus HIV/AIDS di Bali tidak dapat dilakukan sendirian. Ini dilakukan dengan melibatkan stakeholders. Yakni, dinas, rumah sakit, puskesmas, lembaga pemasyarakatan, LSM, media, kemudian dunia bisnis. Di Bali, saat ini sejumlah perusahaan sudah mulai dilibatkan dalam jaringan ini.  Bahkan seluruh bank sudah bekerjasama untuk pencegahan penularan.

Jaringan penanggulangan berikutnya adalah populasi kunci. Misalnya, penasun, homoseks, pekerja seks, ODHA. Mereka dapat membantu untuk menjangkau lebih jauh dalam memberikan informasi tentang HIV/AIDS. Lalu jaringan konselor: konselor ini untuk menyelenggarakan VCT sebagai media untuk mendeteksi kasus. Maka pemerintah Bali mencetak para konselor yang kini sudah tersebar di banyak LSM, rumah sakit dan puskesmas.

Penanggulangan lainnya adalah dengan pembentukan jaringan ke bawah di tingkat kecamatan dan desa. Yakni melalui pembentukan kader desa peduli AIDS di desa pakraman.

Lembaga donor, LSM, hingga KPA di tingkat kota dan kabupaten pun berkewajiban terlibat secara serius dalam upaya penanggulangan HIV/AIDS di Bali.

***

Pertemuan kami dengan KPA berlangsung menyenangkan. Banyak informasi yang terungkap. Pada kesempatan ini, salah satu nominator blog meminta konfirmasi kepada KPA mengenai kasus HIV yang terjadi pada turis asing yang datang ke Bali.

Made menegaskan bahwa turis asing sebagai penyebar HIV salah. Sebab, kasus yang ditemukan pada turis hanya 1 persen saja, sementara 99 persennya justru orang Indonesia. “Sebab, perilaku seks mereka sangat aman. Mereka sudah siap kondom dari rumahnya, bahkan di dompetnya. Justru masyarakat kitalah yang dalam istilah bali, ampah. Meremehkan. Ah Belanda masih jauh, HIV masih jauh,” kata Made.

No comments: