DI PERTENGAHAN musim panas, di sebuah hotel ibukota provinsi diselenggarakanlah acara tentang pemberantasan korupsi. Hadir sejumlah pejabat tinggi dari beberapa lembaga.
Sebelum acara dibuka secara resmi, di luar ruangan banyak sekali wartawan yang datang. Sebab, semua wartawan yang biasa bertugas di lembaga-lembaga itu ikut hadir. Di antara mereka, ada dua orang yang selama ini dikenal sebagai wartawan bodrek. Gaya mereka seperti pewarta foto.
Di pertengahan acara, tepatnya saat sesi istirahat siang, sebagian pejabat berhamburan keluar ruangan. Ada yang ke WC, makan, atau melayani wawancara dan sebagainya.
Nah, pada saat itulah, dua wartawan bodrek itu bekerja. Mereka berusaha menawarkan foto-foto yang diambil sebelum acara kepada pejabat yang kena jepret.
Kerja mereka mirip dengan penjual jasa foto yang memang biasa ikut acara-acara seperti itu. Hanya saja, kalau penjual jasa foto biasanya hanya memasang tarif murah. Tapi, dua wartawan bodrek ini menjual fotonya dengan harga sangat mahal. Mungkin juga karena embel-embel kartu persnya itu.
Seorang pejabat tinggi yang wajahnya terfoto oleh mereka berhenti ketika ditawari dengan sedikit memaksa.
"Pak, ini gambar anda," ujar pria yang mengenakan kartu pers berukuran agak besar itu.
“Wah bagus nih," kata pejabat itu sambil memegang fotonya.
"Rp400 ribu aja, pak," ujar bodrek. “Nanti bisa kita pasangkan bingkainya, biar lebih indah, pak.”
“Masa semahal itu," kata pejabat.
"Buat saya saja, ya,” tambah pejabat itu sambil ngeloyor ke toilet.
Dua wartawan itu tidak berdaya. Akhirnya si wartawan bodrek yang selalu membawa koran tergulung di kantong celananya itu cuma bisa bengong dan kembali ke press room.
Usaha wartawan dan teman-temannya ternyata tidak cuma sampai di situ. Mereka juga ikut doorstop seorang pejabat lainnya bersama wartawan resmi.
Selesai ikut wawancara, mereka kembali bergerombol. Tidak lama kemudian, mereka mengejar narasumber yang baru diwawancarai. Usut punya usut, ternyata mereka meminta amplop.
Ternyata pejabat itu punya ajudan berbadan besar. Karena para bodrek terus mendesak minta uang transport atasannya, ajudan pun turun tangan untuk menemui dua wartawan tadi.
Ajudan tahu kalau yang minta uang itu adalah wartawan bodrek karena sebelumnya telah diberitahu wartawan resmi yang biasa meliput di kantor pejabat itu bahwa wartawan yang meminta uang atasannya adalah bodrek.
Begitu bertemu wartawan bodrek, ajudan itu mengatakan, “Kan, tadi sudah wawancara, bapaknya ada acara lain lagi. Atau kalian masih mau wawancara lagi.”
Lalu, wartawan resmi yang selama ini geregetan dengan ulah para bodrek langsung menyela, “Sudah cukup kok wawancaranya.”
Akhirnya ajudan dan pejabat pergi. Sementara wartawan bodrek itu terlihat sangat kecewa, terutama kepada wartawan resmi. Lalu, mereka pergi.
No comments:
Post a Comment