Sunday, July 25, 2010

Kisah Wartawan & Perwira Pelit

ADA seorang wartawan kriminal yang bertugas di salah satu kantor polisi. Karena dia sudah senior. Senior dalam pengertian, lamaaaaaa sekali liputan bersama polisi. Alias tidak dipindah-pindah oleh kantornya. Maka hampir seluruh perwira polisi dikenalnya dan mengenalnya.

Dengan bekal itu, tentu saja dirinya dengan mudah dapat penghasilan tambahan atau berbagai jalean yang diberikan secara sukarela oleh para perwira polisi itu.

Tapi, ada satu perwira yang tidak pernah berbagi rejeki alias pelit. Paling banter kalau menghadap si perwira itu di ruangannya, hanya dibelikan mie ayam. Itupun dilarang nambah dan tanpa minum. Padahal dengan perwira lain, si wartawan senior ini bisa mendapatkan rejeki alias uang yang nilainya bisa sama dengan gaji bulanannya di kantor.

Sikap pelit itu mayoritas wartawan di wilayah itu enggan menyambangi kantor si perwira tadi. Namun, hal itu tidak berlaku bagi si wartawan senior.

Dia terus memutar otak untuk dapat menaklukan si perwira pelit. "Masa sih, tuh orang gak punya kelemahan. Pasti ada, guw bakal coba lobi doi," seru si wartawan senior di depan rekan-rekannya ketika makan siang di dekat rumah sakit.

Dengan ditemani seorang rekan, si wartawan senior langsung memacu motor tuanya menuju kantor si perwira pelit itu.

Tiba di TKP, mereka langsung menghadap. "Siang ndan (komandan). Kita lagi monitor di daerah ini nech. Kebetulan mampir. Ijin menghadap," kata si wartawan senior agak keras, tepat di depan wajah perwira.

"Oh... monggo. Silakan adik-adik. Saya selalu terbuka menerima rekan-rekan sekalian. Kita ini khan mitra kerja," balas si perwira.

Seperti yang sudah-sudah, si perwira langsung memanggil ajudannya untuk memesankan mie ayam untuk si wartawan senior dan rekannya. Itupun tanpa minuman ringan dan rokok.

Tidak sampai 15 menit mie ayam itu datang dan langsung disantap kedua wartawan. Sambil menyantap mie ayam, si wartawan senior melihat sekeliling ruangan si perwira yang cukup luas dan megah sambil terus memutar otak untuk menaklukan kepelitan si perwira.

Tiba-tiba saja pandangan mata si wartawan senior yang terkenal cerdik itu berhenti pada sebuah figura foto besar yang bergambar si perwira berikut istri dan dua anaknya, cowok dan cewek.

Foto itu cukup istimewa karena si perwira memakai seragam dinas lengkap. Istrinya pun tak kalah penampilannya, berkebaya dan bersanggul. Sedangkan anaknya yang pria berseragam tentara dan anaknya yang perempuan mengenakan seragam taruna akademi polisi.

Tiba-tiba dengan setengah berteriak, si wartawan senior berucap "Nih dia kelemahannya udah gue dapat."

Tentu saja si perwira yang hanya berjarang satu meter di depannya mendengar teriakan si wartawan senior, walaupun tidak jelas. Maklum perwira ini sudah berusia lanjut dan akan segera pensiun.

Mungkin karena alasan itulah yang membuat dirinya memilih dimusuhi wartawan dan anak buahnya karena tidak pernah berbagi dan lebih memilih menabung dana taktis itu untuk masa pensiunnya yang segera tiba.

"Ada apa, Dik, tadi ngomong apa," tanya si perwira setengah kaget.
Diday

"Ijin bertanya Ndan," pinta si wartawan.

"Oh, monggo, silakan," ujar si perwira dengan logat Jawanya yang kental.

"Itu foto siap, Ndan? Yang di figura besar itu," tanya si wartawan dengan nada pelan.

"Oh, itu, itu anak dan istri saya," jawab si perwira penuh kebanggaan.

Seketika obrolan yang tadinya berjalan kaku berubah menjadi cair dan akrab.

"Komadan memang hebat," ucap si wartawan.

"Ah... adik ini meledek. Kalau hebat masa saya pensiun cuma dengan satu melati bukan bintang," jawab si perwira dengan nada lemah.

"Itu bukan ukuran Ndan, biarpun komandan cuma punya melati di pundak. tapi komandan sukses mendidik putra-putrinya sampai bisa masuk Akpol dan Akabri tanpa koneksi," terang si wartawan dengan logat Sumaterannya yang kental.

Seketika senyum mengembang di bibir perwira yang terlihat sudah sepuh itu. Dan senyum itu baru berhenti setelah mendengar ketukan pintu yang lumayan keras yang dilakukan ajudannya. Si ajudan mengingatkan kalau ada jadwal rapat dengan camat dan Danramil di kantor kecamatan.

Mendengar ucapan sang ajudan, si wartawan senior dan rekannya hendak bangkit dari duduknya. Namun segera dicegah oleh si perwira. "Duduk saja Dik, saya tidak jadi menghadiri rapat itu kok. Biar nanti wakil saya saja yang hadir," ucapnya mantap.

Seketika si perwira menyuruh ajudannya keluar ruangan dan menyampaikan perintahnya agar wakilnya menggantikan dirinya pada rapat itu.

"Kemitraan dengan media jauh lebih penting dari pada rapat kordinasi macam itu. Coba tadi dilanjutkan omongannya Dik," pinta sang perwira dengan penuh antusias.

Dengan segera si wartawan kembali duduk nyaman dan melanjutkan bualannya. "Iya Ndan, Komandan jauh lebih hebat dari pada Kepala Polisi yang bintang dua karena anaknya enggak lulus Akpol atau humas yang bintang satu saja putrinya juga gagal masuk Akpol untuk yang ketigakalinya. Jadi, jelas Komandan lebih sukses mendidik anak dan lebih sukses dari para perwira berbintang itu," ucap si wartawan dengan penuh rayuan pulau kelapa.

Tentu saja si perwira melati itu senang bukan kepalang dan terus menatapi figura dengan foto anak-anaknya yang berseragam taruna polisi dan TNI.

Tidak ingin kehilangan momentum, si wartawan senior segera menyambung ucapannya yang memabukan itu.

"Kalau saya prediksi, anak komandan yang pria bakal jadi Pangdam dan yang perempuan minimal jadi Kapolda bahkan bisa jadi Kapolri perempuan pertama di negeri ini," ucapnya lebay.

"Ah... Adik ini bisa saja. Itu kan bukan karena saya saja. Tapi juga berkat didikan ibunya di rumah," ucap si perwira mulai mabuk rayuan.

Tak terasa hari mulai sore dan itu artinya jam deadline untuk koran si wartawan mulai dekat. Dengan segera kedua wartawan itu pamit kepada si perwira.

Namun tanpa diduga si perwira mencegahnya. Dan minta obrolan dilanjutkan lagi. "Aduh.. nanti saja Dik, kenapa buru-buru. Kita kan jarang ngobrol," ucap si perwira penuh pengharapan.

Tapi tampaknya kedua wartawan itu jauh lebih takut pada redakturnya ketimbang pada si perwira polisi. Maka dengan mantap kembali mereka ijin untuk meninggalkan ruangan.

"Aduh, mohon maaf nih Ndan bukannya kita enggak mau ngobrol lama tapi kantor sudah telepon terus nih. Kalau gak segera pulang bisa dipecat kita," kilah si wartawan senior disambut anggukan rekannya.

"Oke lah kalau begitu. Saya tidak bisa memaksa adik-adik untuk tetap di sini. Tapi tunggu sebentar," pinta si perwira sambil ke luar ruangan.

Tidak sampai 10 menit si perwira kembali masuk ruangan sambil menenteng dua amplop coklat besar yang mirip amplop lamaran dan langsung diserahkan kepada kedua wartawan yang menjadi tamunya hampir dua jam itu.

Tanpa ekspresi senang kedua wartawan itu menerima amplop coklat tersebut, masing-masing satu. Dan segera menjabat tangan sang perwira lalu melesat ke luar ruangan menuju parkiran motor. Amplop coklat itu langsung dimasukan ke dalam jaket kulit hitamnya.

Di daerah persimpangan jalan, kedua wartawan itu berpisah, yang satu ke arah selatan dan satu lagi ke arah utara.

Sekitar 15 menit setelah berpisah, si wartawan senior berhenti karena teleponnya berdering. Ternyata dari rekannya yang seharian tadi menemaninya. "Ada apa coy telepon ane," tanyanya setengah marah karena perjalanannya terganggu.

"Cing, gue di POM bensin nih," jawab sang rekan.

"Terus kenapa, dompet lo ketinggalan lagi. Mau pinjam duit lagi. Basi cing, modus lo udah kebaca," jawaban si senior di ujung telepon.

"Bukan itu Cing. Ente udah buka amplop dari komandan tadi belum," tanya sang rekan.

"Ah... ngapain paling juga kumpulan rilis seperti yang sudah-sudah. Sebentar lagi juga gue buang nih," jawab si wartawan senior.

"Busyet, jangan cing. Emangnya udah enggak butuh duit lo," teriak si rekan.

"Duit, duit apaan? Kalau duit sih gue masih doyan tapi mana duitnya," ucap si senior penasaran.

"Itu di amplop coklat yang mau ente buang. Cepet buka," perintah sang rekan.

Dengan penasaran sang wartawan langsung membuka jaket kulit kumalnya dan membuka amplop. Hampir saja matanya meloncat keluar melihat tumpukan uang berwarna biru yang setelah dihitung jumlahnya mencapai Rp3 juta.

"Gila Cing, duit Rp500 ribu. Banyak amat ya, ngasih gocap aja gak pernah. Jangan-jangan dia salah ngasih lagi maklum sudah tua," ucap si wartawan kepada rekannya di ujung telepon.

"Iya nih. Jangan-jangan kita dijebak lagi. Nanti dituduh meras. Udah jangan disentuh tuh duit dan besok kita balikin. Gue enggak mau masuk bui," perintah sang rekan.

Singkat cerita, esoknya kedua wartawan itu kembali menemui sang perwira yang sedang menerima tamu dua orang pria berperut buncit dan berkepala botak.

Setelah menunggu 10 menit, akhirnya kedua tamu itu ke luar ruangan. Dan masuklah kedua wartawan itu dengan diantar ajudan sang perwira yang lebih ramah dari biasanya.

Si perwira tentu kaget kembali bertemu dengan kedua wartawan senior itu. Tapi, dia justru senang dan kembali mempersilahkan duduk.

Dengan memberanikan diri, keduanya langsung menyerahkan kedua amplop coklat kepada pemilik sebelumnya, komandan. Tentu saja si perwira itu heran. Dan bertanya alas an kenapa sampai dikembalikan.

"Kami tidak mau dianggap meras Ndan," jawab keduanya bareng.

"Oh... itu, saya sukarela memberinya dan dari uang tabungan saya sendiri yang saya ambil dari ATM kemarin. Bahkan yang ambil uangnya ke ATM juga saya sendiri. Terimalah. Kalian berdua telah menyadarkan saya, kalau yang berharga itu bukan hanya uang saja tetapi juga anak yang membanggakan," terangnya.

"Oh... begitu. Kalau begitu kami terima deh Ndan pemberiannya. Dan kami doain biar anak komandan jadi Kapolri beneran," ucap si wartawan senior seraya meraih kembali amplop coklat yang hampir saja masuk ke dalam laci.

Dengan terbata-bata kedua wartawan itu menjawab kompak "Siap Ndan," sambil melirik figura yang sudah diganti dengan warna keemasan sehingga tampak lebih mewah dari sebelumnya.

Sejak itu, setiap Jumat kedua wartawan itu rajin menyambangi kantor polisi tempat si perwira itu. Dan sikap keduanya menjadi tanda tanya besar bagi rekan-rekan wartawan yang lain karena buat apa mereka ke kantor polisi itu karena kepala polisinya terkenal paling pelit.

"Ngapain ya tuh curut (panggilan kepada dua wartawan) berdua tiap Jumat ke kantor polisi itu," tanya wartawan lain yang brewokan.

"Mungkin sholat Jumat, bang," jawab seorang teman si wartawan brewok.

"Bah, dah mau kiamat kali kalau mereka sholat Jumat. Si A (senior) kan bukan muslim. Sedang si B, Islam KTP-nya, doang," bantah si wartawan brewok sambil garuk-garuk kepala. (share dari Day)

No comments: