PADA suatu hari, berlangsunglah pelatihan untuk meningkatkan kapasitas jurnalis di daerah yang diselenggarakan oleh perusahaan swasta. Puluhan undangan disebar ke berbagai penjuru wilayah.
Banyak sekali wartawan yang diundang menghadiri acara, mengingat pembicaranya didatangkan langsung dari Ibukota Jakarta.
Ternyata, peserta yang hadir banyak sekali. Bahkan melebihi kuota. Usut punya usut, rupanya lebih banyak wartawan bodrek yang ambil bagian di acara ini. Bahkan, ada yang berbondong-bondong datang dari provinsi tetangga.
Para wartawan itu tidak punya media yang secara rutin terbit. Bahkan, ada pula yang sama sekali cuma mengaku-aku wartawan dengan bekal kartu pers palsu.
Seminarnya ramai sekali. Pembicara dari Jakarta yang merupakan seorang pakar itu membahas secara khusus tentang kode etik jurnalistik. Perdebatan pun tak bisa dihindari. Semuanya beradu argumen dengan semangat membangun jurnalistik yang baik.
Beberapa jam berlalu tanpa terasa. Tibalah penutupan acara seminar. Begitu selesai, panitia membagi-bagikan biaya transportasi pengganti kepada peserta seminar.
Ada wartawan yang menolak uang transportasi, karena mereka menganggap itu tidak boleh diterima. Tapi, ada pula yang senang sekali menerimanya.
Setelah pembagian uang transportasi kepada peserta selesai, panitia bersiap meninggalkan lokasi seminar.
Kucuk-kucuk datang seorang kakek ke meja panitia dan menanyakan yang transportasi yang ia terima. “Jatah saya mana?” katanya.
Karena panitia merasa sudah selesai membagikan semua uang transport, spontan mereka menjawab, “Semuanya sudah diserahkan. Bapak dari mana?”
Merasa ada respon, sang kakek terus mendesak panitia untuk meminta bagiannya. “Ini tidak adil, teman saya terima masa saya tidak dapat apa-apa?” Kakek ini mengaku dari media cetak dari provinsi tetangga.
“Bodrek itu,” kata salah seorang panitia sambil bisik-bisik kepada temannya.
Di dekat meja, si kakek ini tetap ngotot dan tidak mau pergi sebelum diberi uang saku oleh panitia.
Merasa iba, ada seorang wartawan yang kemudian mendatangi sang kakek untuk memecahkan kebuntuan negosiasi. “Ada apa pak?”
Dengan lugas si kakek menjelaskan identitasnya sebagai seorang reporter lengkap dengan sejumlah kartu pers yang dia miliki.
Ternyata, kakek ini memiliki banyak sekali kartu pers. Ia mengeluarkan kartu yang digantung di leher dan kantong celana. Tulisannya pun rupa-rupa. ‘PERS,’ dan ‘PRESS.’
“Saya ditugaskan pemimpin saya untuk ikut acara ini. Rumah saya jauh dari sini. Sekitar 15 KM dari sini. Kalau tidak diberi uang saya pulang naik apa?” ungkapnya mengeluh.
Bajunya lusuh, bertopi, sepatunya juga butut. Tas kecil menggelayut di pundak. Wajahnya mengiba.
Dalam hati, wartawan yang tadi menanyai kakek itu ingin memberi uang sekadar ongkos pulang. Kasihan juga bila dia sampai jalan kaki dari acara itu.
Hanya saja, di pikirannya berucap, ”Jika diberi, ini mah tidak mendidik namanya. Tapi kasihan, bapak ini sudah renta sekali…”
“Teman saya dapat, masa saya tidak dapat,” kata kakek itu lagi. Ia menjelaskan salah seorang temannya menerima amplop berisi pecahan Rp100.000.
Berbagai penjelasan diberikan, tapi kakek itu tidak mau tahu. Ia malah emosi. “Kalau begini caranya, bapak menipu saya dan menelantarkan saya. Tega menipu orang yang sudah tua ini? Saya pulang ke rumah naik apa? Tega melihat saya jalan kaki ?”
“Saya akan laporkan anda karena telah menipu saya,” ancamnya lagi.
Ungkapan bapak itu membuat wartawan muda ikut emosi juga. Spontan ia katakana, “Silangkan lapor, kemana saja bapak lapor nanti saya tanggapi.”
Melihat reaksi wartawan muda, kakek itu pun mereda dan mencoba meminta dengan cara melunak. “Tolonglah, kalau ada berikan uangnya. Kalau tidak ada, juga tidak apa-apa kalau tega melihat saya pulang jalan kaki.”
Panitia tetap tidak memberi uang karena kakek itu jelas-jelas bukan wartawan resmi. Panitia kemudian mengucap terimakasih. Si wartawan muda berjabat tangan dan meminta maaf atas reaksi kerasnya tadi.
Sambil berdiam seribu bahasa, kakek itupun pergi ke lobi hotel berjalan beriringan dengan wartawan muda. Tiba-tiba telepon si kakek berdering keras.
Kakek ini merogoh kantong celana bututnya dan mengangkat telepon. Kaget si wartawan muda itu. Ternyata telepon milik kakek itu BlackBerry terbaru. Yang harganya di atas Rp3 juta. "Gila lu, teleponnya seharga dua kali gajiku, ngapain pula tadi lu ngotot minta duit recehan," pikir si wartawan muda.
Dengan santai, si kakek langsung pergi sambil berbincang-bincang di telepon. Di pinggir jalan, ia ditunggu sekitar lima orang yang tadi jadi peserta seminar.
No comments:
Post a Comment