SORE itu, seorang wartawan sport begitu semangat untuk meliput salah satu event sepak bola, apalagi jalannya pertunjukan itu belakangan ini jadi kontroversi setelah ditentang organisasi induk olah raganya. Wartawan ini pun siap mengurus kartu pers liputan.
Karena memang sudah lama di bidang sport, maka tak susah baginya untuk mengurus kartu liputan. Setelah mengantongi kartu liputan, semangat ‘45’ sang wartawan ini bertambah. Baginya, ini sejarah penting suatu event bola yang dianggap ilegal.
Dengan wajah sumringah, sang wartawan masuk kantor redaksi. Dia langsung menghadap sang redaktur. Dia ingin pamit untuk menjalan tugas.
“Bos izin mau liputan, ini kartu liputannya sudah aku dapat dari panitia," ujar sang wartawan pamer kartu liputannya.
Tidak seperti biasanya. Sang redaktur kali ini terlihat diam ketika dipamiti. Redaktur pun sejujurnya menikmati kebahagiaan anak buah yang akan menjalankan tugas sebagaimana mestinya. Entah mengapa dia tidak segera merespon semangat si wartawan muda.
Si wartawan muda berpikir, jangan-jangan habis kena marah istri. Mondar-mandir si wartawan muda di ruangan, sambil menunggu jawaban. Tapi, redaktur terlihat tidak ingin bicara.
Tak lama kemudian, si redaktur menyerahkan sebuah amplop pada juniornya sembari keluar ruangan untuk pergi menjauh.
Sang wartawan yang penuh semangat tadi tambah sumringah begitu menerima amplop. Dia berharap isinya surat resmi penugasan dari redaksi, berikut dana liputan. Karena adat di redaksi media memang begitu bila menugaskan liputan ke luar daerah.
Sambil bersiul-siul, si wartawan mencari tempat duduk yang nyaman di redaksi. Pelan-pelan dia membuka. Begitu amplop dibuka, isinya kalimat sederhana, singkat, dan padat, sama seperti prinsip jurnalistik.
"Mohon maaf, kali ini kita ikut memboikot acara itu. Karena pertandingan bola itu ilegal."
Sang wartawan lantas terduduk lemas. Tapi, dia jadi penasaran. Siapa gerangan yang punya ide untuk ikut-ikutan memboikot acara itu. Siapa orangnya di redaksi media ini yang punya kepentingan ikut-ikutan terlibat dalam kepentingan pertunjukan bola.
Kali ini dia sangat kesal dan kecewa. Dia akan tantang siapa gerangan dedengkot redaksi yang membubarkan impian meliput sejarah yang selalu jadi berita utama di berbagai media massa itu. Lantas dengan nada garang dia ketemu salah satu redaktur lainnya.
"Ayo ngaku bos tunjukan siapa di redaksi ini yang menggagas boikot liputan liga itu. Kasih tahu aku, biar aku debat apa alasannya. Aku tidak takut siapapun dia, ini soal kebenaran dan hati nurani kita sebagai jurnalis. Aku memang junior, tapi jangan permainkan aku, tolong tunjukan siapa orangnya," katanya dengan nada tinggi.
Tapi, lagi-lagi si redaktur terdiam. Sebentar kemudian dia membisiki si wartawan muda. Begitu dengar siapa orang yang menginstruksikan agar tidak ada liputan soal bola itu, sang wartawan tadi tambah teriak lagi. "Siap salah bos," katanya sembari mengemas kartu liputan dimasukan dalam tas sambil cengengesan.
No comments:
Post a Comment