Friday, December 16, 2011

Diskriminasi ODHIV, Sudah Tak Jaman

TULISAN ini terinspirasi dari berita VOAnews.com berjudul ‘Penderita Baru HIV/AIDS di Jakarta Berjumlah 1.184 Orang’ yang terbit Senin, 28 November 2011. Di tubuh berita ini mengangkat kegetiran Tika Suryaatmaja, aktivis Yayasan Pelita Ilmu, mengenai tindakan diskriminatif perusahaan terhadap pekerja yang tertular HIV AIDS.

Terima kasih kepada wartawan yang menulis berita ini, Fathiyah Wardah. Ini mengingatkan saya pada cerita sahabat  saya di Bali, yang bergiat dalam edukasi dan penanggulangan penyebaran HIV, awal Desember 2011 lalu.

Bahwa sampai sekarang, masih saja ada diskriminasi (pembedaan dalam perlakuan) dan stigma (cap buruk) bagi Orang Dengan HIV (ODHIV). Bahkan sampai ada kasus tindakan pemecatan terhadap pegawai yang diketahui positif. Menurut saya, ini benar-benar tidak adil. Apalagi, alasannya, ditakutkan ODHIV bakal menularkan ke orang lain bila dibiarkan tetap berada di lingkungan kantor.

Yang membuat saya geregetan lagi ialah ketika mendengar cerita bahwa ada juga dokter yang tidak jadi mengoperasi kaki pasien yang terluka. Padahal, tadinya ia sudah siap melakukan tindakan operasi. Tahukah kenapa dokter ini tidak mau mengoperasi? Gara-garanya, si pasien mengaku bila dirinya positif HIV dan ini menakutkan bagi dokter itu.

Ironis bukan. Sikap seperti itu justru dilakukan oleh orang-orang yang memiliki pendidikan tinggi, atasan di perusahaan dan dokter lulusan universitas, yang idealnya mempunyai pengetahuan yang lebih baik tentang proses penularan HIV. Padahal, penularan virus ini tidak semudah itu. Hanya karena bersentuhan atau terkena keringat ODHIV, tidak akan menjadikan kita positif HIV.

Saya setuju dengan keinginan Tika yang disampaikan kepada VOAnews.com, bahwa, "Pemerintah harus berani atau mau bertindak tegas misalnya ada perusahaan kemudian dia mengeluarkan atau tidak mau menerima orang dengan HIV AIDS kerja di situ padahal dia punya potensi. Sanksi harusnya ada."

Namun, saya tetap lebih setuju dengan digencarkannya edukasi tentang proses penularan HIV di masyarakat kota sampai pelosok. Walaupun memang sebetulnya, pengetahuan dasar tentang itu sudah banyak sekali dipublikasikan di media massa maupun pemasangan poster-poster di puskesmas dan posyandu. Tapi, karena pada kenyatannya, tidak banyak orang yang paham, maka dalam tulisan ini akan saya singgung soal itu.

Bagaimana sih penularan HIV? Ini saya kutip dari Komisi Penanggulangan AIDS Nasional. Pertama, HIV menular karena perilaku hubungan seksual dengan pengidap HIV tanpa menggunakan kondom. Kedua, melalui jarum suntik yang tidak steril dan tercemar HIV. Ketiga, melalui transfusi darah dan transplantasi organ tubuh yang tercemar HIV. Dan keempat, ibu hamil yang terkena HIV dan ibu yang memberi ASI kepada bayinya.

Maka itu, sesungguhnya bila kita tidak melanggar tindakan yang memiliki risiko tertular HIV tersebut di atas, maka kita tidak akan tertular. Jadi, menurut saya, mengapa harus takut tertular karena berdekatan atau serumah dengan ODHIV. Kenapa harus se-ekstrim seperti dua kasus di atas. Sampai menjauhkan teman-teman ODHIV.  Logikanya, yang harus dijauhi itu kan virusnya, bukan orangnya.

Tapi mungkin memang kesadaran untuk melenyapkan diskriminasi dan stigma kepada teman-teman ODHIV membutuhkan proses yang tidak praktis. Pasalnya, selama ini kita percaya mitos yang mengatakan bahwa ODHIV itu makhluk berbahaya dan wajar bila kita menjauhinya. 

Maka, menurut saya, keadaan seperti itu tidak boleh dibiarkan terus menerus. Rasanya malu, di jaman serba maju seperti saat ini, kita masih mempertahankan sikap diskriminatif dan memberi stigma pada teman-teman ODHIV.

Saya punya beberapa teman yang positif HIV. Mereka tetap memiliki prestasi luar biasa. Nilai kuliahnya bagus. Tulisannya di media massa pun mantap. Bahkan, teman-teman juga aktif berkampanye penanggulangan penyebaran HIV, bukan hanya kepada ODHIV, tapi juga kepada orang-orang yang aktivitasnya berisiko tinggi tertular, mungkin juga anggota keluarga kita.

Sebetulnya, teman-teman saya yang positif HIV itu tidak mau dikasihani, apalagi selalu minta dipahami. Bahkan, mungkin mereka akan kesal bila sampai tahu saya menulis cerita seperti di blog ini, karena akan muncul kesan seolah-olah mereka minta belas kasihan orang lain.

Tapi, rasanya, sebagai teman ODHIV yang tahu masih ada pandangan dan perilaku diskriminatif terhadap mereka, saya merasa terpanggil untuk terlibat dalam gerakan penghilangan diskriminasi dan stigma sekaligus penanggulangan penyebaran HIV/AIDS di Indonesia.

Gerakan seperti itu tidak dapat dilakukan sendiri-sendiri. Tapi, dibutuhkan kerjasama dari semua elemen masyarakat. Saya sendiri, LSM, keluarga, puskesmas, rumah sakit, perusahaan, agamawan, artis, Komisi Penanggulangan AIDS, pemerintah, termasuk ODHIV.

Kita semua adalah jaringan dari gerakan itu. Kita bergerak dalam wilayah tanggung jawab kita. Oh, iya, satu lagi yang belum saya sebut dan ini vital sekali perannya dalam jaringan ini. Yaitu, teman-teman media massa, khususnya VOA yang memiliki jaringan pembaca, pemirsa, dan pendengar yang sangat banyak. Apalagi media ini memiliki citra dan reputasi tinggi sehingga lebih bisa meyakinkan khalayak.

Maka. Agar gerakan ini sukses. Media massa jangan hanya mengangkat isu ini setahun sekali misalnya ketika tiba Hari AIDS Sedunia 1 Desember. Setelah momentum itu lewat, tidak ada lagi berita tentang HIV. Saya membayangkan, seandainya saja media massa secara serempak terus menerus (misalnya setiap pekan sekali) memberikan ruang untuk edukasi seputar HIV/AIDS, pasti publik akan mendapatkan pengetahuan yang lengkap sehingga kelak tidak lagi ada pengucilan.

Ditambah lagi, peran teman-teman yang aktif di sosial media. Saya membayangkan, bila kita semua rutin menulis di twitter, facebook, blog dan lain sebagainya dengan mengangkat tema eduksi tentang hidup sehat dan pencegahan penyebaran HIV, maka warga Indonesia akan pintar, terutama generasi muda.

Satu lagi yang penting bagi teman-teman media. Rasanya tidak terlalu penting bila kita membesar-besarkan angka kasus HIV, sementara unsur edukasi seputar hidup sehat dan pencegahan HIV itu sendiri tidak diperbanyak dalam tubuh berita. Apalagi, sampai sekarang masih ada teman wartawan yang kurang memahami masalah HIV/AIDS, sehingga ketika menulis justru tulisannya malah memperkuat diskriminasi dan stigma terhadap ODHIV.

Saya lebih setuju, bila teman-teman di media dalam menulis berita, lebih memperbanyak content edukasi. Misalnya mendorong orang, khususnya yang aktivitasnya berisiko tinggi tertular HIV, untuk secara sukarela memeriksakan kesehatannya ke dokter untuk memastikan apakah sudah tertular HIV ataun belum. Kesediaan mereka untuk periksa kesehatan, merupakan salah satu kunci penanggulangan sebaran HIV. Karena ketika teridentifikasi positif HIV, maka mereka bisa mencegah menularkannya kembali ke orang lain. Media juga mendorong pemahaman bahwa positif HIV bukanlah kiamat. Karena umumnya teman-teman yang baru dinyatakan positif, langsung shock dan merasa hidupnya tiada arti. Padahal itu salah besar. Kita harus tetap menghargai hidup dan terus berkontribusi kepada orang lain.

Teman-teman, khususnya teman media. Angka temuan kasus HIV/AIDS yang sering dimuat di media, termasuk yang diberitakan VOAnews.com ini bahwa di Jakarta hingga Juni 2011 kasus HIV/AIDS ditemukan sebanyak 1.184 kasus, ibaratnya angka ini baru puncak dari gunung es. Dasar dari gunung itu, sampai sekarang belum dapat terungkap semuanya. Ini didasarkan pada rumus Badan Kesehatan Dunia (WHO) bahwa rasio kasus HIV itu 1:100. Artinya, satu kasus ditemukan,  maka 100 lainnya belum ditemukan. Begitu juga dengan kasus AIDS yang rasionya 1:200.

Teman-teman media, terutama VOA, adalah public relations yang luar biasa. Media memiliki kekuatan mempersuasi masyarakat, terutama yang memiliki aktivitas berisiko tinggi tertular HIV, agar bersedia secara rutin memeriksakan kesehatan. Tujuannya, untuk memastikan apakah mereka positif atau tidak. Bila ternyata ada yang teridentifikasi positif, maka itu berarti mereka bisa mencegah penularan ke orang lain.

Tak hanya berhenti sampai di situ, media perlu memuat konten-konten yang membangkitkan motivasi teman-teman yang positif HIV, bukan sebaliknya justru menciptakan rasa dan membikin tidak percaya diri. Saya rasa, ini tantangan media. Menghadirkan konten seperti itu, boleh jadi akan dianggap tidak layak jual, mengingat genre media saat ini cenderung lebih mengejar berita-berita yang mampu mendatangkan pageviews, oplah, dan rating.

Tapi, sekali lagi, media adalah agen perubahan. Pers adalah pilar keempat demokrasi. Saya yakin teman-teman media yang dikaruniai kesempatan dan ruang besar dalam hal mengedukasi masyarakat, tahu cara terbaik dalam menyajikan informasi tentang masalah HIV/AIDS.  Ayo kita ajak semua kalangan untuk turut serta dalam upaya penanggulangan penyebaran HIV dan tentu saja kita hilangkan diskriminasi plus stigma terhadap ODHIV.

Dengan demikian, tidak ada lagi cerita seorang dokter takut mengoperasi pasien. Tidak ada lagi petinggi perusahaan memecat anak buah. Tidak ada lagi, perusahaan menolak pelamar kerja yang positif HIV.

Ngeblog VOA. Sumber inspirasi VOAnews.com, Senin, 28 November 2011
Penderita Baru HIV/AIDS di Jakarta Berjumlah 1.184 Orang


Bacaan penting lainnya:

2 comments:

Fadel Fahriza said...

mantap broww

Siswanto said...

Makasih Del. Sukses dan tetap semangat. :)