Saturday, December 10, 2011

Yang Tak Kenal Menyerah Perangi HIV

MALAM, Desember 2011. Dari dalam bus, terlintas Jalan Bung Tomo, Denpasar, Bali, terasa sepi. Remang-remang penerangannya. Apalagi, tak banyak  kendaraan lewat. Mengira, daerah itu tak berpenghuni. Ternyata,  begitu turun dari bus, baru terasa  denyut kehidupan malam daerah itu.

Satu dua waria berpakaian mini bermunculan. Elok jalannya, wangi aromanya. Di antaranya ada yang  menyapa pengguna kendaraan yang lewat. Ada yang hanya duduk atau berdiri di tepi jalan menunggu tamu datang.

Inilah lokasi sohor di Denpasar yang jadi hotspot waria, area yang digunakan untuk aktivitas berisiko tinggi penyebaran HIV.

Jalan Bung Tomo tak jauh dari Jalan Gatot Subroto atau beberapa menit dari terminal Ubung di Jalan Cokroaminoto. Di Ubung, Jalan Bung Tomo hanya salah satu hotspot. Ada tempat kumpul lain yang tak kalah sohor, seperti  Jalan Kusuma Bangsa atau Jalan Kargo Baru.

Di Ubung, saya dan rombongan bertemu Karisma. Waria yang akrab disapa Risma ini asal Banyuwangi. Dialah Ketua Organisasi Sosial Waria (OSIWA) Ubung. Organisasi yang bernaung ke Yayasan Gaya Dewata (YGD).

Anggotanya ada 35 – 40 orang, sebagian di antaranya positif HIV. Penularannya diduga terjadi saat mereka belum datang ke Bali atau belum menjadi anggota OSIWA. Mungkin, waktu itu mereka minim informasi pencegahan HIV.

Ilustrasi (f: MI)
Tapi, saat ini, tingkat kesadaran mereka sudah meningkat pesat seiring gencarnya kampanye pencegahan HIV. “Alhamdulillah,” kata waria berusia 31 tahun itu.

OSIWA rutin ikut diskusi kesehatan yang digelar YGD sebulan 2 kali. 1 sesi untuk ODHIV. 1 sesi untuk umum. Tak lain, hal ini untuk mengontrol, memotivasi, sekaligus mencegah penyebaran HIV.

3 bulan sekali juga digelar tes kesehatan untuk mengecek ada tidaknya Infeksi Menular Seksual (IMS). Bila ditemukan, petugas langsung menindaklanjutinya. Secara periodik, 6 bulan sekali mereka ikut tes darah. Bila teridentifikasi HIV, mereka didampingi untuk dapat layanan kesehatan serta konseling.

Untuk membuat mereka sukarela ikut program tak gampang. Ada saja alasan penolakan yang dilontarkan. Bahkan, ada yang tak peduli sama sekali. Toh, dampaknya baru beberapa tahun lagi. Tapi, dengan pendekatan tepat, akhirnya mereka pun sadar. Bahkan, di antara yang positif HIV, kini jadi aktivis penanggulangan HIV.

Risma tak henti-hentinya menyerukan kesadaran itu. Di luar aktivitas mencari tamu atau di Bali istilahnya nyebong, anggota OSIWA juga mendapat pembekalan keterampilan, seperti menjahit, salon, atau menari. Diharapkan, mereka punya pilihan pekerjaan.

Suka citanya lagi, di tengah ciri negatif yang disematkan pada waria, mereka justru berprestasi. Misalnya di ajang olahraga dan entertainment. Secara tak langsung mereka ingin menunjukkan bahwa waria dan ODHIV berpotensi sama dengan anggota masyarakat lain.

Waria dan teman-teman (f : eko)
Waria Ubung maupun di tempat lain di Bali sebetulnya  tak menutup diri dari masyarakat.  Mereka ingin terlibat di berbagai kegiatan sosial. Tapi karena masih ada diskriminasi, khususnya kepada ODHIV, jadinya tak leluasa bergerak.

Tapi, OSIWA tak akan menyerah untuk memperjuangkan hak waria secara sosial. OSIWA ikut membantu ODHIV mendapatkan hidup normal. Ikut mendukung penanggulangan HIV, bukan hanya pada waria, tapi juga anggota masyarakat di luar kalangan ini.

Malam kian larut. Jumlah waria yang datang ke Ubung kian banyak. Hampir tiap ruang yang remang-remang, ada yang berdiri atau duduk. Jumlah kendaraan yang lewat pun kian banyak, padahal saat rombongan kami tiba, area ini sunyi bagai kuburan.

**

Jalan Abimanyu, Seminyak, Kuta, 23.30 WITA. Hingar bingar musik dari klub-klub malam yang berderet di sepanjang jalan bagai berlomba-lomba minta didengar. Di beberapa klub, seperti Bottom Up, nampak suguhan tari-tarian ‘seksi’ yang diperagakan lelaki. Tamu pun berjingkrak sambil memegang gelas minuman.

Di jalan, lalu lalang pejalan kaki. Umumnya gay. Ada yang turis, ada juga orang Indonesia. Di trotoar depan klub-klub, tampak ada yang saling goda. Lalu bergandengan tangan masuk ke klub.

Di depan Spa Bali, samping Bottom Up, saya berkenalan dengan Aris. Ia seorang gay yang baru beberapa bulan jadi penari striptis di Bottom Up.

Tak sampai lama, kami pun akrab. Ia terjun ke dunia entertainment untuk mencari penghidupan yang lebih baik demi keluarga. Aris paham dunianya berisiko tinggi tertular HIV. Ia tahu persis kasus HIV di Bali tinggi. Itu sebabnya, ia selalu mengenakan pengaman saat berhubungan dengan pasangan. Pokoknya, bagi dia, mencegah penularan HIV itu nomor 1. Ia pun rutin ikut penyuluhan dan pemeriksaan kesehatan.
ilustrasi (f: dreamstime)

Kami tak lama ngobrol. Ia buru-buru pergi karena tiba gilirannya menari. Tapi, sebelum beranjak, Aris yang merupakan populasi kunci jaringan penanggulangan HIV ini bilang, jangan lagi jauhi ODHIV, tapi jauhi virusnya.

Ia juga bilang penting kiranya semua orang tahu HIV. Pencegahannya harus dimulai dari diri sendiri. Aris yang juga anggota YGD itu pun selalu menularkan pengetahuannya pada rekan-rekan lain.

Jalan Abimanyu  memang dikenal hotspot para gay. Walau demikian, sebagian waria juga beraktivitas di sini.

Di depan saya, ada 4 atau 7 waria mondar-mandir memancing perhatian. Sasaran mereka turis.  Salma, salah satunya.  Waria asal Tangerang ini, biasa nyebong dari jam 22.00 WITA-04.00 WITA.  Sama seperti Aris, ia sadar pada risiko tertular HIV. Maka itu, secara periodik, ikut semua saran YGD untuk jaga diri.

Tiap mendapat tamu, ia tak lupa segalanya. Demi mencegah kemungkinan kena HIV, ia minta 'klien’ memakai kondom. Lebih baik kencan ditolak, daripada HIV bertindak. Ia pun sangat peduli pada rekan sekerjanya karena tak ingin mereka jadi korban HIV, terutama waria yang baru datang. Maka, ia selalu mewanti-wanti mereka. Itulah cara Salma. Ia dukung penanggulangan sebaran HIV, langsung dari dalam komunitasnya 

Saat berbincang, sesekali matanya menatap turis yang lewat. Sampai akhirnya, ia pergi untuk mendekati turis berbadan tinggi besar yang berhenti di tepi jalan.

**

Dua kawasan itu di bawah monitor YGD, LSM yang bergiat di bidang kesehatan, khususnya penanggulangan risiko penularan IMS, HIV di kalangan gay, waria, dan lelaki suka lelaki. Jumlah anggotanya 4.000 orang, tersebar di Badung, Denpasar, Buleleng, sampai Gianyar.

Tindak lanjut program penanggulangan HIV, YGD mengelola usaha produktif, seperti keterampilan menjahit dan salon. “Tujuannya, untuk dorong teman-teman keluar dari prostitusi,” kata Koordinator Program YGD, I Made Arya.

Arya & Sebastian dari YGD (f : Eko)
Semangat yang sama juga dilakukan sejumlah LSM lain di Bali.  Di antaranya Yayasan Spirit Paramacitta (YSP) yang memiliki 1.085 anggota. YSP berjuang menyadarkan publik agar melenyapkan stigma dan diskriminasi pada ODHIV, selain itu edukasi penanggulangan HIV, pendampingan serta  advokasi ODHIV.

Tekanan psikologis terhadap ODHIV tak hanya menyangkut hak mendapat kesehatan di RS, tapi juga ekonomi. ODHIV bisa dipecat atasan bila mengaku.

Tantangan lainnya, adat istiadat. Di Bali, saat memandikan jenazah, tradisinya harus bersentuhan langsung dengan kulit jenazah. Tapi, ironis bagi jenazah ODHIV, sebagian orang menolak memandikannya karena takut tertular.
Diskusi di KPA Bali (f : Eko)

**

KPA Provinsi Bali mengakui tantangan penanggulangan sebaran HIV, penghilangan stigma dan diskriminasi masih berat. Tapi, mereka tak putus asa.

Data Dinkes Bali menyebut jumlah kasus HIV/AIDS secara kumulatif sejak pertamakali ditemukan di Bali, 1987 – September 2011  sebanyak 4.833 kasus (393 meninggal).

Temuan ini, di satu sisi, berita bagus karena mengindikasikan keberhasilan program. Tapi di sisi lain, menyesakkan. Ibarat gunung es, baru pucuk yang nampak. Sementara bongkahan besarnya masih terpendam di dasar laut.

Ilustrasi (Ist)
“Kalau bisa diungkap, bisa jadi jumlahnya 8.000-an, bahkan lebih. Perkaranya, kita belum bisa ungkap,” ucap Made.

Ditambahkan, “Dari jumlah itu. Para pakar bilang, Bali dalam posisi yang sangat-sangat gawat."

Realita ini telah mendesak Pemerintah Bali bekerja lebih serius. Sejak 2004, legislatif dan eksekutif menandatangani Komitmen Sanur yang isinya, antara lain, peningkatan distribusi kondom ke kalangan berisiko tinggi tertular HIV, menghilangkan stigma dan diskriminasi, peningkatan layanan serta dukungan komprehensif dengan pemberian ARV pada ODHIV.

Pemerintah pun berkomitmen total menggalang dukungan dari semua komponen, terutama LSM dan populasi kunci (penasun, homoseks, pekerja seks, ODHIV) untuk mengedukasi masyarakat. Makin banyak yang terlibat, kapal yang akan karam itu -seperti diistilahkan Made- dapat diselamatkan.

**

Problematika yang dihadapi Indonesia jadi perhatian serius Pemerintah Australia. Melalui AusAID, Australia dukung Indonesia dalam menangani HIV/AIDS lebih dari 12 tahun dan akan terus membantu sampai mencapai Tujuan Pembangunan Milenium untuk cegah HIV.

Australia memberikan komitmen hingga A$100 juta kepada Kemitraan Australia untuk HIV 2008-2015 demi memerangi penyebaran HIV dan meningkatkan kualitas hidup ODHIV.

"Inti objective dari program AusAID adalah membantu Indonesia agar dapat mencapai target nasional," kata Program Manager AusAID, Astara Lubis.

Kegiatan yang didanai dan diimplementasi melalui kemitraan, yakni program jarum suntik; methadone; pendidikan sebaya dan sosialisasi; konseling dan tes; promosi kesehatan reproduksi dan perawatan HIV (termasuk terapi ARV).

Australia pun membantu penguatan sistem pengadaan serta distribusi obat-obatan untuk HIV di seluruh Indonesia.

**

Oding dan Yudi berdiri di trotoar samping Bottom Up. Remaja gay ini menenteng box isi kondom. Kondom itu akan dibagi secara gratis kepada siapapun yang butuh.

Saat berbincang dengan mereka, datang seorang gay, minta kondom yang dibawa Oding. Pembagian kondom gratis ini bukan bermaksud melegalkan seks bebas. Tapi, ini bagian dari penanggulangan penularan HIV, sekaligus sosialiasi bahaya HIV.

"Ayo teman-teman, kita dukung. Pecahkan masalah HIV gak bisa dengan diam," ucap Yudi.

"Siapa lagi kalau bukan kita yang mulai," tambah Oding.

Dini hari, saat mulai meninggalkan Seminyak, suasana kian gegap gempita. Dari dalam bus, tampak Aris menari hot di panggung Bottom Up.

Bacaan penting lainnya:
Diskriminasi ODHIV, Sudah Tak Jaman


3 comments:

eko nugroho said...

Fotonya Eko semua ya?? mantaaab... kereeen..

Sunggul said...

ngeri ya mas...salut buat penanggulangan ODHA ini...terus berjuang ya

Siswanto said...

terima kasih mas Unggul. mohon dukungannya ya :)