Tuesday, January 18, 2011

“Agama Saya Lapan Anam, Koh”

ALKISAH, di suatu waktu. Seorang wartawan baru diajak seniornya liputan. Mereka mengunjungi seorang narasumber. "Boy, ntar siang ikut gw 'merapat.' Jangan lupa pake seragam," ujar senior.

"Kemana bang?" tanya Junior bingung. "Ikut aja jangan banyak tanya, nanti pake satu motor aja kita berangkat ke sana," ujar senior.

Di waktu yang dijanjikan, keduanya pun bertemu dan segera meluncur ke lokasi tujuan di bilangan Glodok, Jakarta Barat.

Setelah menyusuri puluhan kios, tibalah mereka di satu kios yang cukup megah dan lengkap perangkat elektronik yang dijajakan. Tampak di kios itu seorang enci (wanita keturunan) sedang merapikan dagangan di etalase.

"Ci, engkoh ada di dalem," ujar wartawan senior menyapa si enci.

"O ada.. Masup aja ke dalam," ujar enci cadel yang terlihat kenal dengan wartawan senior itu.

Wartawan senior tersebut kemudian masuk ke dalam ruangan di dalam kios diikuti wartawan junior yang planga-plongo tidak mengerti sambil merapikan seragamnya yang lecek.

Di dalam ruangan, engkoh bertubuh buncit tampak sedang asyik duduk sambil mencatat di buku panjang. Sementara, gepokan uang gambar Soekarno merah diikat karet gelang terlihat di atas meja.

"Siang koh," sapa wartawan senior di hadapan si engkoh yang sedang sibuk.

Betapa terkejut si engkoh ketika melihat sosok yang menyapanya. "Hayyah... Lu lagi-lu lagi. Liki-liki lu dateng, liki-liki lu dateng. Sekalang lu pake bawa temen lagi (artinya: Jiaah... Kamu lagi, kamu lagi. Sebentar-sebentar kamu dateng2x. Sekarang sampai membawa temen segala)," ujar si engkoh dengan nada cadel sambil melirik wartawan junior.

"Ah si engkoh bisa aja," ujar wartawan senior mesem-mesem. Wartawan junior yang berdiri di samping seniornya masih bingung.

"Lebalan lu dateng, Natal lu dateng, Idul Adha lu dateng....Sampe IMLEK pun lu dateng. Agama lu apa sih? Owe ampe pusing," ujar engkoh ketus sambil tepok jidat yang basah oleh keringat.

"Yeeh si engkoh. Agama gue 86 lah. Udah jangan lama-lama, mana sinih jatah gw, mo pulang kampung nih," ujar wartawan senior sambil cekikikan.

Meski mendumel, si engkoh akhirnya menarik beberapa lembar (kurang lebih 10 lembar) dari tumpukan uang yang ia sudah ikat dengan karet dan menyodorkan ke lengan wartawan senior.

Melihat peristiwa tersebut, wartawan junior perlahan-lahan menaikkan lengannya dan menutupi logo media yang terpampang di dada kiri seragamnya. "Kampreeeet," gumam sang junior sambil lengan satunya mengelap keringat dingin yang bercucuran di dahinya. Ia baru tahu, maksud si senior mengajaknya ke tempat itu.

Sedangkan wartawan senior segera menyambut sodoran uang dari si engkoh.

"Terima kasih koh. Semoga di tahun baru ini, usahanya semakin makmur dan maju," doa basa basi wartawan senior sambil berpamitan dan meninggalkan ruangan kios tersebut.

"Itu engkoh dulu pernah gw bantu kasusnya. Nih lu gw bagi 3 liter aja yah," ujar wartawan senior sambil mengantongkan 3 lembar uang ke kantong baju wartawan junior.

Mereka berdua pun berlalu menuju lokasi di mana motor wartawan senior terparkir. Mereka pun berpisah.

NB

Hikmah yang diambil si junior:

Meski sebentar ikut si senior, dia belajar bahwa pengalaman begitu mudahnya mendapat uang di tengah sulitnya kehidupan, dapat menggoncang iman seseorang.

4 comments:

Galuh Parantri said...

Bagus masih ngakuin 86 sebagai agama. at least di aumat beragama lah

Siswanto said...

hehhe... siap perintah mbak...

junphotograph said...

sempet ngakak juga bacanya
hahaha

bsa jadi penghasilan tambahan jga trnyata
wkwkwkwk

Siswanto said...

jangan belajar yang negatifnya ya geng wkkw