Thursday, May 22, 2008

Satu Gaya Wawancara Presiden

Betul. Setelah sampai di tempat yang telah ditentukan dan menunggu beberapa saat, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono datang. Seperti biasa, dia dikawal oleh penjaga yang bersikap tidak familiar. Penjagaan semacam ini seakan ingin menjawab pertanyaan bahwa presiden tidak aman. Mungkin, sudut pandang penjaga, wartawan adalah ancaman bagi keselamatan presiden.

Pada kesempatan itu, Yudhoyono memberikan keterangan bahwa pada pukul 9.00 WIB tadi, Sekretaris Jenderal PBB Ban Ki Moon menelpon dirinya. Ada dua isu internasional yang mereka bicarakan. Mengenai kelanjutan hasil yang telah dicapai dalam konferensi perubahan iklim lalu. Kemudian, perkembangan demokrasi di Myanmar.

Sekarang ini Indonesia sudah amat maju. Dunia internasional memperhitungkan keberadaan negara yang sudah lima kali mengalami pergantian kepemimpinan ini. Bali dipilih menjadi tuan rumah. Tempat ini dipilih karena memiliki kelebihan ke-eksotis-an. Separuh lebih negara di dunia, menghadiri konferensi ini.

Pendapat-pendapat dari Indonesia menjadi bahan pertimbangan Perserikatan Bangsa Bangsa. Rekomendasi dari Indonesia menjadi acuan untuk perubahan iklim masa depan. Ini amat luar biasa kemajuan yang telah dicapai. Jaman penjajahan dulu, tentunya pribumi tidak merasakan pencapaian seperti sekarang ini.

Baik. Aku mau menceritakan bagaimana jalannya wawancara langsung dengan presiden di lobi kantor presiden itu. Yudhoyono berdiri dengan didampingi kedua juru bicara. Di sebelah kiri ada Dino Pati Jalal dan kanan Andi Malarangeng.

Sedangkan juru kamera mengambil posisi berhadapan dengan presiden. Sementara wartawan yang memegang tape recorder berjongkok di depan presiden.

Aku membayangkan, ini seperti jaman feodal. Di mana rakyat dipaksa bergelesotan di tanah saat raja datang. Begitu juga dengan wartawan ini, diatur-atur memberi kesan seragam dihadapan presiden.

Presiden berbicara amat panjang. Isi pembicaraannya mengenai pujian, permintaan dan pendapat kepada Ban Ki Moon saat berbincang melalui telepon itu. Karena terlalu panjang lebar, aku sempat berpikir, presiden tidak mengenal situasi saat itu.

Mestinya dia memahami bahwa pada saat berlangsung wawancara itu dirinya sedang tidak di mimbar pidato. Tapi, sedang berdiri. Banyak wartawan yang tidak kuat menahan beban di tangan yang membawa alat-alat rekaman. Apalagi posisi wartawan diatur duduk berjongkok di kaki presiden.

Tiga puluh menit pun lewat. Lega rasanya setelah wawancara yang posisinya tidak seimbang itu selesai. Para wartawan langsung mengerjakan tugasnya. Wartawan yang bekerja untuk media cetak, online seperti aku dan radio mentranskrip isi tape recorder. Sedangkan wartawan tivi duduk dan ngrumpi karena mereka tidak perlu cepat-cepat membuat naskah.

No comments: