Biasanya kalau sudah begitu, aku memaksakan jariku untuk mengetik tulisan apa saja. Mulai dari kesulitanku sendiri yang menjadi tulisan pertamaku. Aku berusaha menumpahkan apa-apa yang ringan saat itu. Kalau ini berhasil sampai pada satu kalimat, aku berarti sudah memulai.
Meskipun sudah bisa mengeluarkannya, kadangkala aku berpikir-pikir mengenai hasil tulisan pertama itu. Seringkali aku tidak puas dengan pengkalimatannya. Rasanya, apabila menulis sekedar menuangkan apa yang terlintas di otak, kok hanya sia-sia saja. Buat apa kalau jadinya jelek dan tidak berguna.
Kalau sudah punya pikiran begitu, aku ingin berhenti sampai menemukan hal yang sangat menarik. Hal yang berguna. Hanya masalahnya, apa itu? apa yang berguna itu?
Toh ternyata setelah kupertimbangkan masak-masak. Menunggu sampai datangnya ide cemerlang buat bahan tulisan itu, sebenarnya sia-sia. Tidak ada hasilnya dan mubazir berpikir terlalu lama. Jadi lebih baik, menuliskan apapun yang terlintas dan itu malah sebenarnya sedang melatihku untuk melancarkan latihan menulis.
Menuliskan hal-hal yang mengambat pelatihan, aku buat menjadi bahan tulisan yang menarik. Hal semacam ini, aku pikirkan sebagai pengalaman yang menarik untuk diketahui. Aku menjadi tahu, apa sih yang sebenarnya menghambatku.
Seperti sudah pernah kuceritakan dalam konsep latihan menulis bebas. Proses penulisan merupakan sumber ide yang baik untuk menulis. Justru pengalaman yang berhasil kuidentifikasi semacam ini, menjadi bahan pembelajaranku di masa mendatang. Maka, jangan pernah berhenti menulis. Menulislah dengan hati nuranimu. Ikuti saja hati nurani hendak ke mana dia melangkah.
Aku menulis dari bahan yang kuperoleh dari apa-apa yang menghambatku menulis. Menuliskan hambatan-hambatan penulisan sebenarnya membantu membuka cakrawala tentang menulis itu sendiri.
Sampai pada kata ini, aku tidak tahu tema menarik apa yang akan kutulis, kecuali ketidaktahuanku itu sendiri yang menjadi tulisanku. Ketidaktahuan itu bagiku sumber yang tidak akan habis-habisnya untuk dituliskan. Rasanya, kok, lama-lama ini mbulet ini tulisanku. Dalam hati, aku tertawa. Menertawakan kenekadanku ini.
Entahlah. Yang jelas, sekarang aku tidak peduli kepada siapapun yang akan membaca catatan ini. Mungkin anda akan tertawa membaca ini. Aku tidak peduli. Yang penting aku berhasil mengeluarkan uneg-uneg ini. Hayoo. nulis, nulis, nulislah diriku. Begitulah aku menyemangati diri. Nanti ini kuposting di blogku.
Ngomong-ngomong, aku jadi mengingat isi blog milik temanku. Beberapa blog yang kuikuti sepertinya tidak pernah diisi dengan rutin. Aku tidak pernah bertanya mengapa demikian. Tapi aku menebak, pasti mereka tidak percaya diri untuk menulis. Mereka pasti berpikir, tulisan di blognya harus bagus-bagus. Mereka berpikir, isi tulisan yang dipublikasikan di blog harus layak baca.
Nah, untuk mendapatkan kepuasan atau untuk memenuhi kebutuhan kepercayaan diri itu, biasanya mereka menunggu sampai punya gagasan terbaik untuk dituliskan. Aku pernah menantang temanku untuk lebih produktiv menulis di blog. Tapi, hal itu tidak ditanggapi. Dan dia juga sampai berhari-hari, bahkan berminggu-minggu tidak menulis di blognya.
Aku jadi berpikir bahwa mengapa mereka tidak terus menulis. Blog bukan untuk posting tulisan yang harus selalu berbentuk tulisan yang canggih. Tapi, untuk melatih menulis. Melatih kepercayaan diri dan melatih menggali ide-ide diri sendiri.
Aku mempertanyakan, mengapa tidak terus melatih disiplin menulis. Kalau harus menunggu matang, tahun berapa lagi akan terealisasi. Daripada menunggu, masa tunggu itu mestinya dimaksimalkan untuk menulis. Latihan dan latihan. Jangan menggunakan aturan yang justru mengekang. Tabrak saja etika dan macam-macam dalam syarat-syarat penulisan.
No comments:
Post a Comment