Monday, May 19, 2008

Surat Panggilan Polisi (1)

Aku menerima dua surat panggilan dari Polda Metro Jaya. Panggilan itu terkait adanya pihak yang merasa difitnah dan dicemarkan nama baiknya setelah membaca laporan tulisanku. Lalu yang bersangkutan melaporkan ke polisi. Dia menggugat narasumber yang kukutip pernyataannya.

Dalam hal ini, aku dipanggil untuk diperiksa sebagai saksi dalam kasus itu. Jadwal pemeriksaannya pada Rabu 21 Mei nanti.

Ada beberapa catatan yang menarik di sini. Berita itu dimuat pada akhir 2007 lalu. Pihak pelapor sudah memasukkan kasus ini ke Polda Metro Jaya akhir tahun itu juga. Surat pertama, belakangan aku tahu, ternyata pernah diterima oleh redaktur pelaksanaku. Tapi, surat itu tidak direspon.

Belakangan aku tahu alasan surat itu tidak ditanggapi, kata redpelku, laporanku boleh dijadikan barang bukti oleh polisi untuk pemerkaraan kasus ini. Tapi, aku tidak perlu datang memenuhi pemeriksaan. Berita media umumnya selalu menyalahkan orang dan menuding orang atau lembaga.

Kalau kemudian, mereka menggugat dan menjadikan wartawan sebagai saksi, berarti tiap hari wartawan akan selalu datang ke kantor polisi dan berurusan dengan hukum. Dalam UU Pers, kata redakturku, wartawan memiliki hak tolak untuk diperiksa sebagai saksi. Jadi, aku memang tidak perlu datang.

Hanya saja, salahnya saat itu, redaktur tidak memberikan tanggapan berupa penolakan diperiksa di kantor polisi. Waktu terus berjalan.

Pertengahan 2008 ini, Polda Metro Jaya kembali melayangkan surat panggilan. Aku mulai memikirkan itu secara serius. Aku minta pemimpin redaksiku untuk menanggapi hal ini. Kalau memang aku harus tidak datang, ya, harus mengirimkan surat penolakan. Sebaliknya, kalau aku harus datang, ya, harus diputuskan dalam rapat redaksi dan mendukungku untuk memenuhi panggilan.

Dalam posisi seperti ini, aku terus mengungkit-ungkit masalah ini di kantor. Tujuannya, supaya ini menjadi pemikiran di redaksi, terutama redpel dan pemimpin redaksi. Supaya mereka tidak mencueki soal ini, seperti pada panggilan pertama itu.

Ada redaksi yang tidak mengerti aturan hukum dan hak jurnalis. Mereka biasanya tidak terlalu peduli dan menyerahkan pada wartawan. Ada temanku yang menjadi korban redaksi yang model seperti itu. Temanku mesti mengurus sendiri, padahal berita yang kemudian menjadi masalah itu, muncul karena keputusan redaksi juga.

Aku tidak menginginkan hal itu terjadi di redaksiku ini. Redaksi mesti ikut bertanggungjawab. Turun tangan kalau melihat wartawanya terkena masalah. Bukan hanya aku saja. Tapi ke depan. Ini mesti menjadi pengalaman buat nanti-nanti.

Singkat cerita, tadi pagi, pemimpin redaksiku rapat dengan para redpel di salah satu ruangan. Diputuskan, aku tidak perlu hadir. Dan redaksi secara resmi mengirimkan surat penolakan hadir dalam pemeriksaan.

Aku berharap, tidak terjadi sesuatu yang lebih serius setelah adanya penolakan ini.

No comments: