Saturday, May 31, 2008

Optimisme

"Pesimisme mengarah pada kelemahan. Optimisme mengarah pada kekuatan."

William James (1842-1910), Filsuf-Pengagas Pragmatisme

Thursday, May 29, 2008

Menulislah Dengan Kata Hati

Seringkali, Posman Sianturi, temanku, memberikan kritik-kritik mengenai tulisan laporanku. Waktu itu, kami sama-sama bertugas liputan di Bekasi. Dia bekerja untuk koran Suara Pembaruan, aku di Tempo.

Katanya, kalau menulis berita, kalimat yang kugunakan bertele-tele sehingga melelahkan saat membacanya. Aku sering kesal apabila dia selalu mempunyai pendapat mengenai kelemahan tulisan berita yang kukerjakan. Apalagi kalau lagi pas mengetik, rasanya ingin ngamuk. Bagaimana tidak, sudah capek sekali dari liputan kemudian menulis, eh, dikritik pula. Rese lu, Man. Raksasa!

Saat itu, sesungguhnya aku tidak terlalu mau peduli dengan hasil tulisanku dengan penilaian Posman. Aku merasa apa yang sudah kukerjakan di komputer itu benar adanya. Sudah memenuhi kaidah jurnalistik dan lengkap. Itu sudut pandangku.

Singkat cerita, Posman tentunya punya cara pandang yang berbeda saat melihat hasil pekerjaanku. Setelah lama sekali, Aku menjadi tahu inti dari kritikan Posman. Dan aku menerimanya sebagai pembelajaran berharga buat proses belajarku sampai saat ini.

Ngomong-ngomong soal menulis berita. Ada satu hal yang juga melekat pada ingatanku. Dikemudian hari, hal ini menjadi konsep dalam latihan menulis. Yaitu, nasehat dari bu Aneki Andreas. Dia wartawan Suara Pembaruan satu kantor dengan Posman. "Menulislah dengan mengikuti kata hatimu," kata bu Andreas saat aku masih magang wartawan di Suara Pembaruan tahun 2001.

Nasihat itu awalnya kuanggap remeh. Soalnya, aku tidak bisa mengikuti jalan pikirannya. Bagaimana mungkin menulis jurnalistik dengan mengikuti kebebasan hati, pikirku. Aku kuliah jurnalistik 3,5 tahun dan diajari dengan prinsip-prinsip dan etika dan struktur menulis yang baik. Nah, aku malah mendapat masukan yang sebaliknya. Bertentangan dengan sekolah menulis dong.

Saat itu, aku tahu mengapa bu Andreas mengatakan demikian. Dia tahu aku mengalami kesulitan menulis berita di redaksi. Memelototi komputer selama berjam-jam, tapi menulis empat paragrap saja tidak rampung-rampung.

Lama sekali aku mencapai sebuah penataan dan ketenangan pikiran untuk memahami prinsip itu. Tidak cukup dalam hitungan bulan, melainkan bertahun-tahun lamanya mengerti bahan dari bu Andreas. "Tulis dengan mengikuti kata hatimu."

Singkat cerita, kritikan Posman dengan nasehat bu Aneki Andreas itu sebenarnya saling terkait dan semuanya benar.

Aku terus bertanya-tanya. Mengapa sat itu tidak bisa mengungkapkan data-data yang selesai kuliput sewaktu magang di Suara Pembaruan itu.

Ternyata karena aku terlalu terpaku menggunakan batasan-batasan menulis yang didapat dari bangku sekolah menulis. Terpatok pada aturan-aturan semacam itu, rupanya telah berhasil mengekangku untuk dapat memindahkan memori dari otak ke layar komputer.

Mestinya, aku menyadari bahwa diriku bukan sebagai seorang editor saat menulis. Kalau diri kita menjadi editor, ya, apa yang ingin ditulis menjadi tidak mengalir. Soalnya, fungsi editor dalam diriku bekerja terus dan selalu menyaring habis-habisan tentang apa-apa yang hendak dituliskan.

Menulislah dengan bebas. Tulis apapun yang ada dalam memori kepala. Jangan hiraukan editor dalam pikiran bekerja bebas. Musuhi saja dia dan keluarkan semuanya. Persoalan bagus atau tidak bagus, itu nomor terakhir. Memikirkan soal bagus atau tidak sesungguhnya itu penghambat utama proses menulis. Itulah yang namanya pengedit.

Prinsipnya adalah semua yang terkait dengan kegiatan menulis adalah proses untuk menjadi. Menjadi matang. Matang pikiran, logika, imajinasi, dan nafas panjang penulis. Aktivitas menulis adalah suatu ketrampilan. Artinya, hal ini bisa diasah dengan sesering melatih disiplin mengeluarkan sampah otak menjadi tulisan.

Tulisan yang baik adalah melalui tahapan latihan. Karya yang bagus yang menentukan adalah waktu. Makin disiplin, makin OK, makin menemukan kepercayaan diri sebagai penulis.

Ketika orang sudah mencapai level itu, dia sudah bisa baik. Baik dalam arti mampu secara runtut menjelaskan sebuah masalah melalui menulis. Dan apa yang dikritik Posman itu tidak akan terjadi lagi. Tidak akan bertele-tele dalam arti berputar-putar. Mungkin anda akan merasakan bahwa tulisanku ini juga masih njlimet. Tulisan yang tidak merumuskan sebuah masalah.

Aku akan cuek saja dengan penulaian itu. Karena aku berpegang pada doktrin bu Andreas. Tapi aku akan menerapkan nasihat Posman itu sebagai rambu-rambu yang terpenting. Ruangan antara kedua pikiran sahabatku itu kuanggap merupakan proses. Yang menentukan hasil adalah perjalanan yang dibangun dengan semangat untuk tidak menyerah.

So, jawabannya adalah latihan. Melatih disipilin atau disiplin berlatih. Kalau sudah sampai pada cara berpikir model demikian, kegiatan menulis akan lancar. Akan lebih cepat mencapai level berikutnya, yaitu mampu secara tepat dalam menyampaikan sebuah masalah dan menawarkan pemecahan.

Sekali lagi aku mau mengatakan. Menulis ada sebuah proses. Kita semua memiliki potensi untuk itu. Contoh sederhana adalah apabila kita melakukan chatting dengan rekan lain di luar sana. Begitu lancar, bukan. Kita mampu menuliskan maksud kita melalui kata-kata. Bisa minimum empat halaman tulisan dialog kalau saja hasil perbincangan itu dicopy ke microsoft word.

Selama ini, aku belum pernah mendengar temanku mengeluh tidak bisa berdialog dengan tulisan lewat chatting. Setahuku, kalaupun dia tidak bisa, itu lebih ke teknis chat-nya. Gaptek, begitu.

Maksudku dengan hal ini adalah, selama belajar menulis, gunakanlah kata hati. Ikuti dia. Menulis dengan tidak menggunakan aturan-aturan sekolah penulisan.

Wednesday, May 28, 2008

Rasa Yakin

Rahasia sejati kehebatan adalah rasa yakin, percaya diri, serta selalu merasa aman dengan berbagai keputusan dan pemikiran Anda sendiri."

Kirsten Dunst, aktris Hollywood

Tuesday, May 27, 2008

Sudut Pandang Tentang Media Portal

Aku mempunyai sahabat bernama Rena. Dia alumni Unpad konsentrasi studi jurnalistik yang menyatakan mempunyai perhatian khusus terhadap perkembangan media berbasis internet di Indonesia atau sering kita sebut media portal.

Suatu pagi di Jakarta, kami online dan berdiskusi mengenai perkembangan media semacam ini. Dia menyoroti dari segi pendalaman terhadap sebuah masalah yang dipublikasikan. Bahwa di Indonesia, media portal belum menggarap dari sisi itu.

Yang terjadi sekarang adalah pengemasan berita yang mempunyai kecenderungan hanya menyampaikan laporan bersifat sepotong atau kering alias tidak investigatif. Dia mempunyai kesimpulan bahwa karakter pemberitaan media portal di Indonesia hanya sifatnya informasi judul. Maksudnya, sekedar melaporkan judul.

Pendapat teman ini benar. Penggarapan redaksi di mediaku misalnya, sejauh ini belum terlalu melihat dari sisi indepth. Hampir semua laporan sifatnya breaking news. Sepotong-potong dan tidak terlalu lengkap. Malah aku menyebutnya, media yang sangat terburu-buru dalam penyajian berita.

Meskipun sebenarnya, pemikiran untuk menghadirkan berita-berita mendalam atau tulisan yang panjang memang selalu ada. Buktinya, sudah ada kanal liputan khusus. Cuma memang kanal ini yang menggarap belum wartawan redaksiku sendiri, melainkan tulisan dari media sinergi kami.

Hal itu yang menjadi perhatian sahabatku itu. Dia pernah bertemu dengan teman-teman jurnalis dari sejumlah negara dan mendiskusikan masalah pencapaian media online di dalam negeri. Konsep media portal di Indonesia yang sekarang ini, sebenarnya sudah ditinggalkan oleh redaksi-redaksi di sejumlah negara yang sudah lebih dulu menyelenggarakan bisnis semacam ini.

“Wartawan online Indonesia terkesan hanya mengejar kekinian peristiwa unsur standar 5 W 1 H memang terpenuhi, tapi hanya terpaku di situ. Tidak ada kedalaman dari segi peristiwa yang dikabarkan. Berbeda dengan media online di negara lain, yang tidak lagi hanya mengandalkan kekinian atau kecepatan menyampaikan berita,” kata temanku yang bekerja di DAAI TV ini.

Di sana sudah menggarap teknik berita mendalam. Soalnya, kebutuhan pembaca dan pembaca potensial di negara-negara itu sudah di level informasi yang lengkap. Mereka menyukai dunia membaca.

Dalam pikiranku saat ini, masyarakat di Indonesia belum begitu familiar dengan internet. Memang, sudah beberapa tahun terakhir, utamanya di kota-kota besar sudah gampang mengakses jaringan internet.

Namun, sebagian besar penduduk, belum memahaminya. Bukan itu saja, ada karakter pembaca yang sudah dapat menjangkau internet, mereka suka membaca berita pendek-pendek dan informatif saja sekedar memenuhi keingintahuan.

Karena itu, redaksi-redaksi media online belum menseriusi penggarapan berita mendalam di media portal.

Pikiranku mengatakan bahwa ini baru masanya penyajian informasi yang pendek-pendek atau yang inti saja. Aku optimis nanti akan berkembang menjadi lebih mendalam, mengikuti karakter pembaca.

Tapi, menurut Rena, argumentasiku itu masih bisa diperdebatkan. Internet sudah cukup lama dapat mengakses jaringan berita di internet. Artinya, sebenarnya internet sudah cukup familiar. Jadi, singkat ceritanya, jurnalistik online masih payah dan cenderung memberikan pembenaran atas kekurangannya ini.

Aku setuju dengan argumentasinya. Tapi, kondisi riilnya ternyata tidak sesederhana itu. Idealisme seperti yang pernah kutelan tiap hari di sekolah jurnalistik, sepertinya tidak terlalu berlaku.

Dulu, di bangku kuliah, aku dan teman-teman juga dosen sering membahas soal bagaimana menyajikan berita yang mendalam dan sesuai kode etik jurnalistik.

Bahwa berita itu harus lengkap. Wartawan memiliki tanggung jawab untuk mencerdaskan pembaca. Wartawan tidak boleh membuat opini dalam menulis berita. Media itu harus ekstrim, idealis dan independen. Tidak boleh menyuarakan kepentingan pemilik modal saja. Macam-macam bahwa media massa harus bebas nilai, kami bahas.

Kenyataannya, media itu sebenarnya bisnis untuk mencari laba dan kepentingan eksistensi pihak tertentu yang memiliki akses dan kepentingan. Media itu dimiliki oleh beberapa orang. Pemerintah, militer, pemilik modal.

Singkat cerita, mau berbicara mengenai idealisme. Sulit. Wartawan-wartawan terbaik di Indonesia, menurutku, sekarang ini lebih berorientasi untuk menghidupi keluarganya daripada di luar itu.

Karena itu, sekarang ini sering terjadi rotasi wartawan dari satu media ke media lain. Motivasinya, antara lain untuk mendapatkan gaji yang lebih besar dari tempat kerja sebelumnya.

Ini yang ditangkap para pemilik modal, mereka akan direkrut dengan bayaran tinggi supaya nanti bersedia menggarap bisnis media sesuai tuntutan pemodal atau pemilik otoritas.

Seperti di media tempat kerjaku, misalnya. Wartawan dituntut memberikan laporan sebanyak-banyaknya, soal kualitas itu nomor dua. Wartawan dituntut oleh redaksi. Redaksi dituntut pemimpin redaksi. Pemimpin redaksi dituntut oleh pemilik modal. Saling menuntut, saling menggencet.

Tujuan pemilik modal adalah untuk sukses dalam berbisnis. Aku juga baru tahu bahwa ukuran sukses ditentukan oleh perusahaan analisa, namanya Alexa. Makin traffic kita memuncak, berarti jualan berita kita laku keras. Kalau jumlah page view banyak sekali, maka itu bisa mendatangkan iklan dalam jumlah yang banyak pula.

Jualan media online adalah judul berita. Apabila pembaca sudah mengklik judul, berarti sudah menyumbang angka page view tadi.

Kembali ke diskusiku dengan Rena. Cerdas sekali, tadi Rena mengatakan bahwa konsep media online di Indonesia itu hanya judul saja.

Tapi, aku optimis, pembaca akan berkembang menuntut berita yang berkualitas. Minat baca pasti akan bertambah. Kalau sudah begitu, media-media online tentunya akan mengikuti kecenderungan karakter pembaca Indonesia.

Kesombongan

Kesombongan lebih banyak disebabkan oleh percakapan daripada oleh akal.

Duc de La Rochefoucauld

Perubahan

"Setiap perubahan, bahkan untuk sesuatu yang lebih baik sekalipun, selalu diikuti oleh kemunduran dan ketidaknyamanan."

Arnold Bennet (1867-1931), Novelis Inggris

Sunday, May 25, 2008

Tetanggaku

Kalau sore hari di lingkungan sekitar tempat kosku ramai sekali. Anak-anak keluar rumah dan bermain di gang permukiman depan kos. Ada yang berteriak-teriak. Ada yang tertawa-tawa. Ada yang merengek. Ada yang bernyanyi.

Orang tua mereka duduk di bangku depan posyandu. Yang masih punya anak kecil, biasanya menyuapi putra-putrinya dengan sabar. Sementara orang tua lainnya ada yang ngobrol mengenai kerumitan sehari-hari.

Sore itu, langit di atas Kemayoran nampak berawan. Udara rasanya gerah sekali. Sebentar lagi akan datang gelap.

Ada satu anak laki-laki dan ibunya yang menarik perhatianku. Dia sedang makan nasi bungkus dengan ditemani ibunya di depan posyandu. Satu bungkus dimakan berdua.

Ibu anak ini sepertinya sedang sakit. Badannya amat kurus dan kecil. Kulitnya cenderung gelap dan mati. Kalau berjalan kakinya tertatih-tatih. Mungkin kalau kena angin agak besar dia akan jatuh.

Sepertinya, dia sudah lama sekali menderita suatu penyakit kronis. Wajahnya selalu saja muram. Giginya rusak dan sangat coklat. Rambutnya awut-awutan seperti penampilan pada umumnya orang kurang waras. Kondisi yang sama juga dialami ayah dari anak itu.

Tapi, keadaan anak yang dilahirkan sehat dan segar sebagaimana anak-anak normal lain di kampung ini. Dia mendapat kesempatan belajar dan lainnya.

Menurutku, keluarga ini memang memiliki kekhususan. Jarang sekali ibu itu diajak ngobrol dengan para tetangga. Cenderungnya, dia malah dijauhi. Aku menduga karena penampilannya yang awut-awutan itu.

Dia juga tidak lancar berbicara. Kalau ngomong dengan suami dan anaknya, dia seperti melengking-lengking setengah mati. Entah penyakit apa yang memakannya.

Mereka tinggal dekat kosku. Hanya berjarak tiga petak rumah. Keluarga ini tidak bekerja. Untuk menanggung biaya hidup, mereka mengandalkan bayaran sewa kos.

Kalau aku sedang berangkat kerja, aku selalu mengangguk pada ibu itu. Dia pasti tersenyum dengan memperlihatkan giginya yang kotor dan sebagian besar hancur. Kadang-kadang dia mengangguk senang sekali.

Ibu ini memang sangat kesepian. Kesulitan berdialog dan tidak diajak membaur dengan tetangga.

Aku sering melihatnya makan es batu pada pagi hari atau malam hari. Mungkin, giginya hancur karena itu. Kata ibu rumah tangga lain, sehari-hari, dia memang suka makan es batu dan tidak kenal waktu.

Kalau malam hari, seringkali dia mencuci pakaian di tempat penampungan air umum di pertigaan jalan. Aneh memang, kadang jam satu dini hari dia mencuci. kadang tengah malam masih nyuci alat memasak.

Calo dan Polisi

Ada tetanggaku yang sedang berbicara dengan suara keras-keras di telepun. Mungkin dia bicara dengan polisi atau petugas dinas perhubungan. Aku tahu lawan bicaranya itu petugas karena saat itu, dia selalu mengatakan meminta pertolongan untuk memperpanjang KIR atau STNK mobil.

Sehari-harinya, tetangga kosku ini punya pekerjaan unik, yaitu nyalo bidang perpanjangan SIM dan STNK. Julukan yang agak terhormat, dia penjual jasa untuk hal-hal yang berbau hubungan administrasi dengan kantor polisi. Sesuai plakat yang dipajang tinggi-tinggi di teras rumahnya, biro jasa macam-macam surat.

Pada pembicaraan pertama, orang tua yang hidungnya pesek ini bertanya mengenai kemungkinan perpanjangan administrasi kendaraan tanpa membawa kendaraan roda empat. Alasannya, mobilnya sedang mengangkut barang di tempat lain sehingga tidak dapat dibawa serta ke kantor polisi atau Dishub.

Dari jawaban-jawabannya, aku menebak, polisi atau petugas Dishub yang diajak bicara tidak bersedia membantu apabila tidak ada mobilnya. Mungkin, petugas itu tidak mau terlalu beresiko. Tapi, setahuku, memang sudah aturannya apabila mobil harus ada saat masa perpanjangan surat, baik KIR atau STNK. Ini untuk kepentingan tes fisik kendaraan itu.

Berkali-kali dia memastikan bisa dibantu oleh petugas itu atau tidak. Namun, sepertinya tetap tidak bisa.

Lalu, tetangga ini menelpon kembali petugas lain dengan menanyakan kasus yang sama. Aku mikir-mikir, yang namanya calo, tentunya temannya banyak. Kalau yang satu tidak bisa menolong mempersingkat jalur formal, ada pilihan teman lainnya.

Teman tetanggaku yang ditelpun ke dua itu sepertinya bisa memberikan bantuan untuk menyiasati aturan. Terdengar nada gembira dari suara bapak-bapak berambut putih dan perut buncit itu. Berkali-kali dia mengucap terima kasih.

Aku sering memperhatikan kegiatan orang asal Padang ini. Misalnya saat aku mengeluarkan sepeda motor untuk berangkat kerja, dia sedang duduk di bangku kayu warung nasi miliknya. Di sana, dia sedang membuka-buka STNK titipan orang untuk diperpanjang usianya. Dia mengurut-urutkan KTP dan macam-macam kertas untuk persyaratan datang ke kantor polisi.

Malah suatu hari, dia pernah mengeluh padaku mengenai STNK yang dimintakan tolong kepadanya ternyata sudah mati sejak lima tahun lalu. "Ini nanti kena berapa biayanya," katanya sambil geleng-geleng kepala.

Aku sempat penasaran juga saat itu. Tapi, aku sih yakin, bapak itu bisa menyiasatinya. Toh, dia punya banyak koneksi polisi yang bisa diajak kerjasama. "Ini bisa sih dihidupin lagi," katanya sambil menghisap rokok klobot.

Itulah pekerjaan tetanggaku. Tiap hari mondar-mandor ke kantor polisi untuk urusan membantu masyarakat yang tidak mau terlalu pusing dengan prosedur. Jasa seperti itu, sampai kapanpun pasti tetap eksis. Orang malas butuh jalan pintas, calo mampu memberikannya. Soalnya ada polisi yang juga butuh uang kontan dari hasil kerjasama dengan calo itu.

Hanya saja ada satu pertanyaan yang selalu kutunda untuk tak sampaikan ke dia. Yaitu penghasilan.

Aku punya cerita sewaktu masih meliput di Kota Bekasi. Aku yakin seyakinnya, disiplin apapun yang diterapkan pimpinan polisi, tidak akan terlalu mengena di bawah. Soalnya ini menyangkut uang tunai.

Saat itu, di Polrestro Bekasi. Calo perpanjangan SIM bukan hanya orang sipil, melainkan polisi juga. Sudah seperti kantor polisi tanpa disiplin, petugas dengan mengenakan seragam merayu-rayu menawarkan jasa kepada hampir semua orang yang hendak ke polres.

Tak terkecuali aku. Padahal, tiap hari aku datang ke sana untuk liputan. Mungkin, polisi itu lupa sama mukaku. Tapi, masa tiap hari lupa.

Suatu hari, awal-awal pergantian kapolres, ada kegiatan penertiban calo. Yang melakukan operasi ya petugas dari polres sendiri. Aku yakin, antara calo dan petugas saling mengenal. Namanya tiap hari di lingkungan yang sama. Nah, nasib salah satu polisi pelupa tadi lagi sial. Dia tertangkap tangan sedang nyalo.

Aku tidak tahu apa sanksinya setelah itu. Tapi, secara tidak sengaja aku melewati taman menuju ruang tunggu SIM, ada anggota polisi yang selalu lupa sama aku itu sedang berendam di kolam depan kantor polisi.

Anehnya, dia masih berseragam lengkap. Dia duduk seperti ayam mengerami telur. Dia mengerami air kolam yang keruh itu. Mukanya merah dan seperti hendak menangis saat melihatku.

Singkat cerita, komandan PM bilang, pihaknya memberikan hukuman kepada polisi yang nyalo dengan merendamnya di air kolam.

Paksa Saja Untuk Menulis

Baru saja aku mendapatkan suntikan dari Arif, temanku yang mengajar Filsafat di UGM, tentang bagaimana membudayakan menulis. Kegiatan ini sebenarnya tidak sulit-sulit amat. Yang penting adalah disiplin melatih diri. Disiplin memberikan waktu untuk melatih tangan ini memegang pena dan menulis.

Dari pengalaman temanku ini dalam hal menulis, ternyata menulis itu seperti berlatih berenang. Makin sering kita melibatkan diri dengan air, terbuka peluang untuk mampu mengambang sambil bergerak. Melatih menulis, seperti halnya melatih kita berenang.

Seperti juga sudah kuceritakan tentang rahasia berlatih menulis adalah tabrak rambu-rambu, etika, struktur dan macam-macam yang mengatur penulisan.

Kata si Arif, latihan menulis itu tidak memerlukan menghafal teori-teori. Tapi, paksa diri untuk latihan mengungkapkan apapun yang ada di kepala.

Lalu, kalau berbicara soal kualitas menulis, aku berani mengatakan bahwa pada level itu, orang mesti melewati proses dulu. Prosesnya adalah berlatih. Semua penulis yang baik, pasti melewati proses. Melewati masa-masa sulit.

Aku jadi berpikir-pikir. Mengapa orang-orang begitu mudah membuat kalimat-kalimat percakapan saat chatting. Bukankah sebenarnya hampir semua orang bisa melakukannya. Bisa menulis. Chatting, kalau kita sadari, sebenarnya media melatih penulisan.

Prinsipnya adalah, belajar mengeluarkan sampah dalam otak. Bayangkan,kalau kata-kata dalam percakapan online itu kemudian kita susun. Bukankah itu menjadi semacam cerita dalam bentuk dialog. Itu sangat menarik.

Saturday, May 24, 2008

Akhirnya harga BBM Naik Juga

Berkali-kali tetanggaku bilang bahwa harga BBM sudah naik. Dia berbicara dengan tetangganya yang kebetulan melintas. Aku tidak tahu apakah ungkapan itu sebenarnya senang dengan realita kenaikan, atau tidak. Atau mungkin sudah putus asa sehingga mengungkapkan kenaikan itu dengan pasrah..

Iya. Beberapa saat lalu, para menteri kabinet indonesia bersatu secara resmi mengumumkan kenaikan harga BBM. Aku mengetahuinya dari stasiun tivi saat nongkrong di kafe TIM. Ada Menteri Srimulyani, Aburizal Bakrie dan lainnya. Berita ini pasti menjadi sorotan seluruh masyarakat di Indonesia saat itu. Apa yang ditunggu-tunggu, akhirnya terjadi. Apa yang tidak diharapkan akhirnya harus diterima.

Tulisan ini tidak ingin mengulas tentang dampak positif dan negatif dari kenaikan itu. Aku ingin lebih melihatnya dari sisi belajar melihat proses kebijakan pemerintahan SBY ini diputuskan.

Apabila kita mengingat, pada pertengahan April lalu, pemerintah telah memberikan tanda-tanda akan adanya kenaikan harga BBM ini. AKu ingat, informasi mengenai rencana ini sempat disanggah beberapa kali pihak pemerintah.

Aku berpikir, sanggahan itu pasti bukan untuk betul-betul membantah bocoran informasi ini. Sebaliknya, sebagai ancang-ancang bagi pemerintah untuk kebijakan lebih lanjut. Pengampu negeri ini ingin memancing reaksi lebih banyak dari masyarakat terlebih dahulu.

Ternyata setelah itu, mulailah reaksi dari berbagai kalangan. Pengamat ekonomi, politik, sosial, pendidikan, psikologi, anggota DPR dan lainnya mulai memberikan argumentasi. Benar juga. Setelah ada reaksi yang panjang, pemerintah bergerak.

Setelah itu, pemerintah membenarkan rencana kenaikan. Nah, inilah yang kumaksud. Sebenarnya kabinet hanya ingin mendapat masukan-masukan. Toh, sesungguhnya kenaikan itu sudah merupakan agenda yang memang akan dilakukan apapun resikonya.

Argumentasi alternatif yang diungkapkan para pakar, kritikus itu memang bagian dari rencana yang diharapkan. Soalnya, hal itu akan menjadi masukan selama proses komunikasi politik berlangsung. Pemerintah tidak "marah" dengan munculnya kritik atau kecaman. Sebab, seperti itulah proses komunikasi. Bagian dari skenario.

Input yang muncul ternyata tidak hanya melalui perang opini di media massa, melainkan dalam bentuk aksi massa, Berhari-hari menjelang sepekan pengumuman, di sejumlah daerah, utamanya ibu kota digelar aksi unjuk rasa. Mereka menentang rencana kenaikan harga BBM yang akan ditempuh pemerintah Presiden SBY. Kemudian menurunkan harga kebutuhan pokok.

Media massa membuat liputan khusus tentang kehidupan masyarakat yang pesimis. Nelayan, petani, pengusaha kecil, penumpang angkutan umum. Mereka dipihak yang dirugikan dengan kenaikan harga BBM. Bahkan, baru rencana naik saja, harga sejumlah barang dan jasa sudah diinaikkan oleh pengusaha.

Tentu saja iya. Jika harga BBM naik, harga kebutuhan pokok, pendidikan, tarif angkutan dan macam-acam akan mengikuti. Sementara penghasilan tidak mengikuti atau tidak sebanding.

Semua informasi kejadian-kejadian yang yang bersinggungan dengan kebijakan kenaikan ini memang diharapkan oleh pemerintah. Pemerintah akan menerimanya sebagai input. Input ini lalu digodok. Proses penggodokannya berjalan terus. Tapi, input itu tetap tidak dapat mengganggu gugat agenda kenaikan.

Out put dari penggodokan input itu ialah keputusan menaikkan harga itu sendiri. Dalam komunikasi politik, tidak ada proses yang lalu selesai setelah ada output atau hasil. Setelah ini pasti muncul gejolak-gejolak.

Gejolak yang mulai muncul sekarang adalah masyarakat pengguna transportasi mengeluh dengan tingkat kenaikan tarif angkutan yang dipatok pengusaha. Meningkatnya jumlah angka kasus bunuh diri akibat tindihan ekonomi. Angka putus sekolah akan meningkat. Nelayan tidak bisa melaut karena tidak bisa lagi membeli solar. Dan macam-macam lagi.

Gejolak yang datang ini cara kerjanya seperti tadi. Gelombang ini akan menjadi input kembali. Input-Proses-Out put. Lalu in put-proses-output dan seterusnya.

Nanti, apa yang pernah dikatakan oleh tetanggaku tadi, akan selalu ditemui dimasa-masa mendatang menjelang kebijakan kenaikan harga BBM dan kebutuhan lainnya. Kata tetanggaku tadi, kenaikan harga BBM 2005 yang lalu, masyarakat juga mengalami hal seperti sekarang.

Akurasi dan Gaya Jam Tangan

Aku punya jam tangan merk Rolex hadiah dari pamanku. Tapi, kata paman, sepertinya ada satu masalah mendasar dari jam ini. Yaitu, masalah akurasi. Walah, kalau jam yang merupakan jaminan untuk mengukur waktu sudah tidak akurat, bagaimana? Bukankah fungsi jam adalah untuk memastikan waktu. Ini nanti terkait dengan agenda, rencana, dan yang menyangkut jam kerja dan sebagainya.

Jam ini memang klasik. Dia tidak menggunakan energi batrei seperti halnya jam tangan konvensional lainnya. Tapi sistem operasinya otomatis. Kusebut demikian karena jam ini bisa berfungsi kalau digerak-gerakkan terlebih dulu. Maksudku, misalnya jam ini aku simpan di lemari dalam rentang waktu tertentu, mesinnya tidak berputar alias mati.

Nah, kalau mau kupakai, dia harus kugerak-gerakkan dulu supaya hidup lagi. keistimewaanya lagi, akurasi waktunya harus kucocokkan kembali tiap kali ingin kupakai. Jadi, tiap hari aku mesti mencocokkan jam. Capek deh. Tapi, ya itulah jam baru milikku ini.

Lantas aku jadi berpikir-pikir. Sebenarnya fungsi jam ini lebih tepatnya bukan untuk jaminan untuk dapat mengukur waktu. Melainkan, untuk pajangan di tangan belaka. Betapa tidak, karena tiap kali ingin memakainya, aku mesti mencocokkan dulu. Jam ini akan berhenti berputar kalau tidak bergerak.

Istirahat Itu Tuntutan

Kadang-kadang pas hari libur, aku merasa tersiksa sendirian. Setelah tak pikir-pikir, ternyata yang menyebabkannya ialah takut menghadapi waktu masuk kerja yang sudah dekat. Rasa-rasanya, kesempatan menikmati liburan itu terlalu singkat. Bekerja, bekerja dan bekerja lagi. Rasanya sudah seperti robot yang diprogram untuk menuhi kebutuhan majikan.

Libur kerja adalah kenikmatan yang tiada banding. Bisa malas-malasan. Yang intinya merefresh fisik dan pikiran setelah seminggu tegang di kantor. Makanya, masa liburan yang kumiliki hari ini, aku manfaatkan betul untuk berbaring berlama-lama di kasur. Rasanya malas untuk mengakhirinya dengan beranjak mandi. Soalnya setelah mandi, badan jadi segar. Jadi trauma. Karena mandi pagi identik dengan ingin berangkat kerja.

Enak sekali liburan. Aku punya seorang paman yang bekerja di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara. Tiap hari berangkat dari rumah menuju tempat kerja jam 5.30 WIB. Kadang malah dia itu sepertinya tidak mandi dulu dan melakukannya sesampai di kantor. Kemudian, dia pulang secara rutin di atas jam 18.00 WIB. Dia punya waktu libur dua hari, Sabtu dan Minggu.

Tapi, omku itu bukan orang yang suka istirahat. Seingatku, dia tidak pernah memanfaatkan libur itu dengan baik. Hari Sabtu, dia gunakan untuk lembur kerja, meskipun setengah hari. Malamnya, dia pasti begadang dengan tetangga di poskamling. Minggunya masih juga dipakai untuk bekerja. Ada saja pekerjaan yang digarap pamanku ini. Lalu, Senin pagi, dia kelihatan loyo untuk berangkat kerja.

Gila bener, pikirku. Aku mikir-mikir bagaimana hasil pekerjaan orang yang tidak mau memanfaatkan waktu istirahatnya semacam pamanku itu. Pasti pekerjaanya tidak maksimal. Cenderung asal memenuhi target. Pasti hasilnya tidak sebagus seandainya dia bersedia memanfaatkan istirahat body kala liburan. Bukankah, fisik perlu di refresh supaya normal.

Sebenarnya sama juga dengan pengalamanku. Dulu, sewaktu masih menjadi koresponden media Tempo untuk di daerah Bekasi, aku juga sama sekali tidak mau memanfaatkan waktu istirahat. Aku bahkan sudah menghapus, hari libur.

Kalau Sabtu aku pasti di warnet, kadang nongkrong di ruangan wartawan polres, kadang duduk di warung kopi bareng teman-temanku wartawan kriminal. Biasanya itu dilakukan sejak pagi. Sampai Sabtu malam, aku tidak pulang. Nongkrong sampai badanku lemes. Pulang baru di atas jam 24.00 WIB. Tapi, seringnya tidak pulang. Kalau tidak pulang, tidur sebentar di sofa ruang wartawan atau bangku kayu warung kopi depan polres.

Minggu pagi aku kembali melakukan sebagaimana kulakukan hari Sabtu itu. Duduk, ngobrol, kalau ada peristiwa kriminal, naik motor untuk mengejarnya. Itu juga selalu kulakukan pada Senin-Jumat.

Tidak ada waktu istirahat yang nyaman. Pikiranku hanya bagaimana menghasilkan berita yang bagus. Setelah, lama sekali. Enam tahun kemudian, aku sadar, seandainya waktu itu aku mau istirahat saat libur. Tenang dan tidak memikirkan pekerjaan terus, pasti aku sehat. Kalau sehat, hasil pekerjaanku pasti maksimal. Bekerja penuh semangat.

Hanya saja, kesadaran seperti itu belum menjadi perhatian. Himpitan ekonomi, mengejar setoran, memaksa orang untuk melakukannya. Bahkan, pamanku sampai sekarang cuek saja kalau aku mengingatkan soal pentingnya memanfaatkan waktu istirahat. Teman-temanku wartawan di daerah, malah menertawakanku apabila aku jelaskan pentingnya istirahat.

Nah, sekarang ini. Aku sudah menyadari kesehatan badan. Aku malah jadi malas saat hari pertama kerja.

Tabrak Rambu-Rambu Penulisan

Memutuskan tema tulisan yang akan digarap kadangkala merupakan hambatan terbesar. Malahan, orang terbengong-bengong sampai memakan waktu yang lama untuk mengerucutkan masalah apa yang menarik untuk ditulis pada baris naskah pertama.

Biasanya kalau sudah begitu, aku memaksakan jariku untuk mengetik tulisan apa saja. Mulai dari kesulitanku sendiri yang menjadi tulisan pertamaku. Aku berusaha menumpahkan apa-apa yang ringan saat itu. Kalau ini berhasil sampai pada satu kalimat, aku berarti sudah memulai.

Meskipun sudah bisa mengeluarkannya, kadangkala aku berpikir-pikir mengenai hasil tulisan pertama itu. Seringkali aku tidak puas dengan pengkalimatannya. Rasanya, apabila menulis sekedar menuangkan apa yang terlintas di otak, kok hanya sia-sia saja. Buat apa kalau jadinya jelek dan tidak berguna.

Kalau sudah punya pikiran begitu, aku ingin berhenti sampai menemukan hal yang sangat menarik. Hal yang berguna. Hanya masalahnya, apa itu? apa yang berguna itu?

Toh ternyata setelah kupertimbangkan masak-masak. Menunggu sampai datangnya ide cemerlang buat bahan tulisan itu, sebenarnya sia-sia. Tidak ada hasilnya dan mubazir berpikir terlalu lama. Jadi lebih baik, menuliskan apapun yang terlintas dan itu malah sebenarnya sedang melatihku untuk melancarkan latihan menulis.

Menuliskan hal-hal yang mengambat pelatihan, aku buat menjadi bahan tulisan yang menarik. Hal semacam ini, aku pikirkan sebagai pengalaman yang menarik untuk diketahui. Aku menjadi tahu, apa sih yang sebenarnya menghambatku.

Seperti sudah pernah kuceritakan dalam konsep latihan menulis bebas. Proses penulisan merupakan sumber ide yang baik untuk menulis. Justru pengalaman yang berhasil kuidentifikasi semacam ini, menjadi bahan pembelajaranku di masa mendatang. Maka, jangan pernah berhenti menulis. Menulislah dengan hati nuranimu. Ikuti saja hati nurani hendak ke mana dia melangkah.

Aku menulis dari bahan yang kuperoleh dari apa-apa yang menghambatku menulis. Menuliskan hambatan-hambatan penulisan sebenarnya membantu membuka cakrawala tentang menulis itu sendiri.

Sampai pada kata ini, aku tidak tahu tema menarik apa yang akan kutulis, kecuali ketidaktahuanku itu sendiri yang menjadi tulisanku. Ketidaktahuan itu bagiku sumber yang tidak akan habis-habisnya untuk dituliskan. Rasanya, kok, lama-lama ini mbulet ini tulisanku. Dalam hati, aku tertawa. Menertawakan kenekadanku ini.

Entahlah. Yang jelas, sekarang aku tidak peduli kepada siapapun yang akan membaca catatan ini. Mungkin anda akan tertawa membaca ini. Aku tidak peduli. Yang penting aku berhasil mengeluarkan uneg-uneg ini. Hayoo. nulis, nulis, nulislah diriku. Begitulah aku menyemangati diri. Nanti ini kuposting di blogku.

Ngomong-ngomong, aku jadi mengingat isi blog milik temanku. Beberapa blog yang kuikuti sepertinya tidak pernah diisi dengan rutin. Aku tidak pernah bertanya mengapa demikian. Tapi aku menebak, pasti mereka tidak percaya diri untuk menulis. Mereka pasti berpikir, tulisan di blognya harus bagus-bagus. Mereka berpikir, isi tulisan yang dipublikasikan di blog harus layak baca.

Nah, untuk mendapatkan kepuasan atau untuk memenuhi kebutuhan kepercayaan diri itu, biasanya mereka menunggu sampai punya gagasan terbaik untuk dituliskan. Aku pernah menantang temanku untuk lebih produktiv menulis di blog. Tapi, hal itu tidak ditanggapi. Dan dia juga sampai berhari-hari, bahkan berminggu-minggu tidak menulis di blognya.

Aku jadi berpikir bahwa mengapa mereka tidak terus menulis. Blog bukan untuk posting tulisan yang harus selalu berbentuk tulisan yang canggih. Tapi, untuk melatih menulis. Melatih kepercayaan diri dan melatih menggali ide-ide diri sendiri.

Aku mempertanyakan, mengapa tidak terus melatih disiplin menulis. Kalau harus menunggu matang, tahun berapa lagi akan terealisasi. Daripada menunggu, masa tunggu itu mestinya dimaksimalkan untuk menulis. Latihan dan latihan. Jangan menggunakan aturan yang justru mengekang. Tabrak saja etika dan macam-macam dalam syarat-syarat penulisan.

Kemalasan Juga Bisa Buat Latihan

Hari ini hari liburku. Besuk juga liburku. Baru besuk malam, aku masuk. Minggu siang libur. Lalu minggu malam masuk lagi. Di redaksiku, cara kerja seperti itu, disebut piket malam. Lamanya sepekan. Jadi, aku harus tiap malam begadang sampai pagi di kantor.

Piket malam ini tugasnya memposting berita-berita malam. biar pembaca mediaku tidak kecewa apabila ingin membaca berita-berita kejadia di malam hari. Memang konsepnya begitu. Pembaca malam harus diberikan pelayanan informasi. Namanya saja ini bisnis media, ya yang dijual macam-macam info kepada pembaca.

Karena aku libur, aku malas-malasan bangun. Meski aku tidak tidur, aku tetap memilih berbaring saja di kasur kamar kosku. Ada bantal. Ada guling. Ada buku-buku pengetahuan. Mereka itu temanku yang selama ini kutinggal apabila siang hari. Sebab, kalau siang aku mesti bekerja.

Di hari libur ini, aku ingin lebih mendekat ke teman-temanku itu. Ingin melepaskan kerinduanku membaca buku di siang hari, mendindih kasur siang hari dan persetan dengan pekerjaan di siang hari. Yang penting, aku santai sekarang.

Rasanya sekarang ini aku orang yang paling bebas. Bebas dari tuntutan pekerjaan dan lainnya. Aku mendengar orang-orang di luar sana. Mereka sedang bekerja keras. Mereka tidak libur seperti aku pada hari ini. Pilot pesawat yang terdengar dari sini sampai tukang roti yang membawa sepeda motor bekerja dengan giat. Sementara, aku libur.

Aku mengambil kaca dan melihat wajahku sendiri. Ingin membandingkan perbedaan raut muka saat bekerja dan berlibur. Sepertinya berbeda. Aku nampak lebih ngantukkan sekarang. Lebih males-malesan. Yang membikin malas ialah penerangan kamarku yang kuredupkan, pakaianku simpel dan tidak perlu mandi.

Kalau sedang bekerja, aku tegang. yang membuat tegang adalah aku mengenakan sepatu, pakaian rapi dan lingkungan.

Ya sudah. Hari ini aku libur. Aku tidak akan membaca koran hari ini. Aku tidak peduli apa yang akan Presiden SBY putuskan. Tidak peduli anggota DPR membuat kebijakan. Tidak peduli para hakim memvonis. Tidak peduli dengan pengusaha membangun rumah di lahan basah. Aku hanya peduli dengan malas-malasan ini. Peduli dengan bantal guling dan temanku buku.

Thursday, May 22, 2008

Satu Gaya Wawancara Presiden

Betul. Setelah sampai di tempat yang telah ditentukan dan menunggu beberapa saat, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono datang. Seperti biasa, dia dikawal oleh penjaga yang bersikap tidak familiar. Penjagaan semacam ini seakan ingin menjawab pertanyaan bahwa presiden tidak aman. Mungkin, sudut pandang penjaga, wartawan adalah ancaman bagi keselamatan presiden.

Pada kesempatan itu, Yudhoyono memberikan keterangan bahwa pada pukul 9.00 WIB tadi, Sekretaris Jenderal PBB Ban Ki Moon menelpon dirinya. Ada dua isu internasional yang mereka bicarakan. Mengenai kelanjutan hasil yang telah dicapai dalam konferensi perubahan iklim lalu. Kemudian, perkembangan demokrasi di Myanmar.

Sekarang ini Indonesia sudah amat maju. Dunia internasional memperhitungkan keberadaan negara yang sudah lima kali mengalami pergantian kepemimpinan ini. Bali dipilih menjadi tuan rumah. Tempat ini dipilih karena memiliki kelebihan ke-eksotis-an. Separuh lebih negara di dunia, menghadiri konferensi ini.

Pendapat-pendapat dari Indonesia menjadi bahan pertimbangan Perserikatan Bangsa Bangsa. Rekomendasi dari Indonesia menjadi acuan untuk perubahan iklim masa depan. Ini amat luar biasa kemajuan yang telah dicapai. Jaman penjajahan dulu, tentunya pribumi tidak merasakan pencapaian seperti sekarang ini.

Baik. Aku mau menceritakan bagaimana jalannya wawancara langsung dengan presiden di lobi kantor presiden itu. Yudhoyono berdiri dengan didampingi kedua juru bicara. Di sebelah kiri ada Dino Pati Jalal dan kanan Andi Malarangeng.

Sedangkan juru kamera mengambil posisi berhadapan dengan presiden. Sementara wartawan yang memegang tape recorder berjongkok di depan presiden.

Aku membayangkan, ini seperti jaman feodal. Di mana rakyat dipaksa bergelesotan di tanah saat raja datang. Begitu juga dengan wartawan ini, diatur-atur memberi kesan seragam dihadapan presiden.

Presiden berbicara amat panjang. Isi pembicaraannya mengenai pujian, permintaan dan pendapat kepada Ban Ki Moon saat berbincang melalui telepon itu. Karena terlalu panjang lebar, aku sempat berpikir, presiden tidak mengenal situasi saat itu.

Mestinya dia memahami bahwa pada saat berlangsung wawancara itu dirinya sedang tidak di mimbar pidato. Tapi, sedang berdiri. Banyak wartawan yang tidak kuat menahan beban di tangan yang membawa alat-alat rekaman. Apalagi posisi wartawan diatur duduk berjongkok di kaki presiden.

Tiga puluh menit pun lewat. Lega rasanya setelah wawancara yang posisinya tidak seimbang itu selesai. Para wartawan langsung mengerjakan tugasnya. Wartawan yang bekerja untuk media cetak, online seperti aku dan radio mentranskrip isi tape recorder. Sedangkan wartawan tivi duduk dan ngrumpi karena mereka tidak perlu cepat-cepat membuat naskah.

Tidak Baik Mahal Biayanya

Untuk melakukan hal yang tidak baik biayanya lebih mahal daripada berbuat baik.

Herbert

Nostalgia

Kemarin, ada kejutan. Aku dan nenekku bisa ngobrol lagi. Kami ngobrol lewat telpun. Sudah lama sekali kami tidak bercakap-cakap. Mungkin sudah empat tahun. Nenekku bertanya seperti sedang menginterogasi dan aku memakluminya. Keingintahuan perkembangan pencapaian cucunya pasti melebihi apapun di dunia ini.

Aku ceritakan tentang kemajuan yang sudah kuperoleh. Dan aku katakan apa saja alasanku tidak menelpunnya selama ini.

Aku senang sekali saat itu. Nenekku mencoba mengajakku ke masa lalu. Misalnya diceritakan tentang kebiasaan-kebiasaanku semasa kecil. Yang bandel dan nakal. Aku terseret sebentar ke jaman dulu.

Jaman ketika aku masih hidup bersama dengan dia di kampung. Tiap hari aku makan masakannya yang sederhana dan bersih, mencari rumput buat kambing nenekku yang jumlahnya banyak sekali. Berenang di sungai, mencuri uang nenekku dan lain sebagainya.

Tapi, sekarang umurku sudah 28 tahun. Hampir semuanya sudah berubah. Cara bercakap-cakap kami juga sudah berubah. Cara berpikir berubah. Mungkin akan sulit mengulang masa itu lagi.

Nenekku sekarang masih seperti dulu. Memelihara kambing yang jumlahnya makin banyak. Mencari rumput dan bergotong royong membungkus tempe dengan embah-embahku yang lain. Mungkin cara berpikir dan pengetahuannya masih seperti dulu. Dia tidak banyak terlalu terlibat modernisasi. Modernitas tidak berdampak pada orang seperti nenekku.

Yang ada dalam pikiran embahku mungkin begini. Hidup saling bertetangga, membantu sesama tanpa mengharakpkan pembayaran, semuanya sukarela. Senang susah yang penting bisa saling membantu satu sama lain. Sederhana dan mendalam cara pandang nenekku.

Mau mencari filsafat hidup seperti itu di Jakarta. Tidak mungkin. Sulit menemukannya. Maka, beruntunglah nenekku menetap seumur-umur di kampung halaman. Tidak perlu berlomba-lomba mencari laba, tidak perlu bersaing mengejar karier, tidak memikirkan hak gaji, hak kesehatan, hak libur. Sebab, semuanya diatur sendiri.

Nenek membuatku iri. Meskipun aku tahu, wawasanya tentang ilmu pengetahuan lebih sempit dibandingkan kami di Jakarta. Misalnya, dalam hal melihat peluang-peluang pekerjaan, peluang nasib dan sebagainya.

Tapi, nenek tetap eksis hingga kini.

Bukan Hanya Agamaku Saja

Saat di parkiran sepeda motor baru-baru ini, aku berhenti sebentar untuk dapat mendengarkan ceramah seorang tokoh agama di tempat ibadah yang tidak jauh dari lokasi. Karena menggunakan pengeras suara, suara tokoh itu terdengar keras betul.

Dia berbicara dengan dasar pemahaman sendiri tentang agama. Dia membuat penilaian-penilaian atas hakikat Tuhan bagi penganut agama di luar agamanya. Tokoh ini mengutip ayat suci yang pernah dibacanya. Lalu mengatakan bahwa Tuhan itu itu tidak beranak dan diperanakkan.

Dia mengejek keyakinan umat lain yang mempercayai bahwa bahwa Isa adalah anak Allah. Dia menertawakan umat lain yang mempercayai adanya Yesus. Dia menganggap kaidah agama yang percaya hal ini rendah. Rendah di bawah agamanya.

Dari khobahnya, tokoh agama ini berusaha mempengaruhi jamaah agar ikut-ikut merendahkan umat agama lain. Yang benar satu-satunya hanya agamanya, dan tidak ada kebenaran lain, selain kebenaran dari apa yang dihaminya.

Sepanjang perjalanan pulang, aku berpikir tentang orang yang menurut pikiranku, berbicara terlalu provokativ. Betapa terbatas dan tidak pernah membaca buku-buku yang baik dia. Dia hanya seperti katak dalam tempurung. Tidak dapat memahami tentang kebenaran menurut agama lain.

Aku berpikir, cara melihat seperti itulah yang membuat negara ini terus berkonflik. Negara ini terus memelihara permusuhan. Ya itu, peran tokoh masyarakat semacam itu yang berbahaya. Sedikit pengetahuan dan buta terhadap kenyataan bahwa ada agama lain, ada keyakinan lain, ada dunia lain.

Hasil Nyata

"Kepemimpinan itu didefinisikan dengan hasil nyata, bukan hal-hal atributif."

Peter F Drucker, Pakar Motivasi

Monday, May 19, 2008

Selalu Ada Cara Latihan Menulis

Ada satu hal mengenai orang yang bekerja di media online yang menarik untuk dicermati. Yakni, tuntutan untuk membuat laporan cepat. Untuk menyiasati kecepatan ini, umumnya media online di Indonesia meminta wartawan melaporkan data dalam bentuk mentah.

Istilah mentah ini dipakai karena data itu betul-betul masih belum di olah. Sepotong-potong dan perlu disusun kembali oleh redaktur.

Hal semacam ini, bagiku ada unsur rugi dan untungnya. Untungnya, informasi jadi cepat dipublikasi. Sesuai dengan konsep media online di Indonesia. Cepat dan tidak apa-apa tidak lengkap.

Ruginya, wartawan jadi kebiasaan tidak menulis laporan. Lama kelamaan, dia tidak berkembang dalam bidang penulisan.

Di bawah ini, contoh salah satu laporan yang kuterima dari wartawan di daerah. Dia melaporkan sepotong-potong dan belum tersusun.

Selama tiga hari terakhir pasokan BBM di sejumlah SPBU di Lampung terhambat. Bahkan hari Sabtu, stok BBM habis. Kemudian kosong dan sempat terjadi kekosongan selama 25 jam. Kekosongan ini yang menyebabkan antrian semakin panjang di hari Minggu hingga Senin pagi.

Sementara di tingkat eceran harga BBM berada antara 7.000-12000. sejak Sabtu. Tadinya 5.000. Kami 5.500, Sabtu 7.000. Kabupaten Tulang Bawang, Lampung Barat, Tanggamus (12 ribu).

Kini pasokan SPBU bukan hanya dikurangi 50 persen, tapi tiba dalam jumlah dan waktu yang tidak tentu,” katanya.

Mereka rata-rata menggunakan motor, dan tangki mobil.

Menyiasati supaya dapat bensin di SPBU, eceran pakai mobil dan motor dnanti disedot lagi.

Sampai jam delapan sejak kemarin sore.

Kemudian, ini aku susun menjadi laporan berita yang siap muat


Sebagian Besar SPBU di Lampung Belum Beroperasi

LAMPUNG – Sebagian besar Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) di Lampung belum dapat melayani kebutuhan pemilik kendaraan bermotor sejak Minggu (18/5) kemarin, hingga Senin (19/5/2008) sekira pukul 09.30 WIB.

“Belakangan ini, pasokan BBM tidak hanya dikurangi 50 persen, tetapi kiriman ke SPBU juga tidak tentu, baik waktunya maupun jumlahnya kirimannya,” kata seorang pengelola SPBU di Jalan Pramuka, Lampung kepada okezone.

Penumpukan kendaraan untuk mendapatkan bahan bakar di berbagai SPBU di Lampung, terjadi sejak Sabtu (17/5) lalu. Akhir pekan lalu, stok BBM Lampung sempat dinyatakan mengalami kekosongan.

Hari ini, para pemilik kendaraan memilih untuk mengantri. Sebab, sebelumnya mendapatkan informasi bahwa siang ini, SPBU akan mendapatkan pasokan BBM sehingga pelayanan kembali normal.

Di Kotamadya Metro misalnya, antrean kendaraan mencapai sepanjang sekira dua kilometer.


Aku selalu menekankan kepada teman-temanku untuk terus melatih diri menulis. Aku memahami sulitnya latihan menulis untuk wartawan di media online seperti ini. Tapi, bukan berarti tidak bisa. Bisa saja disiasati. Membuat feature atau untuk tulisan yang tidak terlalu penting sekali, mesti digunakan sebagai bahan latiihan menulis.

Aku tidak percaya kalau ada yang bilang, tidak punya waktu latihan karena selalu dikejar-kejar redaktur untuk laporan. Memang itu betul dikejar-kejar, tapi tidak semua bahan dikejar. Nah, bahan yang tidak dikejar ini mesti dijadikan latihan untuk menulis. Pelan-pelan dan secara terus menerus.

Surat Panggilan Polisi (1)

Aku menerima dua surat panggilan dari Polda Metro Jaya. Panggilan itu terkait adanya pihak yang merasa difitnah dan dicemarkan nama baiknya setelah membaca laporan tulisanku. Lalu yang bersangkutan melaporkan ke polisi. Dia menggugat narasumber yang kukutip pernyataannya.

Dalam hal ini, aku dipanggil untuk diperiksa sebagai saksi dalam kasus itu. Jadwal pemeriksaannya pada Rabu 21 Mei nanti.

Ada beberapa catatan yang menarik di sini. Berita itu dimuat pada akhir 2007 lalu. Pihak pelapor sudah memasukkan kasus ini ke Polda Metro Jaya akhir tahun itu juga. Surat pertama, belakangan aku tahu, ternyata pernah diterima oleh redaktur pelaksanaku. Tapi, surat itu tidak direspon.

Belakangan aku tahu alasan surat itu tidak ditanggapi, kata redpelku, laporanku boleh dijadikan barang bukti oleh polisi untuk pemerkaraan kasus ini. Tapi, aku tidak perlu datang memenuhi pemeriksaan. Berita media umumnya selalu menyalahkan orang dan menuding orang atau lembaga.

Kalau kemudian, mereka menggugat dan menjadikan wartawan sebagai saksi, berarti tiap hari wartawan akan selalu datang ke kantor polisi dan berurusan dengan hukum. Dalam UU Pers, kata redakturku, wartawan memiliki hak tolak untuk diperiksa sebagai saksi. Jadi, aku memang tidak perlu datang.

Hanya saja, salahnya saat itu, redaktur tidak memberikan tanggapan berupa penolakan diperiksa di kantor polisi. Waktu terus berjalan.

Pertengahan 2008 ini, Polda Metro Jaya kembali melayangkan surat panggilan. Aku mulai memikirkan itu secara serius. Aku minta pemimpin redaksiku untuk menanggapi hal ini. Kalau memang aku harus tidak datang, ya, harus mengirimkan surat penolakan. Sebaliknya, kalau aku harus datang, ya, harus diputuskan dalam rapat redaksi dan mendukungku untuk memenuhi panggilan.

Dalam posisi seperti ini, aku terus mengungkit-ungkit masalah ini di kantor. Tujuannya, supaya ini menjadi pemikiran di redaksi, terutama redpel dan pemimpin redaksi. Supaya mereka tidak mencueki soal ini, seperti pada panggilan pertama itu.

Ada redaksi yang tidak mengerti aturan hukum dan hak jurnalis. Mereka biasanya tidak terlalu peduli dan menyerahkan pada wartawan. Ada temanku yang menjadi korban redaksi yang model seperti itu. Temanku mesti mengurus sendiri, padahal berita yang kemudian menjadi masalah itu, muncul karena keputusan redaksi juga.

Aku tidak menginginkan hal itu terjadi di redaksiku ini. Redaksi mesti ikut bertanggungjawab. Turun tangan kalau melihat wartawanya terkena masalah. Bukan hanya aku saja. Tapi ke depan. Ini mesti menjadi pengalaman buat nanti-nanti.

Singkat cerita, tadi pagi, pemimpin redaksiku rapat dengan para redpel di salah satu ruangan. Diputuskan, aku tidak perlu hadir. Dan redaksi secara resmi mengirimkan surat penolakan hadir dalam pemeriksaan.

Aku berharap, tidak terjadi sesuatu yang lebih serius setelah adanya penolakan ini.

Alam

”Earth is enough to satisfy every man’s need, but not every man’s greed.”

“Alam ini akan selalu mampu mencukupi kebutuhan makan bagi penghuninya, tetapi tidak mampu untuk mencukupi satu saja manusia yang rakus”


Mahatma Gandhi

Sunday, May 18, 2008

Dimulai Dengan Latihan Mengamati

Sebenarnya, tidak sulit melatih diri menulis. Hanya saja ada orang yang merasa ingin cepat-cepat mencapai tahapan tulisan layak muat di media massa. Itu penyakitnya. Atau kendala keinginan menulis yang langsung bertutur-tutur, bertarik-tarik dengan empuk. Susah kalau begitu. Itu bisa saja, hanya saja pasti membutuhkan waktu yang lama untuk mencapai tahapan tulisan yang lebih baik.

Misalnya begini, satu hari, sehabis membaca artikel tentang BBM yang ditulis Kwik Kian Gie di www.koraninternet.com, rasanya aku malah menjadi frustasi. Mengapa? Aku berpikir, bagaimana mungkin bisa menulis selengkap dan mendalam dan analisis seperti itu. Apa mungkin aku bisa seperti Pak Kwik. Duh, kalau mengingat-ingat itu, aku sedih. Mandeq.

Itulah salah satu sampah otak yang mengganggu keinginan kita mengembangkan tulisan. Berlatih disiplin menulis, sering terhambat oleh keinginan-keinginan macam itu. Pencapaian Pak Kwik adalah sebuah proses panjang. Pak Kwik tentunya memiliki cerita tersendiri bagaimana dia melatih dirinya sehingga dalam jangka waktu tertentu mencapai tahap seperti sekarang.

Aku ingin menceritakan bahwa proses latihan menulis itu bisa dimulai dari bahan tulisan apa saja. Intinya adalah melatih diri membiasakan menulis. Menulis secara otomatis dimulai dari pengamatan, pendengaran, membaca dan macam-macam. Dengan demikian, dia memiliki gambaran tentang apa sih yang menarik atau darimana memulai atau biarkan saja mengalir dengan sendirinya.

Suatu hari. Waktu itu Minggu. Aku mengendarai sepeda motor melintas di depan Istana Merdekat Jakarta. Di sana, aku melihat banyak orang-orang bersorban di trotoar. Ada yang berjalan-jalan, berfoto-foto dan berbincang-bincang. Semula, kupikir ini orang sedang mendukung penerbitan SKB pelarangan Ahmadiyah.

Di ujung trotoar, tepatnya di pojokan LKBN Antara, ada beberapa armada bus di tepi jalan. Rupanya, di depan bus itu ada ratusan orang bersorban dan berjilbab. Aku tidak turun dari motor, tapi sengaja menjalankan motor dengan pelan-pelan. Aku amati gerakan mereka. Rupanya mereka akan demonstrasi di Bundaran HI.

Ada yang membawa spanduk. Di spanduk itu tertulis asal perkumpulan mereka dan aspirasi mereka yang kemukakan. Mereka mengenakan pita warna-warni. Dan banyak yang tersenyum. Sungguh ini di luar dugaanku. Ini bukan kelompok muslim yang selama ini menantang-nantang sesama umat lainnya.

Singkat cerita, sampai di redaksi, aku menuliskan pengamatanku itu. Tidak ada wawancara dengan peserta demonstrasi. Tulisanku hanya berdasarkan fakta pengamatan saja. Di bawah ini hasilnya:

Muslim Suarakan Perdamaian di Bundaran HI

(Sabtu, 17 Mei 2008 - 09:13 wib)

Sedikit 800 muslim melakukan karnaval dengan tema perdamaian umat beragama, 'Karnaval Rahmatan Lil Alamin,' di sepanjang Jalan Thamrin-Sudirman, Jakarta, pada Sabtu (17/5/2008) pagi hingga siang.

Rute yang digunakan untuk menyuarakan perdamaian ini mulai dari Masjid Jami Al Fatah - Batu tulis XIV - Juanda III - Veteran - depan Istana Merdeka- Bundaran HI - Thamrin - Merdeka Selatan - Gambir - Masjid Istiqlal.

Menurut mengamatan okezone sekira pukul 9.00 WIB, mereka bergerak dari depan Istana Merdeka menuju Bundaran HI dengan berjalan kaki. Seluruh peserta karnaval itu mengenakan jubah putih. Di sebagian kepala para kaum wanita mengenakan pita warna-warni.

Muslim yang berasal dari Yayasan Al Idrisiyyah ini bergerak tertib di sepanjang bahu jalan. Petugas polisi ikut membantu menjaga ketertiban di sepanjang jalan itu. Sebagian peserta karnaval membentangkan spanduk. Tidak satupun tulisan dalam spanduk itu yang bernada provokasi, perpecahan, maupun penghinaan terhadap umat lainya. "

Salah bunyi tulisan di sana, adalah 'Islam memberikan kebebasan beriman dan berkeyakinan.' Di sisi lain spanduk yang mereka bawa mengatakan 'Yang beriman belum tentu konsisten dengan keimanannya, sedangkan yang kafir belum tentu konsisten dengan kekafirannya.'

Mereka merupakan perwakilan dari berbagai provinsi di tanah air. Diantaranya yang nampak dari pengamatan, Sumatra Selatan, Maluku.

Disiplin Membuang Sampah Otak

Aku ingin membuktikan bahwa kala pikiran buntu dan tidak ada yang menarik untuk dijadikan bahan tulisan, nyatanya tetap bisa bercerita. Sekarang contohnya, hehehe.. Teks ini kutulis saat aku sedang dalam titik nadir produktivitas. Melamun dan tidak menghasilkan pekerjaan kreatif sesuatupun.

Aku nongkrong di warnet. Warnet yang pernah menunjangku membuat laporan-laporan buat media tempat kerjaku, Koran Tempo, selama lima tahun. Duduk di pojok. Rasanya aku kembali lagi pada situasi saat itu. Beberapa tahun yang lalu. Sekarangpun, sebenarnya aku sangat capek dan entah bagaimana mengeluarkannya.

Ada sebuah kekuatan dahsyat di dalam kepala. Kekuatan itu adalah semangat ingin menjadi seorang yang mampu menulis dengan baik dan mendalam. Tulisan itu berarti berguna untuk mengembangkan imajinasi masyarakat, memberikan pemecahan dan sebagainya. Tentu saja itu menjadi cita-cita bagi semua yang ingin menulis.

Aku sadar bahwa untuk mencapai level itu tidak semudah membayangkannya. Bayanganku kadang-kadang ingin cepat-cepat sampai ke sana. Tetapi, faktanya dukungan-dukungan seperti mampu mengatur jalan pikiran, logika, bahasa dan ketenangan, belum kudapatkan.

Tapi, aku tahu, untuk mencapai jalan itu membutuhkan perjalanan. Proses. Segala sesuatu, terutama bidang menulis, bidang jurnalistik, dimulai dari tidak bisa menjadi agak bisa dan bisa. Menulis adalah sebuah keterampilan yang menunggu pengasahan dari yang bersangkutan. Begitu juga aku. Aku hanya membutuhkan disiplin berlatih menulis.

Aku percaya bahwa kapanpun, suasana apapun dan dimanapun, bisa untuk melatihnya. Seperti saat ini, kala sedang stress-stressnya, aku masih bisa menceritakan hal-hal yang menghambatku. Dengan cara seperti ini, sebenarnya aku sedang mempompa sekaligus melatihku membiasakan menulis.

Lihat saja, sekarang ini aku sudah mengetik berapa alenia, berapa karakter. Berhasil kan aku sampai di kata ini.

Aku tidak boleh menganggap latihanku sekarang ini. Seperti yang kutulis sekarang ini sebagai hal yang aneh, tidak berpanfaat dan konyol. Inilah proses berlatih. Proses mengalahkan hambatan keinginan menulis. Aku berhasil memuntahkan sampah-sampah pengganjal otakku.

Aku terdiam dan berpikir. Sempat berpikir bahwa apa yang kulakukan ini sebenarnya memang sia-sia. Menulis apa ini? Asal-asalan. Tapi, di sisi lain, aku sadar bahwa perasaan semacam itulah sampah itu. Sampah yang menghentikan orang untuk latihan. Kesombongan yang diciptakan oleh sistem pengajaran yang kuterima selama ini.

Sudah dulu ya. Aku berhasil menulis cerita sampahku selama beberapa menit.

Friday, May 16, 2008

Ujian

Ujian mengenai keberanian muncul jika Anda merupakan minoritas; sedangkan ujian mengenai toleransi muncul jika anda menjadi mayoritas.

(www.koraninternet.com)

Bangun

"Bangunlah pada pagi hari dengan sayap hati mengepak, dan bersyukurlah atas datangnya satu lembar hari yang penuh kasih."


Kahlil Gibran (1883-1931), Pujangga

Melihat BBM Naik Lagi

Harga minyak akan naik lagi. Kebijakan ini memang masih wacana, tapi reaksi masyarakat sudah semakin keras. Ini artinya memang dalam waktu dekat bakal betul-betul dinyatakan pemerintah SBY.

Aku ingat kuliah yang diajarkan dosen mata kuliah komunikasi politik. Dalam sistem politik ada dinamakan input dan output. Reaksi masyarakat menanggapi rencana kebijakan adalah input. Ini kemudian diproses oleh pemerintah. Mempertimbangkan aspirasi yang berkembang dari masyarakat.

Outputnya adalah pemerintah tetap menaikkan harga BBM 20 persen itu atau membatalkannya. Apapun kebijakan dari pemerintah itu namanya output yang dihasilkan dari pemrosesan input itu.

Output ini kemudian akan mendapat reaksi masyarakat lagi. Kembali lagi menjadi input. Dan seterusnya seperti melalui prose dan keluar kebijakan.

Dapat kita perhatikan situasi yang sedang terjadi sekarang. Ketika wacana kenaikan sudah muncul. Apa saja bentuk reaksi masyarakat itu. Media massa tidak henti-hentinya mengulas masalah ini, mulai dari A-Z sekitar wacana itu, perbandingan dari kebijakan pemerintah sebelumnya dan lain-lain.

Para analisis kebijakan pemerintah bidang ekonomi, politik, hukum, kesehatan, kesejahteraan rakya, semuanya menyumbangkan pikiran-pikiran brilian mereka. Intinya menkritisi semua sudut rencana kebijakan itu. Memberikan masukan dan sebagai-sebagainya.

Masyarakat sebagai pihak yang terkena dampak secara langsung jika kennaikan jadi dilaksanakan, melakukan unjuk ras menentang rencana kebijakan SBY. Anggota DPR berteriak-teriak menyalahkan kebijkan itu. Entah memanfaatkannya untuk menjatuhkan presiden atau memang betu-betul membela masyarakat. Yang pasti mereka mengatakan menlak kenaikan dengan berbagai alasan ekonomi, pendidikan, kesehatan akan menjadi resiko.

Semua itu namanya input. Apakah di sini sudah terlihat ada pemrosesan input itu. Tentu saja sudah, para menteri memberikan penerangan mengenai rencana itu, dampak positif yang akan diperoleh jika memang dihitung untuk naik. Presiden juga mengatakan bahwa, ini masih wacana dan bukan keputusan terakhir yang akan dia mbil.

Semua reaksi yang datang dari masyarakat itu diolah oleh pengambil kebijakan. Memang reaksi seperti itu yang diharapkan. Dengan demmikian, pemerintah dapat membuat perhitungan matang sebelum kenaikan dilakukan. Misalnya membuat skenario untuk mengantisipasi lonjakan harga kebutuhan bahan pokok untuk meredam reaksi yang lebih serius di masyarakat.

Tapi, aku belum bisa membuat kesimpulan akhir. Mengingat proses pengolahan input masih berlangsung. Hanya saja, banyak analisis yang menyatakan bahwa kenaikan ini tetap dilakukan. Karena, jika tidak, keuangan pemerintah akan makin terpuruk. kenaikan ini sebenarnya berarti hanya mengurangi subsidi.

Maka, subsidinya mesti dialihkan untuk bahan pokok sehingga masyarakat tidak terlalu bereaksi keras.

Thursday, May 15, 2008

Keluarkan Semua Sampah di Otak

Ketika semangat untuk menderetkan kata-kata begitu menggebu. Seakan tidak peduli dengan sekitarnya. Kepala seperti penuh dengan bahan tulisan. Kepala seperti terdiri dari memori data yang siap untuk ditransfer ke layer komunikator. Luar biasa semangat yang kurasakan sekarang, ketika menghadapi komunikator ini.

Apa hendak kutulis. Sudut pandang apa dan menyoroti apa. Hal itu begitu menyulitkan aku sekarang ini. Aku berpikir semangat tinggi tanpa diimbangi dengan gagasan apa yang hendak ditulis, tentunya tidak sebanding. Luar biasa situasi saat ini. Aku harus menumpahkan semuanya dalam layar ini. Kembal pada apa hendak kutulis sekarang.

Aku merasa harus cepaat-cepat menuliskan apapun yang terlintas di otakku. Tak akan kubiarkan dia membekas dan tersisa di sana. Akan kukeluarkan dia dari beenakku. Akan kumuntahkan sampah yang menyesaki kepalaku. Keluarlah-keluarlah semuanya.

Berbagai hal yang menarik-menarik di sekitarku begitu berkelebatan. Dia hendak ditulis juga. Dan akan kutulis bagaimana proses itu terjadi ketika aku sedang menulis ini. Ini tulisan bebas, semuanya bekerja otomatis, tidak akan kukendalikan. Semua berjalan dengan sendirinya. Jariku menari liar memencet tombol komunikator.

Terserah apa yang hendak disampaikan. Mungkin saja ngelantur. Mungkin saja berkata apa yang tidak kukehendaki. Pokoknya jari ini berjoget tanpa irama terstruktur.

Aku sekarang hanya melihat bahwa semua orang yang berprestasi dalam karya menulis, mula-mula mereka mengikuti kehendaknya untuk mengalirkan semua yang ada di kepala. Tidak peduli dengan bentuk tulisan itu.

Yang Menghambat Menulis

Saat ini, pemikiranku tidak fokus. Berpikir entah menjurus kemana. Arah pikiranku liar sehingga menyulitkan untuk memulai satu kata yang hendak kutulis. Tentu saja pada tahapan ini, Aku tidak berkembang. Ide menulis yang sebelumnya menyentai seluruh raga, ketika fokus pikiran belum terjadi, maka sentakan-sentakan itu seolah tidak berkekuatan dahsyat kembali.

Yang kulakukan pada kondisi semacam mengalam kebuntuan ini adalah tidak hendak membiarkan itu menjadi riil. Aku harus mencairkannya dengan terus mengeluarkan sampah yang menghambat tatanan-tatanan ide di dalam dunia kecerdasanku, di pikiranku.

Gangguan-gangguan itu begitu kuat sehingga hampir-hampir melumpuhkan persendian berpikirku. Sudut-sudut ide penulisan sepert dibuat tumpul oleh kekuatan magis itu. Tapi, tentu saja kekuatan mistis itu tidak akan kubiarkan berleha-leha. Akan kusemburkan keluar melalui catatan-catatan ini. Akan kusiarkan kekuatan terselubung itu sehingga mereka malu menggangguku lagi.

Aku sudah memantapkan diri untuk mengungkap ke publik siapa gerangan yang menjadi dalang kebuntuan gagasanku menulis ini. Tentu saja, kau tidak akan kubiarkan bernafas barang sedetikpun sekarang ini. Rasakan kekuatan penceritaanku ini. Kejahatanmu kusampaikan ke publik sehingga mereka belajar mengidentifiksi kekuatan magis itu.

Aku sejak bertahun-tahun lamanya dihambat. Selama itu pula aku tidak berkembang seperti kumbang yang dengan sendirinya bisa terbang. Tapi, aku ditempatkan pada titik terendah sehigga tidak mampu mengungkapkan ideku dalam menulis. Masa-masa dimana aku mestinya maju selangkah demi selngkah, itu raib. Aku mengalami kerugian yang sangat sulit ditaksir.

Kekuatan magic negatif menjadi dalang atas rentetan kemunduranku. Aku sudah menghidentifikasinya sekarang dan tidak akan kubiarkan selubung itu terus menghalangi. Entah apapun yang menciptakan enegi itu, mungkin saja aku sendiri yang membangunnya, mulai detik ini, kulenyapkan.

Kudeskripsikan kekuatan yang menghalang-halangi ide menulis itu. Pertama, keinginan menulis dengan dimulai sudut pandang yang sempurna, membanding-bandingkan dengan karya-karya lain yang telah dipublikasikan, Tulisan harus sudah sempurna pada saat proses menulis, mengulang-ulang membaca tulisan yang baru dimulai sehingga waktu terbuang sia-sia.

Bagaimana caraku melenyapkan kekutan sesat itu. Pertama aku akan menulis secara bebas. Ketika Aku sudah memiliki gagasan untuk ditulis, akan langsung kukembangkan melalui gaya menulis yang paling nyaman buatku.

Aku tidak peduli dengan hukum -hukum penulisan, seperti struktur kalimat dan sebagai-sebagainya. Menulis-menulis-menulis dengan bebas. Tidak perlu kubaca ulang selama beberapa waktu atau sampai tulisanku kurasa sudah selesai dan lengkap. Aku tidak akan tunduk pada aturan menullis yang kudapat di sekolah menulis di kampus dulu.

Inilah yang disebut proses menulis.

Belajar Melihat Proses SKB Ahmadiyah

Ada yang menarik untuk dicermati selama proses rencana dimunculkannya Surat Keputusan Bersama (SKB) mengenai aturan pemerintah terhadap Jamaah Ahmadiyah Indonesia (JAI). Yakni, bagaimana pemerintah memilih tidak segera merespon tuntutan penerbitan SKB itu.

Sebelum pemerintah mengambil keputusan akhir, apakah ditolak atau diterbitkan atau diambangkan sehingga bisa dimunculkan sewaktu-waktu, yang jelas saat ini sedang terjadi satu komunikasi politik. Komunikasi ini terjadi sangat intensif.

Pemerintah sepertinya masih mendengarkan aspirasi yang bertumbuh di tengah masyarakat. Aspirasi itu diantaranya berupa masukan-masukan agar SKB itu tidak perlu ada. Atau desakan atau ancaman kepada pemerintah untuk tetap mengeluarkan SKB.

Hal ini menjadi input bagi pemerintah. Argumentasi yang diberikan oleh masyarakat itu akan dilakukan penggodokan yang lama dan mendalam. Ditimang-timang, di elus-elus atau diapa-apakan yang intinya sedang mendapatkan kesimpulan.

Ada pihak yang berargumentasi bahwa JAI itu adalah ajaran yang menodai Islam dan menimbulkan konflik. Kemudian MUI mengeluarkan fatwa segala. Sekelompok orang melakukan aksi pembakaran rumah ibadah JAI, Malah ada diantara mereka yang meminta JAI masuk ke Islam. Semua ini merupakan input yang akan digodok pemerintah.

Kemudian, ada dari kalangan prodemokrasi yang menyarankan kepada pemerintah tidak menerbitkan SKB itu. Argumentasinya adalah konstitusi telah menjamin kebebasan berkeyakinan dan beragama.

Pancasila menjadi dasar yang mewajibkan negara menghormati setiap perbedaan. Negara ini dibangun dengan penghormatan tertinggi terhadap UUD 1945. Sudut pandang itu yang membut keberadaan SKB hanya merupakan aturan yang bertentangan dengan hakikat konstitusi.

Imbasnya adalah dunia internasional akan mengecam negara Indonesia jika tetap meloloskan SKB dan lain-lainnya. Semua ini juga input yang menjadi bahan bagi pemerintah untuk mengambil kebijakan yang tidak merugikan. Jalan tengah dan adil.

Ini kita sedang melihat bagaimana komunikasi politik beroperasi. Dari input itu kemudian diproses dan akan menjadi output atau kebijakan pemerintah.

Selanjutnya, jika SKB akhirnya ditolak, itupun akan menjadi permasalahan lanjutan. Output it tidak berhenti dengan tidak dikeluarkan SKB. Sebab, setelah itu orang akan bereaksi lagi. Kebijakan itu akan dijadikan bahan untuk menuntut pemerintah lagi. Dan itu menjadi input lagi dan seterusnya.

Ayo Menulis

Mengembangkan bakat menulis melalui cara menulis bebas. Ini bisa dikembangkan melalui media blog. Kadang kalau menulis di buku tulis, merasa kurang greget. Sebenarnya tidak betul juga kalau kurang greget. Buktinya, orang-orang dulu, ketika belum familiar dengan komputer, selalu menulis tangan di buku catatan. Tergantung kemauan juga, sebenarnya.

Melalui blog. Maksudku menulis dan langsung dipublikasi di blog milik kita. Aku sendiri sudah punya blog, tapi sepertinya kurang diisi secara intens. Hanya kadang-kadang saja. Jadi kesannya asal-asalan saja dan tidak berkembang.

Barusan aku memikirkan untuk kembali pada konsep awal membuat blog itu. Tiap hari diisi dengan macam-macam tulisan. Yang penting di isi. Menulis bebas, bercerita apa saja. Konsepnya adalah latihan mengembangkan penullisan. Apa kata dunia, ingin menjadi penulis, tapi menulisnya tidak konsisten.

Mesti dihindari betul keinginan menulis dengan memberi embel-embel syarat bahwa tulisan harus yang bagus-bagus dan sudah jadi tulisan layak dimuat media massa. Bukankah itu justru menghambat menulis.

Lebih baik melepaskan diri dari aturan-aturan itu. Terbang bebas dengan imajinasi. Menulis, menulis dan menulis. Tidak perlu menjadi editor untuk tahapan ini. Lepaskan keinginan menjadi editor untuk memulai menulis.

Aku punya cerita ketika masih awal-awal kuliah dulu. Dalam hati, ingin sekali menulis buku harian. Tiap duduk di bangku belajar di kamarku, tanganku sudah memegang pena dan dihadapanku ada kertas kosong. Semangat sekali ingin mencurahkan hati. Cuma, sudah sejam lebih, satu aline pun tidak penuh.

Waktu itu ingin menulis cerita pulang kuliah yang sepertinya memang menarik untuk ditulis. Tapi, akhirnya hanya sebatas keinginan saja. Realitanya, pikiran itu tidak bisa dituliskan. Mengapa demikian sih. Jawabannya adalah, saat itu, aku sekaligus menjadi editor. Pikiranku mengatakan, ceritaku harus bagus, aku harus menulis sebagus mungkin karena malu kalau dibaca orang lain. Aku harus menjadi penulis sekelas Putu Wijaya.

Tentu saja itu penghambat utama. Baggaimana mampu mengembangkan kalimat kalau 90 persen diri kita menjadi editorial. Yang mestinya kulakukan saat itu adalah cuek saja dengan liarnya imajinasi. keluarkan sampah-sampah aturan penulisan, teknik penulisan, kode atau hukum-hukum penulisan. Muntahkan semua memori yang ingin dikehendaki menjadi bahan tulisan.

Sekarang sudah ada media blog. Itu bisa dimanfaatkan untuk publikasi tulisan kita. Dengan dimuat di media semacam ini, akan menambah kepercayaan diri.

Tulisan seakan sudah menjadi bacaan pergaulan internasional. Itu otomatis muncul dalam diri. Tertanam dalam pikiran bahwa kita merasa bertanggung jawab untuk itu. Ayo dicoba saja.

Monday, May 5, 2008

Istana Negara Semula Bergaya Yunani Kuno (2)

Langit-langit gedung Istana Negara amat tinggi. Seluruh ruangan ini dominan dengan warna putih. Dari atap menjulur rantai untuk lampu hias berbentuk gantung. Rantainya dibalut kain warna merah.

Di sisi-sisi dinding gedung terdapat peralatan kamera intai dan lampu-lampu penerangan. Atap gedung ini disangga oleh beberapa tiang yang kuat.

Istana Negara dibangun 1796 untuk kediaman pribadi seorang warga negara Belanda J.A van Braam. Pada tahun 1816 bangunan ini diambil alih oleh pemerintah Hindia Belanda dan digunakan sebagai pusat kegiatan pemerintahan serta kediaman para Gubernur Jendral Belanda. Karenanya pada masa itu istana ini disebut juga sebagai Hotel Gubernur Jendral. (Sumber: Istana Kepresidenan RI, Sekretariat Presiden RI, 2004)

Pada bangunan tiang-tiang itu, terdapat pajangan lukisan para mantan presiden RI yang rapi. Mulai dari Soekarno di ujung sebelah dalam. Penataannya juga berdasarkan periode mereka memerintah NKRI.

Sayangnya, penulis tidak dapat mendekatinya untuk mengetahui langsung siapa saja pelukisnya. Tapi, diantaranya adalah pelukis terkenal Basoeki Abdoellah. Visual lukisan menggambarkan estetika. Lukisan itu mencerminkan emosi para pemimpin negara itu.

Kalau di ruangan ini kebetulan sedang berlangsung acara penting dan dihadiri presiden SBY, biasanya semua telepon seluler tidak ada sinyalnya. Karena, petugas keamanan internal telah mengaktifkan sistem keamanan otomatis untuk menghilangkan sinyal. Tujuannya, bisa jadi agar tidak bisa berkomunikasi dengan pihak luar istana. Atau agar selama acara berlangsung tidak ada brisik yang berasal dari suara telepon.

Ruangan ini luasnya kira-kira sama dengan lapangan bola. Di dalamnya ada semacam sekat-sekat yang bisa dibuka sesuai dengan keperluan. Misalnya, setelah selesai acara dan dilanjutkan dengan pesta makan, sekat ruangan antara tempat pesta dengan pertemuan itu bisa dengan waktu cepat dibuka.

Jangan salah juga memperhatikan bangunan istana ini. Ada dua istana, soalnya. Istana Negara berada di Jalan Veteran.Sedangkan yang nampak dari Monas atau tempat biasa digunakan untuk demonstrasi massa itu adalah Istana Merdeka. Orang bisa saja salah menyebut.

Istana Merdeka itu biasanya digunakan untuk melantik duta besar yang baru atau menerima petinggi dari negeri-negeri sahabat. Kedua bangunan raksasa ini dipisahkan oleh taman yang asri.

Di dalam komplek istana ini juga ada yang dinamakan Kantor Presiden yang berada di pinggir diantara kedua istana itu. Kantor Presiden adalah tempat untuk pertemuan penting antara menteri kabinet dan presiden. Tamu negara juga kadang melakukan rapat dengan presiden di sini. Wartawan yang biasa meliput di istana juga paling sering mengikuti konferensi pers di sini.

Luas bangunan Istana Negara sekira 3.375 meter persegi. Semula, bangunan ini berarsitektur gaya Yunani kuno bertingkat dua. Tapi, pada 1848 bagian atasnya dibongkar, dan bagian depan lantai bawah dibuat lebih besar untuk memberi kesan lebih resmi.

Bentuk bangunan hasil perubahan 1848 inilah yang bertahan sampai sekarang, tanpa perubahan yang berarti. (Sumber: Istana Kepresidenan RI, Sekretariat Presiden RI, 2004)

Melihat Istana Negara Jakarta (1)

Melihat Istana Negara Jakarta (1)

Mei 2008 ini, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mencanangkan Program “Istana untuk Rakyat.” Intinya membuka kembali istana Kepresidenan Jakarta untuk masyarakat umum pada Sabtu dan Minggu.

Pada satu kesempatan, penulis melakukan reportase di salah satu bagian terpenting kawasan itu. Yakni Istana Negara.

Istana adalah salah satu ruang yang paling sering digunakan untuk pertemuan presiden dengan tamu, misalnya pejabat setingkat di bawahnya, pimpinan badan usaha milik negara sampai pengusaha-pengusaha swasta atau acara-acara seremonial lainnya.

Tentunya, tidak semua orang bisa masuk ke sana. Kecuali yang betul-betul diundang pemerintah.

Pintu utama Istana Negara terbuat dari kayu pilihan atau kayu berkualitas tinggi. Karena itu, kokoh sekali dan bertahan hingga puluhan tahun lamanya. Cat bangunan berusia tua ini didominasi warna putih.

Kalau dilihat dari bangunan samping akan nampak jendela-jendela kayu yang sangat kuat. Kekuatannya bisa jadi menyamai pintu utama tadi. Ciri khas jendela adalah ukurannya yang besar dan tinggi.

Engsel jendela pun berukuran besar dan terbuat dari besi baja. Gaya jendelanya masih dipertahankan seperti bentuk asli, yakni buatan pemerintah Hindia Belanda dulu.

Wartawan diizinkan masuk ke istana itu oleh pasukan pengaman presiden pada waktu-waktu tertentu saja. Misalnya pada saat ada acara yang memerlukan publikasi media. Kalau pemerintah tidak perlu publikasi, sudah barang tentu para juru warta dilarang keras memasuki area bangunan besar ini.

Ketika kaki sudah melewati pintu besar, akan langsung dapat melihat betapa ruangan ini begitu luas dan tinggi. Mungkin 1.000 kursi muat di dalam ruangan itu. Di sebelah kiri dekat pintu utama, terdapat peralatan musik tradisional dari Pulau Bali.

Sedangkan di sebelah kanan ada semacam tempat khusus yang lantainya dibuat lebih tinggi semacam panggung berlatar belakang peta nusantara.Ini sebenarnya berada di tengah jika dilihat dari dalam.

Kemudian di pojok kanan lagi merupakan tempat untuk memajang alat musik tradisional dari Jawa. Jenisnya lengkap sekali. Mulai dari gendang, gong, rebab dan banyak lagi. Alat-alat itu dalam kondisi teratur dan nampak memang mendapatkan perhatian khusus dalam hal itu.