Seringkali, Posman Sianturi, temanku, memberikan kritik-kritik mengenai tulisan laporanku. Waktu itu, kami sama-sama bertugas liputan di Bekasi. Dia bekerja untuk koran Suara Pembaruan, aku di Tempo.
Katanya, kalau menulis berita, kalimat yang kugunakan bertele-tele sehingga melelahkan saat membacanya. Aku sering kesal apabila dia selalu mempunyai pendapat mengenai kelemahan tulisan berita yang kukerjakan. Apalagi kalau lagi pas mengetik, rasanya ingin ngamuk. Bagaimana tidak, sudah capek sekali dari liputan kemudian menulis, eh, dikritik pula. Rese lu, Man. Raksasa!
Saat itu, sesungguhnya aku tidak terlalu mau peduli dengan hasil tulisanku dengan penilaian Posman. Aku merasa apa yang sudah kukerjakan di komputer itu benar adanya. Sudah memenuhi kaidah jurnalistik dan lengkap. Itu sudut pandangku.
Singkat cerita, Posman tentunya punya cara pandang yang berbeda saat melihat hasil pekerjaanku. Setelah lama sekali, Aku menjadi tahu inti dari kritikan Posman. Dan aku menerimanya sebagai pembelajaran berharga buat proses belajarku sampai saat ini.
Ngomong-ngomong soal menulis berita. Ada satu hal yang juga melekat pada ingatanku. Dikemudian hari, hal ini menjadi konsep dalam latihan menulis. Yaitu, nasehat dari bu Aneki Andreas. Dia wartawan Suara Pembaruan satu kantor dengan Posman. "Menulislah dengan mengikuti kata hatimu," kata bu Andreas saat aku masih magang wartawan di Suara Pembaruan tahun 2001.
Nasihat itu awalnya kuanggap remeh. Soalnya, aku tidak bisa mengikuti jalan pikirannya. Bagaimana mungkin menulis jurnalistik dengan mengikuti kebebasan hati, pikirku. Aku kuliah jurnalistik 3,5 tahun dan diajari dengan prinsip-prinsip dan etika dan struktur menulis yang baik. Nah, aku malah mendapat masukan yang sebaliknya. Bertentangan dengan sekolah menulis dong.
Saat itu, aku tahu mengapa bu Andreas mengatakan demikian. Dia tahu aku mengalami kesulitan menulis berita di redaksi. Memelototi komputer selama berjam-jam, tapi menulis empat paragrap saja tidak rampung-rampung.
Lama sekali aku mencapai sebuah penataan dan ketenangan pikiran untuk memahami prinsip itu. Tidak cukup dalam hitungan bulan, melainkan bertahun-tahun lamanya mengerti bahan dari bu Andreas. "Tulis dengan mengikuti kata hatimu."
Singkat cerita, kritikan Posman dengan nasehat bu Aneki Andreas itu sebenarnya saling terkait dan semuanya benar.
Aku terus bertanya-tanya. Mengapa sat itu tidak bisa mengungkapkan data-data yang selesai kuliput sewaktu magang di Suara Pembaruan itu.
Ternyata karena aku terlalu terpaku menggunakan batasan-batasan menulis yang didapat dari bangku sekolah menulis. Terpatok pada aturan-aturan semacam itu, rupanya telah berhasil mengekangku untuk dapat memindahkan memori dari otak ke layar komputer.
Mestinya, aku menyadari bahwa diriku bukan sebagai seorang editor saat menulis. Kalau diri kita menjadi editor, ya, apa yang ingin ditulis menjadi tidak mengalir. Soalnya, fungsi editor dalam diriku bekerja terus dan selalu menyaring habis-habisan tentang apa-apa yang hendak dituliskan.
Menulislah dengan bebas. Tulis apapun yang ada dalam memori kepala. Jangan hiraukan editor dalam pikiran bekerja bebas. Musuhi saja dia dan keluarkan semuanya. Persoalan bagus atau tidak bagus, itu nomor terakhir. Memikirkan soal bagus atau tidak sesungguhnya itu penghambat utama proses menulis. Itulah yang namanya pengedit.
Prinsipnya adalah semua yang terkait dengan kegiatan menulis adalah proses untuk menjadi. Menjadi matang. Matang pikiran, logika, imajinasi, dan nafas panjang penulis. Aktivitas menulis adalah suatu ketrampilan. Artinya, hal ini bisa diasah dengan sesering melatih disiplin mengeluarkan sampah otak menjadi tulisan.
Tulisan yang baik adalah melalui tahapan latihan. Karya yang bagus yang menentukan adalah waktu. Makin disiplin, makin OK, makin menemukan kepercayaan diri sebagai penulis.
Ketika orang sudah mencapai level itu, dia sudah bisa baik. Baik dalam arti mampu secara runtut menjelaskan sebuah masalah melalui menulis. Dan apa yang dikritik Posman itu tidak akan terjadi lagi. Tidak akan bertele-tele dalam arti berputar-putar. Mungkin anda akan merasakan bahwa tulisanku ini juga masih njlimet. Tulisan yang tidak merumuskan sebuah masalah.
Aku akan cuek saja dengan penulaian itu. Karena aku berpegang pada doktrin bu Andreas. Tapi aku akan menerapkan nasihat Posman itu sebagai rambu-rambu yang terpenting. Ruangan antara kedua pikiran sahabatku itu kuanggap merupakan proses. Yang menentukan hasil adalah perjalanan yang dibangun dengan semangat untuk tidak menyerah.
So, jawabannya adalah latihan. Melatih disipilin atau disiplin berlatih. Kalau sudah sampai pada cara berpikir model demikian, kegiatan menulis akan lancar. Akan lebih cepat mencapai level berikutnya, yaitu mampu secara tepat dalam menyampaikan sebuah masalah dan menawarkan pemecahan.
Sekali lagi aku mau mengatakan. Menulis ada sebuah proses. Kita semua memiliki potensi untuk itu. Contoh sederhana adalah apabila kita melakukan chatting dengan rekan lain di luar sana. Begitu lancar, bukan. Kita mampu menuliskan maksud kita melalui kata-kata. Bisa minimum empat halaman tulisan dialog kalau saja hasil perbincangan itu dicopy ke microsoft word.
Selama ini, aku belum pernah mendengar temanku mengeluh tidak bisa berdialog dengan tulisan lewat chatting. Setahuku, kalaupun dia tidak bisa, itu lebih ke teknis chat-nya. Gaptek, begitu.
Maksudku dengan hal ini adalah, selama belajar menulis, gunakanlah kata hati. Ikuti dia. Menulis dengan tidak menggunakan aturan-aturan sekolah penulisan.
2 comments:
Sis, bayar lo!! Karena kritikan gw ternyata bisa membuat lo jadi wartawan handal saat ini. Hehehehe...
hahahha... makaih Man. Lu kok masih nemu aja ni tulisan. Padahal udah lama banget ni, 2008.. wkwkwkkw
Post a Comment