SEBAGAI wartawan senior, ia menganggap liputan di kamar mayat rumah sakit di provinsi kaya itu sudah tidak menarik sama sekali. Membosankan. Ia anggap itu kisah liputan masa lalu dan ia sudah tidak mau kembali ke masa itu.
Baginya, liputan kamar mayat, cocoknya ya untuk wartawan kriminal yang masih baru kerja di media. Dimana, kerjanya hanya mencatat nama mayat, umur, dan penyebab kematian, lengkap dengan foto.
Dan biasanya, mayat yang diliput hanyalah korban tabrak lari atau gelandangan yang meninggal karena kelaparan, buruh meninggal jatuh dari gedung tempat kerjanya atau orang bunuh diri karena frustasi setelah tidak punya uang buat hidup.
Sangat jarang kasus besar didapat dari kamar mayat, karena biasanya yang menyangkut orang besar atau kasus besar pasti mayatnya dibawa ke rumah sakit milik kepolisian yang pastinya sulit ditembus wartawan.
***
Suatu ketika, si wartawan senior dikembalikan oleh redaksinya untuk meliput kamar mayat.
Tentu saja ia kaget bak disambar gerobak pasir. Pasalnya, sang pimpinan tidak menjelaskan secara gamblang alasan mutasi dirinya itu. Sang pimpinan hanya berdalih hal itu sebagai upaya penyegaran dalam rangka ‘Tour of Duty.’
Belakangan, ia dapat kabar dari office boy redaksinya mengenai tabir misteri sehingga ia dimutasi lagi ke kamar mayat. Ternyata penyebabnya, karena ia pernah membawa cewek ke redaksi. Lidik punya lidik, si wanita bahenol itu ternyata istri muda sang pimpinan kantor.
“Busyet, pantesan aja coy. Gak ada angin, gak ada ujan, gue digeser ke kamar mayat. Mana gue penakut lagi,” ucap si wartawan senior.
“Iya lah, bang. Bapak pimpinan itu sebenarnya mau mecat abang secara halus. Dia kan tahu abang takut setan. Nah, dengan digeser ke kamar mayat, beliau berharap abang tidak betah dan jadi malas-malasan sehingga beliau ada alasan untuk mecat abang,” terang si OB berambut gondrong.
Setelah tahu kesalahannya yang tergolong fatal akhirnya wartawan senior berperut buncit itu dengan setengah hati menjalani tugas barunya di kamar mayat.
Pekan pertama, tugasnya berjalan datar, hanya memotret dan mencatat identitas mayat untuk sebuah rubrik kecil di korannya.
Pekan kedua, di suatu hari, wartawan senior itu duduk sendirian di depan warung mie rebus, tepat di depan kamar mayat. Belum sempat ia menyantap mie yang baru dipesan, tiba-tiba di depan gerobak mie ada sedan Mercy seri terbaru berhenti.
Belum habis rasa penasarannya, ia melihat dari dalam mobil mewah itu keluar dua orang laki-laki membopong orang yang tampaknya sudah tidak bernyawa.
“Wuiiih, mayat nih. Kerjaan gw nih,” setengah berteriak si senior langsung menyusul masuk ke kamar mayat.
Setelah masuk ke dalam kamar mayat, si senior langsung meraih kamera saku digitalnya dan memotret mayat yang masih segar. Mayat itu merupakan seorang pekerja proyek yang jatuh terjun bebas dari ketinggian dan menghempas tanah karena tidak dilengkapi alat pengaman keselamatan.
Belum puas dirinya memotret, tiba-tiba tangannya dicekal oleh pria berkulit putih dan bermata sipit yang tadi keluar dari Mercy. Sang pria yang kalau diliat dari tongkrongannya jelas bukan orang sembarangan. Kalung emasnya saja segede rantai kapal. Belum lagi dompetnya yang sangat tebal sehingga hampir tidak muat di saku celana bahannya.
“Aduuuh... bang, gak usah dipotretlah. Ini masalah keluarga, gak perlu dikoranin. Repot nantinya,” ucap pria perlente itu sambil memohon.
“Waduuuh, gak bisa pak. Kalau gak saya potret, nanti saya gak punya berita dan gaji saya bisa dipotong nih. Emang bapak mau bayarin gaji saya,” balas si wartawan senior agak kesal sambil terus memotret.
Pria perlente itu sempat terhenyak mendapati reaksi dari wartawan senior di depannya. Tapi hal itu tak lama, karena lelaki itu langsung menarik si wartawan senior dan mengajaknya ke kafetaria mewah yang ada di rumah sakit itu.
“Kalau gitu, mari kita ngopi-ngopi dulu, bang,” ajaknya pria perlente kepada wartawan senior.
Setelah satu jam mereka bicara santai sambil minum kopi, pria perlente yang sedang membangun apartemen mewah itu pun pamit kembali ke kantor.
Sebelum beranjak meninggalkan kafe, ia mengeluarkan amplop dan langsung memberikannya kepada si jurnalis senior.
“Ini bang, kopinya tolong abang bayarin. Sisanya ambil buat abang, tapi tolong fotonya jangan dimuat ya. Ini kartu nama saya kalau ada yang kurang jelas, abang bisa telpon saya,” pesan si perlente tanpa menoleh lagi.
Setelah pria perlente pergi, wartawan senior langsung membuka isi amplop itu dan ternyata isinya cek. Isinya tidak tanggung-tanggung US$5.000. Jumlah yang luar biasa besar, kira-kira sama dengan dua tahun gajinya.
***
Karena hari telah sore, bank sudah tutup. Sehingga ia tidak bisa menukarkan cek itu. Lagipula sebenarnya ia tidak berani mencairkan cek itu. Ia ragu karena takut kalau-kalau berita dan foto pekerja bangunan yang jatuh itu ditagih pimpinannya di redaksi untuk dimuat di koran. Tentu saja ia akan dicari oleh pria perlente itu.
Tanpa membuang waktu, si wartawan senior langsung menuju parkiran kendaraan dan menekan gas motornya dalam-dalam untuk menuju kantor.
Sampai kantor ia dipanggil pimpinannya dan ditanya berita apa yang ia dapat hari ini. Dengan suara gemetar karena takut , ia jawab tidak ada berita.
Dan ternyata di luar dugaan sang pimpinan malah gembira atas jawabannya itu. Pasalnya hari itu, rubriknya terpaksa dihilangkan karena ada iklan dari sebuah partai politik besar.
Bahkan, ada lagi berita menggembirakan. Si pimpinan itu menawarkan untuk mengembalikan wartawan senior itu bertugas di tempat semula.
“Mulai minggu depan kamu bisa kembali ke tempat tugasmu semula, untuk kamar mayat biar dioper ke wartawan lain saja, si A, yang sebentar lagi bakal pensiun,” ucap sang pimpinan.
“Waduh, jangan bos, kasian dia yang sudah tua itu kalau ditugasi di kamar mayat, apalagi menjelang masa pensiunnya. Biarlah saya saja yang masih muda ini berkorban dan tetap tugas di kamar mayat,” kata si wartawan senior sambil membayangkan tumpukan uang yang ia dapat dari kamar mayat tadi. Ia juga membayangkan suatu hari nanti kejadian seperti pertemuannya dengan si perlente itu terulang lagi.
No comments:
Post a Comment