INI CERITA beberapa wartawan muda yang tidak meminta diberi jale alias 86 alias amplop. Tapi, panitia acara justru menganggap mereka wartawan amplop. Mungkin, selama ini si panitia telalu sering jadi korban para wartawan amplop atau bodrek. Sehingga menganggap semua wartawan sebagai pencari jale.
Agar tidak panjang-panjang kata pengantar cerita ini, sebaiknya langsung saja dimulai ceritanya. Begini. Suatu hari, para wartawan muda itu diundang untuk mengikuti acara musyawarah luar biasa partai politik. Mereka diantar menggunakan bus khusus karena memang lokasi acaranya jauh.
Dua hari lamanya acara musyawarah besar partai yang berlangsung di kota pinggir Jakarta.
Dua hari itu, mulai dari pagi sampai malam hari, para wartawan muda dengan setia meliput acara. Mereka membuat liputan-liputan terbaik yang bisa mereka kerjakan.
Dua hari pun berlalu. Seiring dengan tutupnya muktamar, para wartawan muda harus pulang, kembali ke Jakarta.
Tetapi ada insiden kecil saat mereka akan pulang. Karena tempat acaranya terpencil plus tidak ada angkutan umum, akhirnya mereka mencari panitia yang sejak pagi sulit ditemui. Ketika berhasil ditemui, wajah panitia seperti tidak bersahabat.
Panitia sok cuek dengan para wartawan muda ini. Melihat wajahnya, mengingatkan pada kasus panitia yang merendahkan wartawan bodrek karena suka memaksa minta uang.
Usut punya usut, ternyata benar, si panitia menganggap wartawan muda yang menemuinya itu, ingin minta amplop. “Jatahnya sudah habis, bos,” katanya kepada wartawan sambil membuang muka dan berpura-pura sibuk.
Tetapi, baru ia sadar dengan kesalahpahamannya setelah para wartawan menjelaskan kalau mereka bukan ingin minta amplop. Melainkan, ingin bertanya bagaimana cara pergi ke Jakarta, sementara tidak ada angkutan umum dari tempat musyawarah besar.
Barulah, si panitia ingat kalau para wartawan ini, tadinya dijemput dengan mobil panitia.
No comments:
Post a Comment