BERLANGSUNGLAH acara seminar di hotel berbintang dua Jakarta akhir pekan itu. Temanya sangat bagus. Narasumber yang datangpun pengusaha-pengusaha terkenal di negeri ini.
Karena magnet acara itu benar-benar kuat, maka datanglah banyak wartawan ke sana. Bahkan, sejam sebelum acara dimulai, ada lima wartawan tua yang sudah duduk menunggu di samping tiang besar yang terbuat dari marmer mengkilap.
Mereka tampak serius sekali memperhatikan setiap orang yang lewat. Di saat itu, datanglah seorang wartawan muda. Kelima wartawan tua itu memanggil si wartawan muda.
“Dik, yang mana panitianya ya. Dari tadi abang nunggu, tak nampak dia,” kata wartawan tua yang mengenakan rompi warna pink.
Wartawan muda berdehem. Ia curiga. Di hadapannya itu pasti bukan wartawan resmi. Masa baru awal acara seminar, sudah memburu panitia acara ‘basah’ semacam ini.
Terpikirlah untuk mengerjai kelima wartawan itu. “Hmmm. Sebentar abang, aku tadi lihat panitia di bawah.”
Si wartawan muda berdiri sejenak bersama kelima wartawan tua. Ia melihat-lihat sekeliling. Mencari-cari seseorang. Lima menit kemudian, ia melihat pria berbadan gemuk dan bertampang agak perlente yang baru datang.
“Oh, itu dia abang. Kalau tidak salah dia itu panitianya,” kata si wartawan muda sambil menunjuk ke arah lelaki agak perlente yang baru naik tangga.
“Siap. Terima kasih adik, ya,” kata salah satu wartawan tua sambil menyalami si wartawan muda.
Setelah menunjukkan orang yang dicari para wartawan tua itu, si wartawan muda langsung ngacir sambil menahan tawa. Ia menyelinap masuk ke ruang seminar lebih dulu.
Nah, sekarang lima wartawan tua tadi berjalan menuju pria perlente yang membawa tas dan tape recorder digital.
“Abangku,…,” kata wartawan tua yang langsung terhenti kalimatnya karena si pria perlente itu tiba-tiba jalan ke arah toilet.
Dikerjarlah pria perlente itu oleh lima wartawan tua. “Abangku….,” kata salah satu wartawan tua lagi. Sial benar. Kalimatnya terputus lagi. Lagi-lagi pria perlente itu menjauh lagi. Sepertinya dia sedang mencari seseorang juga.
Sampai di tempat agak sepi, si perlente berhenti. Ia mengeluarkan buku catatan kecil yang berisi penuh tulisan mirip ceker ayam. Lalu, ia membaca tulisan itu. Suaranya mirip seorang reporter tengah siaran di radio.
Ditunggulah pria perlente itu sampai selesai dengan pekerjaannya. Begitu selesai membaca tulisan, salah satu wartawan tua menyalaminya.
“Abangku, sibuk benar nih,” katanya.
Si perlente agak kaget. Ia mendapat salam dari lima wartawan tua itu secara bergiliran sambil tanya-tanya hal yang tidak penting, lalu memuji-muji pula.
“Kita berlima ini abang,” kata si wartawan tua sambil senyum-senyum mirip anak kacil.
“Maksudnya ini ada apa ya bang, saya tidak ngerti,” kata si perlente.
“Ah abang. Kayak baru kenal ama wartawan saja, kami ini yang sering liput seminar-seminar abang selama ini,” ujar si wartawan tua. “Mohon pengertiannya lah.”
Setelah itu, barulah si perlente paham situasi. Ternyata ia didatangi wartawan bodrek. Ia tidak ingin berlama-lama bersama lima bodrek ini, karena acara seminar akan segera dimulai.
“Bang, aku ini wartawan abang. Wartawan radio XX, kalau mau nyari jale (amplop), ketemulah abang-abang ini sama panitia acara, bukan aku,” katanya agak kesal. Lalu ia pergi tanpa basa-basi.
Kelima wartawan itu tampak merah mukanya. Malu bukan main mereka. Dalam hati, mereka mengatakan sumpah serapah. Dikiranya juru bayar wartawan, eh, ternyata ia wartawan juga. "Bapuk."
Sementara itu, setelah si perlente yang ternyata wartawan itu masuk ruang seminar, ia bertemu si wartawan muda yang langsung tertawa agak keras. Barulah si perlente tahu, dalang semua ini adalah temannya itu.
No comments:
Post a Comment