SUATU HARI seorang wartawan muda bernama X mendapat undangan hajat besar sebuah partai gurem di kawasan Ibukota. Tentu saja dia sangat senang begitu mendapat undangan via SMS itu. Pasalnya, bukan saja berita bagus akan ia dapat. Tapi, dipikirannya, juga akan dapat amplop yang lumayan gemuk tentunya.
X, walaupun tergolong wartawan baru, tapi karena pandai bergaul, ia cepat beradaptasi dengan dunia wartawan termasuk dengan rupa-ruupa jalenya alias 86-nya. Bahkan, tak jarang dirinya dipercaya narasumber atau panitia untuk mengorganisir rekan-rekan wartawan dalam sebuah acara.
Maka cap Kordinator Lapangan atau Korlap sudah resmi disandangnya. Bahkan beberapa wartawan dari media yang katanya anti amplop mencap X sebagai wartawan amplop.
Nah, karena pengalamannya itulah, ia tahu kalau hajat besar partai seperti ini, di Ancol itu, pasti ada alokasi dana untuk wartawan yang cukup besar terutama bagi wartawan yang diundang seperti dirinya.
Singkat cerita, di hari H, dirinya sudah berada di hotel tempat partai gurem menggelar hajat besar. Setelah pembukaan oleh ketua umum partai, para wartawan langsung digiring oleh panitia ke sebuah ruangan untuk mendengar keterangan dari para petinggi partai.
Setelah selesai mencatat pernyataan para petinggi partai, para wartawan diminta naik ke lantai atas, tepatnya di kamar salah satu petinggi partai itu menginap. Karena ini hajat besar, maka amplopnya juga besar, jumlahnya Rp1 juta, hampir 1 bulan gaji si wartawan X.
Petinggi partai itu sendiri yang langsung membagikan amplop itu kepada wartawan satu persatu.
Sampailah pada giliran X. Namanya dipanggil. Lalu ia melangkah menuju kamar. Begitu buka pintu X langsung mendapati sang petinggi partai yang dengan congkaknya duduk sambil menaikan kakinya ke meja.
Belum hilang kaget X atas ketidaksopanan petinggi itu, kembali ia dikagetkan dengan sikap petinggi itu yang melempar amplop ke hadapannya.
Setelah, bisa lepas dari kagetnya, X langsung memungut amplop itu dan menghitung uang di dalamnya secara sembunyi-sembunyi. Tepat seperti dugaannya Rp1 juta. Dengan tenang, uang itu ia kembalikan ke dalam amplop dan kemudian ia lempar ke muka sang petinggi.
Tentu saja sang petinggi kaget dan marah besar atas sikap X. Bahkan, beberapa satgas partai sempat akan mengeroyok X. Untung saja, wartawan lain yang sedang antri menunggu giliran langsung masuk karena mendengar suara gaduh dan makian dari sang petinggi partai.
Setelah mendengar cerita dari X tentang penghinaan yang dilakukan sang petinggi, maka secara otomatis wartawan lainnya membela X dan menolak prosesi pemberian amplop dilanjutkan. Bahkan wartawan yang telah menerima amplop dengan sukarela mengembalikan amplop yang telah di tangan.
Besoknya, tidak ada satupun berita tentang hajat partai gurem itu di TV, koran maupun media online serta radio. Semua kompak memboikot pemberitaan partai itu sampai waktu yang tidak terbatas.
****
Berhubung kejadiannya dekat-dekat dengan puasa, maka si X mengambil hikmah dari kasus itu. Begini kira-kira ia berkata:
Ini pelajaran bagi semua orang kalau uang bukan segalanya dan dengan uang tidak bisa berbuat seenaknya apalagi melecehkan harga diri seseorang termasuk wartawan amplop, karena wartawan amplop juga punya harga diri.
No comments:
Post a Comment