DI KOTA KHATULISTIWA, siang hari itu, berlangsunglah acara forum pertemuan petinggi partai besar di Tanah Air. Seperti juga di daerah lain, acara macam ini, pasti menyedot perhatian banyak wartawan, baik media lokal maupun nasional. Bahkan, wartawan bodrek pun datang.
Belasan wartawan dipersilahkan panitia masuk ke ruang khusus penyelenggaraan konferensi pers. Yang diundang panitia, tentunya mereka para wartawan yang punya media jelas alias korannya banyak ditemukan di loper-loper koran kota setempat.
Selesai sesi tanya jawab, para wartawan ini keluar. Mereka dipersilahkan ke ruang makan untuk menyantap makanan yang disediakan panitia. Sebagian lagi keluar ruang untuk merokok.
Beberapa wartawan yang keluar ruang terperanjat karena melihat kerumunan wartawan yang selama ini dikenal sebagai bodrek tengah menggerutu.
Selidik punya selidik, rupanye wartawan bodrek mondar-mandir dari tadi untuk mencari panitia acara. Tentu saja panitia yang tugasnya membagi-bagikan amplop kepada wartawan. “Kemana dia, tak ketemu-ketemu,” ujar salah satu wartawan bodrek itu.
Maka salah satu wartawan bodrek pun nanya ke si wartawan muda yang sedang merokok di depan pot bunga. “Dimana ya panitienye.” Dia bertanya dengan nada sopan.
Lalu dijawab oleh wartawan muda, “Loh..loh...loh.... abang neh bukannya dari tadi ada di sini lah.”
“Iya, aku neh dah mondar-mandir nyari panitie. Tapi tak ade lah,” kata salah satu wartawan yang selama ini dikenal pemberani kalau sedang minta uang itu.
“Mungkin di atas kali ya,” kata si wartawan muda. Di atas, maksudnya di lantai dua.
Maka setelah itu, wartawan bodrek itu pun langsung bergegas ke lantai atas untuk mencari panitia. Jumlah wartawan bodrek itu lumayan banyak. “Sudah kayak pasukan aja,” guman wartawan muda sambil menghisap rokok.
Usut punya usut, ternyata di atas para wartawan bodrek marah-marah ke pantia. Intinya, mereka mempertanyakan kenapa sampai tidak dilibatkan dalam konferensi pers soal rapat partai. Ini, bagi mereka adalah suatu sikap diskriminasi.
Terjadilah cek cok antara panita dan wartawan bodrek itu selama beberapa menit. Sampai panitia bilang, “Tenang-tenang, sabar-sabar yah bapak-bapak, tenang. Semuanya ada bagian kok.”
Begitu mendengar itu, maka wajah sumringah pun mulai terlihat dari wajah wartawan bodrek itu. Kemurkaan mereka mulai mereda. “Akhirnya dapat juga,” celetuk salah satu wartawan bodrek.
Maka tidak lama kemudian, pembagian jatah uang dari panitia pun dimulai. Saat itu juga. Tidak pakai ditunda-tunda.
Setelah itu, rombongan itu pulang. “Nah kalau gini kan enak lah, kite,” ujar salah satunya sambil menuruni anak tangga.
Panitia acara dari partai besar itu cuma bisa merengut di lantai dua karena tadi dia sempat ketakutan setengah mati menghadapi wartawan bodrek.
No comments:
Post a Comment