TAHUN 2000 silam, seorang petinggi polisi yang mengurus soal lalu lintas menggelar acara konferensi pers. Yang datang ke acara yang dikenal di kalangan wartawan sebagai wilayah basah ini banyak sekali. Ada wartawan resmi anti amplop maupun semi amplop serta ada pula wartawan bodrek.
Nah, usai acara konferensi pers, ada wartawan muda dari sebuah majalah yang minta waktu kepada petinggi polisi itu untuk wawancara ekseklusif.
Setelah wawancara selesai, petinggi polisi yang sepanjang acara tadi nampak berbunga-bunga itu meminta wartawan muda dihadapannya jangan pergi dulu. Soalnya ada sesuatu yang harus diselesaikan secara adat di tempat itu juga.
Si wartawan muda pun menunggu. Rupanya, petinggi itu ingin memberikan kartu nama. Tapi, ternyata bukan Cuma kartu nama saja. Ia juga menyodorkan amplop kepada wartawan.
Terus, si wartawan muda bereaksi. “Terima kasih pak ini saya terima (kartu nama), tapi amplopnya tidak.”
Petinggi polisi yang nampaknya tidak biasa bertemu wartawan yang bisa mengatakan menolak amplop itu agak kaget dan nyaris berteriak kecil. Tapi, ia langsung menguasai medan.
Ia menarik amplop lagi, lalu membuka, lalu mengambil uang kertas yang berlembar-lembar itu. “Oh ya sudah, amplopnya saya ambil lagi kalau begitu, dik,” kata petinggi polisi itu sambil menyodorkan segepok uang itu kepada wartawanmuda secara telanjang.
Wartawan muda ini nyaris menjerit juga. Ia langsung buru-buru pergi, tanpa mau menerima uang itu. Tidak lama setelah kepergian wartawan muda, beberapa wartawan lain yang menyaksikan kejadian itu, langsung mendekati si petinggi polisi.
No comments:
Post a Comment