SUATU ketika ada acara buka puasa bersama di rumah pejabat negara. Banyak wartawan yang datang ke sana. Soalnya, si pejabat yang mengundang ini terkenal cair alias loyal terhadap wartawan.
Sewaktu habis buka puasa, pejabat mengajak semua yang hadir salat Maghrib berjamaah di rumahnya yang super besar itu. Menuju masjid, si kordinator lapangan alias korlap wartawan berjalan beriringan bersama pak pejabat.
Sambil jalan, terjadilah perbincangan:
“Eh kamu mas,” kata pejabat itu sambil memegang pundak si korlap.
“Iya bang,” kata korlap yang tampak mengakrabi pejabat itu.
“Berapa orang teman-teman wartawan yang datang,” kata pejabat itu lagi.
“40 bang,” ujar korlap ringan tanpa beban.
“Hah? Bagaimana membaginya (uang amplop),” kata si pejabat setengah menjerit.
Dialog baru berhenti setelah mereka masuk masjid. Entah bagaimana dan apa yang terjadi, pencairan alias bagi bagi uang buat wartawan tidak jadi dilakukan sore itu.
Tapi, para wartawan amplopan itu tetap sabar menunggu. Mereka ikut salat Magrib. Lalu, ikut lagi salah Isya. Ternyata, perkiraan mereka meleset, sehabis Isyah, pejabat itu belum juga memberikan tanda akan membagi-bagikan uang.
Karena kebanyakan wartawan amplopan itu aslinya tidak salat, ada yang tidak betah dan pulang. Tetapi, ada juga yang tetap sabar menanti.
Sialnya, salat Tarawih yang dilakukan di masjid ini ternyata sampai 17 rakaat. Jadi, satu persatu wartawan tidak kuat. Yang tidak kuat langsung pulang.
Di akhir salat Tarawih, ternyata tinggal beberapa wartawan saja yang mampu bertahan. Tapi, entah, endingnya bagaimana, apakah pejabat itu tetap mencairkan uangnya atau tidak.
No comments:
Post a Comment